Minggu, 03 Desember 2017

Merbabu, Savannah and Clouds of Heaven

Sebetulnya, keinginan menyambangi gunung Merbabu ini sudah ada sejak saya berhasil menengok keindahan gunung Prau April 2016 lalu. Gunung selanjutnya yang menjadi targetan memang Merbabu ini, nggak pengen yang lain, harus kamu, iyaaa, kamuuuuu. Kalau sebelumnya pingin banget ke Prau karena daisy-nya, kali ini ngiler banget pingin ke Merbabu karena sabana dan samudera awannya. Plus setelah baca novel Pejalan Anarki, Mas Jazuli Imam berhasil meracuni saya, jadi kepingin banget liat langsung keindahan gunung yang dideskripsikan di bukunya itu. Beberapa teman dekat saya pasti tahu betapa kepinginnya saya menginjakan kaki di sana. Dari mulai update status tentang Merbabu, sampai kalau ngobrolin gunung, ya yang diomongin bakalan tentang Merbabu dan keinginan saya ke sana.

Tapi sialnya, kebanyakan teman seperjalanan saya sudah pernah ke sana. So, mereka kurang tertarik pas saya ajak lagi buat nanjak ke gunung yang puncaknya berada di ketinggian 3142 mdpl itu. Ppffttt... Apalah daya saya. Mau ikut open trip juga belum berani karena banyak alasan; susah dapet izin dari Mamah kalo pergi sama orang-orang yang belum dikenal, bukan pribadi yang supel di awal pertemuan, takut nyusahin orang asing dipertemuan pertama (mending juga kalo ada yang mau disusahin -,-“).

Libur panjang pun tiba, saya dapet jatah libur sekitar 2 minggu dari kantor. Lebih lama dari kebanyakan pekerja yang masuk di hari senin (3/7), saya masuk kerja mulai kamis (6/7) lumayan bulukan kalo nggak di pake ngetrip kan yaaa. Meskipun di H+1 udah mantai dan snorkling-snorkling manja di Pulau Harapan bersama keluarga, pun sabtunya udah main air lagi di Curug Cipanunda, tapi tetep aja berasa belum afdhol kalo belum nanjak gunung yang satu itu. Huhuhu.

Akhirnya, setelah uring-uringan ga jelas (mhuehehe, khasnya anak bungsu kalo permintaannya nggak terpenuhi atau emang sayanya aja yang childish) kabar baik pun muncul. Minggu malam baru ada rencana bakal berangkat, senin persiapan pinjem peralatan sana-sini, dan selasa kita beneran berangkat, sambil masih berasa kayak mimpi.

Yup, selasa (4/7) sekitar jam 7 malam, kita bertiga, saya, @mohparman, dan Linda (adiknya @mohparman) memulai perjalanan dari terminal Klari Karawang. Naik bis dengan harga Rp 130.000,- (harganya agak naik karena masih musim lilbur lebaran) dengan tujuan Terminal Tidar, Magelang. Tapi apesnya, kita diturunin di tengah jalan, sekitar jam 3 pagi, di Purworejo kalo nggak salah. Kita pun harus naik bis lagi seharga Rp 20.000,- untuk sampai ke Terminal Tidar. Begitu kita menginjakan kaki di terminal, meski baru jam 4 subuh, sudah banyak yang menawarkan mobil carteran menuju basecamp Suwanting.

Ada dua opsi untuk menuju basecamp Suwanting, pertama dengan kendaraan umum, kalian harus beberapa kali ganti angkutan umum, bis dan angkot, kemudian dilanjut lagi naik ojek. Opsi kedua dengan carter/sewa mobil, langsung dianter ke basecampnya, biasanya kisaran harga 250-300rb/mobil. Enaknya sih kalo rombongan mending carter mobil aja, ga ribet dan lebih cepet. Tapi kita cuma bertiga, bisa kena 100rb/orang, hhmmmm... Untungnya, kita nemu dua orang teman seperjalanan dari Jakarta yang juga mau ke basecamp Suwanting. Setelah nego dengan bapak supirnya, kami mendapat harga Rp 50.000,-/orang. Itu pun udah plus dianter ke atm dan alf*mart untuk beli keperluan logistik. Tadinya kita minta mampir ke pasar juga untuk beli beras dan sayuran, tapi ternyata nggak ada pasar yang kita lewatin. Paniklah semua yang dimobil, hahaha. Alamat makan mie instan terus 2-3 hari ke depan. Angan-angan untuk makan sayur sop atau sayur asem anget-anget di tenda buyar sudaaaah   T_T

Sekitar jam 6 kita sampai di basecamp Suwanting. Cukup sepi, cuma ada satu rombongan yang masih tidur. Kita pun bergabung buat tidur bersama, eeeh, jauh-jauhan tapinya. Sejujurnya, ini pengalaman pertama saya istirahat di basecamp pendakian. Tempatnya kayak ruang tengah sebuah rumah yang luas tanpa perabot apapun. Semua orang bisa tidur di situ, gratis. Ada juga meja prasamanan biasanya di pojokan. Semua orang bisa makan di situ, bayar tapinya.

Sambil menunggu Mas Ikhsan, teman kita yang lagi pulang kampung ke Solo, sekaligus guide kita kali ini, kita terlebih dulu sarapan dan melengkapi beberapa logistik yang belum dibeli seperti air. Teman semobil sewaan kita sudah pamit untuk nanjak duluan sekitar jam 7. “Nanti nyusul, ya!” kata mereka. Hhmm... mission impossible kayaknya. Secara kita –eh, saya deng– kalo nanjak udah kaya putri, putri siput :’))

Dan, jam 9 Mas Ikhsan baru nongol, padahal janjinya jam 8, pfftttt. Katanya lupa, malah ke basecamp Selo, duh... Emang pendakian via Selo lebih famous sih dibandingkan via Suwanting, tapi karena beberapa pertimbangan, kita memilih naik via Suwanting. Diantaranya yang paling signifikan adalah banyaknya keberadaan sumber air, sementara via Selo sama sekali nggak ada sumber air. Terus view via Suwanting juga nggak kalah kece katanya, meskipun treknya lebih lumayan dibandingkan via Selo. Tapi rencananya kita turun via Selo, biar dapet juga view Selonya. Nggak mau rugi pokoknya kita, hehehe.

Kitapun akhirnya baru mulai nanjak sekitar jam 10an. Di pos pendakian Suwanting, kita harus membayar simaksi seharga Rp 18.000,- (ini tarif liburan juga sepertinya). Di trek awal, kita akan melewati perkebunan warga sekitar, kemudian mendekati pos 1 akan mulai banyak pohon pinus. Saya lupa berapa lama waktu untuk sampai ke pos 1, waktu normalnya sih sekitar 2 jam, tapi karena kita bisa dibilang sewoles-wolesnya pendaki di Merbabu hari itu, sepertinya kita sampai di sana setelah sekitar 3 jam perjalanan, atau lebih, hehehe. Seinget saya, dari awal sampai nanti finish, kita nggak pernah mendahului pendaki lain, yang ada kita terus yang ditikung. Ya ga papalah ya, asal nanti dapetinnya yang lebih baik lagi *eh apasih.

Di pos 1 ini kita ketemu sama rombongan pendaki lain (lupa asalnya dari mana) yang dengan baik hatinya Mas Ikhsan menawarkan bantuan untuk mengambil foto mereka bahkan tanpa diminta. Dan, di kemudian hari mereka akan jadi