Rabu, 25 April 2012

De Javu


Kakiku membawaku masuk ke sebuah rumah makan bergaya Eropa klasik di daerah Kemang. Selesai dua jam tadi menghabiskan waktu di super market untuk membeli berbagai kebutuhan rumah tangga bulanan, kini perutku berorasi untuk menuntut makan malam yang telah telat dua jam dari seharusnya.


Seorang pelayan restoran dengan dasi kupu-kupu di lehernya membukakan pintu dan menyunggingkan senyum ramah sambil mengucapkan salam, “Selamat malam, Bu!”
“Malam!” aku membalas senyumnya ramah.
“Untuk berapa orang?”
“Satu.”
“Baik, mari saya antar.”
“Terima kasih.”
Aku mengikuti langkahnya yang terarah ke sudut ruangan. Dia pun berhenti di sebuah meja bundar mungil yang ditemani dua kursi, masih dengan aksen Eropa klasik, berwarna putih gading dengan ukiran salur yang mendetail, cantik.
Dia menarik salah satu kursi itu, mempersilahkanku untuk duduk di atasnya. Setelah melihatku sudah nyaman dengan posisiku, dia mengeluarkan sebuah buku yang berisikan gambar menu-menu makanan yang biasa disantap bule-bule di Eropa sana. Aku pun menunjuk beberapa dari mereka. Lalu pelayan itu pergi dan berjanji akan datang dalam beberapa menit lagi.
Aku menatap bangku kosong di hadapku. Dua tahun lalu di atas bangku itu seorang pria hampir saja membuatku mati duduk.
“Kali ini aku saja yang pesankan, ya?”
Aku meliriknya curiga. Aneh, tak seperti biasanya.
“Just trust me, Rianti,” ia meyakinkan.
Aku luluh.
Tak berapa lama, para pelayan membawakan semua yang ia pesan. Tapi tak berapa lama lagi, beberapa orang kembali menghampiri meja kami. Kali ini bukan pelayan, karena mereka tidak membawa piring atau gelas, mereka membawa alat-alat musik dari mulai gitar, biola, saksofon, hingga pianika.
Aku menatapnya dengan keheranan penuh.
Surprise kecil,” ungkapnya manis.
Lalu mengalunlah lagu Bukan Cinta Biasa milik Afgan mengiringi makan malam romantis kami.
“Pasta ini akan lebih enak lagi kalau ditambah pepper. Ada di kotak bumbu samping tangan kanan kamu itu,” sarannya sambil menunjuk kotak yang ia maksud.
Aku pun menurut, ku buka tutup kotak bumbu itu. Tapi bukan pepper yang ku dapat, malah sebuah cincin berkilau yang bermatakan batu berwarna hijau zamrud.
Aku menutup mulutku yang terbuka–saking kagetnya–dengan kedua tanganku.
Ia malah tertawa kecil melihat sikap spontanku, “Kaget ya? Ini surprise besarnya,”
Ia membenarkan posisi duduknya yang tak salah, lalu menatapku serius, “Rianti, will you marry me?”
Aku tercengang. Tak menyangka ia akan menanyakannya secepat ini. Walaupun aku telah mengenalnya semenjak SMA dulu, tapi kami baru saja dekat enam bulan terkhir ini.
Aku mencoba tenangkan diri, mengatur nafasku yang tak teratur, meredam jantungku yang berdetak terlalu keras dan kencang–kurasa ia pun dapat mendengarnya. Aku memejamkan mata, menengok ke dalam dasar kalbuku, adakah namanya di sana?
I will,” jawabku tanpa keraguan akhirnya.
“Pesanannya, Bu,” suara pelayan itu memecah lamunan tentang memori terindahku.
Selesai memindahkan segala yang ada di atas nampannya ke meja di hadapanku, ia kembali berlalu. Kemudian sendok demi sendok, aku memindahkan makanan yang ada di hadapku itu ke dalam perutku yang kosong.
Sambil mengunyah, aku layangkan pandanganku ke sekeliling. Aku senang memperhatikan lingkungan di mana tempatku berada. Orang-orang dan aktifitasnya. Karena seringkali dapat menjadi ide untuk bahan tulisanku. Maklumlah.. penulis. Kapanpun di manapun, yang dicari adalah sang ide.
Secara serampangan mataku mencari objek yang akan aku amati. Dia terhenti di sepasang manusia yang sepertinya sedang dilanda virus cinta. Mata mereka berbinar ketika menatap satu sama lainnya. Ah.. aku jadi iri dengan mereka. Sudah lama sekali aku tidak mendapatkan tatapan mata seperti itu.
Aku terus mengamati mereka. Beberapa orang menghampiri meja mereka lalu melantunkan sebuah lagu, Bukan Cinta Biasa. Memberikan atmosfer romantisme yang tebal mambalut suasana makan malam mereka. Begitu bahagianya kedua sejoli itu. Ah.. ini seperti de javu bagiku. Sayangnya, wanita beruntung itu bukan aku.
Aku mengeluarkan telepon genggam dari tasku. Lalu membuka pesan singkat yang telah cukup lama menghuni kotak masukku. Kubaca lagi pesan itu sebentar, walaupun sebenarnya aku sudah hafal isinya karena hampir setiap malam sebelum tidur aku membacanya.
Kutekan menu reply, lalu mulai mengetik, ‘Baiklah, aku akan menandatangani surat perceraian kita. Sepertinya kamu telah memiliki pengganti yang lebih baik dariku,’ Send.
Aku kemudian berdiri meninggalkan mejaku dengan dua lembar uang seratus ribuan. Aku berjalan santai melewati dua sejoli itu sambil mengulaskan senyum terbaikku. Sang wanita membalas senyum perkenalanku ramah. Namun, sang pria yang sedang sibuk membaca pesan singkat di telepon genggamnya, pasi.

By: Riana Yahya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar