Minggu, 20 November 2016

Catatan Perjalanan : Perang menuju Puncak Gunung Parang

13 November 2016, adalah hari yang dinanti oleh saya daaaan... dia. Iya, diaaa. Setelah mengatur jadwal lebih dari satu bulan sebelumnya, akhirnya ketemu juga tanggal yang pas untuk kita nanjak bareng. Misi kita adalah foto di puncak gunung dengan view keren macam di bawah ini, biar bisa ganti foto profil whatsapp dan update di medsos. Hag hag hag.

Besoknya, langsung ganti foto prosil whatsapp pake foto ini :D (Me and Wulan)

Karena saya dan dia (wulan) adalah wanita yang perlu dimengerti, emaap, perlu dijaga maksudnya. Maka kami mengajak tiga pejantan tangguh untuk jadiii... teman perjalan kami :P

Here they are! (Kang Cipto, Kang Ari, and Kang Rendy)

Janjiannya sih, ketemu di meepo jam 7.00 tapi kenyataannya, jam segitu saya masih dandan di rumah, haha. Setelah nitip motor dulu di kostan Kang Ari, kemudian sarapan opor ayam Pak Mudji yang enak itu (endors, soalnya saya dapet voucher makan gratis sesuka hati) dulu di ruko Wulan, kita otw dari Karawang sekitar jam 9an. Ketemu Kang Rendy dan Kang Cipto di meepo Cikopo, kemudian langsung cuuusss ke gunung Parang yang terletak di Kabupaten Purwakarta.

Setelah mendaftarkan diri ke pos jaga dan membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000/orang, kami langsung memulai penanjakan sekitar pukul setengah 12. Di awal banget, kamu akan melewati jalan tanah setapak yang tidak terlalu curam hingga ke pos 1. Dari start point ke pos 1 tidak terlalu jauh, tapi nafas saya sudah putus-putus kayak signal handphone di gunung. Duh, kerasa banget deh efek badan yang nggak pernah olah raga terus langsung diajak nanjak ke gunung. Dari pos 1 jalan sudah mulai menanjak, gerimis pun, jalannya jadi licin, harus ekstra hati-hati. Saya udah mulai kepayahan, lima langkah nanjak, diem, lima langkah nanjak, duduk, langkah udah berat, nafas apalagi.

Akhirnya Kang Cipto ngambil patahan kayu, “Nih, pegangan ke sini”. Saya megang ujung satunya dan dia megang ujung satunya lagi. Terus dia jalan di depan sambil narik kayu itu, narik saya sih sebenernya, hahaha. Kita sering berhenti di beberapa titik. Sebenernya kewalahan juga mengimbangi langkah Kang Cipto yang cepet banget (menurut versi saya), seringkali sambil engap-engapan saya bilang “Wait” “Tunggu” “Berhenti dulu” “Tunggu yang belakang”, padahal itu alesan aja dikala saya udah kepayahan, hehehe.

Di antara pos 1 dan pos 2, atau di antara pos 2 dan 3, saya lupa tepatnya, ada sebuah rumah pohon yang di atasnya kita bisa melihat view gunung-gunung sekitar. Tapi saya tidak naik ke atas karena sudah kehabisan tenaga. Padahal tempat itu bisa dijadikan backgruond yang keren untuk foto-foto ketjeh.



Sebenernya sih, di sepanjang perjalanan juga banyak spot-spot yang bagus untuk foto, tanjakan- tanjakan curam dan pepohonan membentuk terowongan yang menjadi background foto kami ini misalnya.



Sekitar jam 1, kami sampai di pos 3 dan langsung membuka bekal yang sudah dengan rempong Wulan siapkan. Menu makan siang kami adalah telor dan tahu balado, plus sayur kacang panjang. Yummyyy...!! Makan ngariung di saung pas lagi laper-lapernya ituuu.. Alhamdulillah banget :D



Oh iya, di pos 3 ini, selain ada saung, ada juga ayunan yang terbuat dari akar pohon, jadi nggak usah pakai hammock lagi. Ada juga rumah panggung yang kita manfaatkan untuk shalat dzuhur. Tapi hati-hati ya, jalan ke rumah panggung itu lewat batang-batang kayu sebagai jembatannya. Dan karena habis hujan, jadi tambah licin. Saya yang nyalinya ciut, nggak berani juga ke rumah panggung itu. Padahal bagus juga buat foto, huhuhuhu.

Ayunan akar

Rumah panggung like a flying house

Entah jam berapa kita melanjutkan perjalanan lagi, saya tidak begitu memerhatikannya. Di tengah perjalanan, kami bertemu rombongan yang turun. Padahal belum lama kami berpapasan dengan mereka di pos 3.
“Sudah sampai puncak, teh?”
“Belum, turun lagi. Hujan di atas. Anginnya juga gede. Jadi kami turun lagi.”
Eng... ing... eng... bad news buat kami. Karena emang cuaca juga lagi nggak bagus. Gerimis terkadang menyertai perjalanan kami. Langit sudah mendung gelap. Tapi kami belum mau menyerah. Kami putuskan untuk tetap lanjutkan perjalanan, setidaknya sampai puncak bayangan.

All member di puncak bayangan
Sekitar jam setengah 3 kami sampai di puncak bayangan. Setelah berfoto-foto sebentar, kami memutuskan untuk mencoba melanjutkan perjalanan ke puncak yang sesungguhnya. Tracknya menurun dengan jurang-jurang di sampingnya, lalu tanjakan curam menuju puncak. Honestly, saya tidak yakin bisa ke puncak, tapi karena dibersamai oleh teman-teman yang pasti akan membantu saya, saya akhirnya meng-iya-kan juga keputusan untuk lanjut jalan ke puncak.

Tapi, baru beberapa meter kita berjalan, cuaca semakin memburuk. Langit sudah gelap siap menumpahkan air hujan, petir-petir dan kilat semakin kerap, kabut semakin pekat. So, dengan berat hati, kami kembali lagi ke puncak bayangan.

Gagal muncak, bukan berarti kami harus bermuram durja. Kang Ari yang membawa lay back langsung mensettingnya. Saya yang membawa bekal dessert langsung mengeluarkannya; puding cokelat dan strawberry. Dalam sekejap, suasana menjadi cerah kembali. Meskipun cuaca semakin menjadi, hujan semakin deras mengguyuri tempat kami. Untungnya, di puncak bayangan ini ada bivak untuk tempat pendaki berteduh.

Dessert time!! :D

Dari sisi positivenya, cuaca yang demikian membuat pemandangan Gunung Parang semakin mempesona. Kabut yang turun menutupi gunung, membuat pemandangan di sini mirip dengan hutan mati di gunung papandayan. Eksotis!



Selain itu, kami juga bisa meminimalisir konsumsi air minum. Padahal sebelumnya kami sudah khawatir karena persediaan air yang kami bawa sudah hampir habis dipakai untuk pendakian. Saya kira, kondisi Gunung Parang ini tidak jauh dari Gunung Lembu; di pos dan puncak akan ada beberapa warung yang berjualan air dan makanan. Makanya saya hanya membawa satu botol kecil air mineral (padahal selama pendakian saya menghabiskan tidak kurang dari 3 botol air).  Tapi ternyata, di sini sama sekali tidak ada warung, kecuali di pos awal pendakian. Jadi, saran saya bagi yang ingin nanjak ke sini, siapkan bekal minum yang cukup ya.

Jam setengah 4 kami memutuskan untuk turun, meski hujan masih belum berhenti turun. Kami harus bersegera karena di antara kami tidak ada yang membawa alat penerangan, sementara matahari sudah mau terbenam. Bismillah... kami memulai menuruni bebatuan dan tanah licin yang curam. Tapi saya yakin…

“Tuhan bersama para petualang di tebing-tebing tinggi, di puncak-puncak gunung sunyi dan dilebatnya belantara sepi.
(Bara -  Febrialdi R.)

Beberapa kali, semua bergantian terjatuh, dan yang memegang rekor paling sering adalah... saya! Hag hag hag. Saya tiga atau empat kali terjatuh, selain medan yang memang sangat licin, kaki saya juga sudah mulai lemas dan sulit untuk menahan beban tubuh saya yang tidak bisa dibilang langsing ini :P

Saya kembali “dituntun” oleh Kang Cipto. Di belakang saya ada Kang rendy yang pada waktu waktu tertentu bisa di “calling” sama Wulan untuk membantunya. Di barisan sapu bersih ada Kang Ari. Bagi saya, Wulan, Kang Rendy dan Kang Ari, ini bukan perjalanan bersama kita yang pertama. Sebelumnya, kita juga pernah ke Curug Lalay bersama rombongan Backpacker Karawang. Baca catatan perjalanan kami ke Curug Lalay di sini.

Sementara, untuk Kang Cipto, ini perjalanan pertamanya bersama kami. Saya, Wulan, dan Kang Ari, baru mengenal Kang Cipto kali ini. Dia adalah teman satu kerjaan Kang Rendy. Tapi walaupun baru kenal, sumvah deh nih orang baik banget. Bayangin aja hampir 4/5 perjalanan dia narik-narik saya. "Nuntun" saya yang payah. Yang kalo liat tanjakan curam di depan mata, langsung berhenti, terus bilang “Ini gimana cara naiknyaaaa??!!” Sementara dia yang katanya baru pertama kali ini naik gunung, jalan di depan untuk memastikan jalur yang akan kami lewati aman, sebentar sebentar “awas ya, hati-hati di sini licin banget”, “jangan lewatin tanah ini”, “napak ke akar ini, ya”, “jangan nginjek batu itu”, “posisi kakinya kayak gini, ya”. Pokoknya nice to meet you, Kang! Jangan kapok ya nanjak bareng kita lagi.

Perjalanan mengajarkan bahwa orang baik itu (tidak) sedikit
(Bara -  Febrialdi R.)

Finally, Alhamdulillah, sekitar jam 5 kurang kami sudah sampai pos awal pendakian. Lumayan cepat, kerena kami tidak banyak beristirahat. Sesampainya, kami langsung bersih-bersih dan bergantian shalat ashar. Jam setengah 6 kami pulang, setelah sebelumnya janjian untuk berhenti dulu di tempat makan bakso. Badan yang sedari tadi diguyur hujan membuat perut kami mulai keroncongan lagi.

Di perjalanan pulang, Kang Ari yang menyaksikan bagaimana payahnya saya “berperang” menuju puncak Gunung Parang mengajukan satu pertanyaan.
“Nggak kapok teh, nanjak?”
“Hahaha. Nggak. Seruuu!”
“Nanti ikut lah ke Lawu!”  (9-11 Desember mendatang Backpacker Karawang akan mengadakan trip ke Gunung Lawu dan city tour Solo, info lebih lanjut cek facebook dan instagram Backpacker Karawang yaa!)
“Nggak dulu, deh. Gunung Parang yang cuma 900-an (mdpl) aja kepayahan kayak tadi, apalagi Lawu. Maunya ke yang landai-landai dulu aja, kayak Prau sama Papandayan. Kalo di awal udah langsung yang hampir 3000-an (mdpl) takut nyusahin banyak orang dan malah kapok nggak mau nanjak lagi.”

Ah, semogaaa, tahun depan bisa nanjak lagi, ke Prau, Papandayan, dan Bromo. Aamiin.. Sementara belum bisa nanjak gunung-gunung nan gagah menjulang tinggi itu, sekarang saya lagi seneng baca buku-buku pendakian, macam Bara karya Febrialdi R (@edelweisbasah) dan Pejalan Anarki karya Jazuli Imam. Nantikan resensi bukunya yaaa!!

Sincerely,

Riana Yahya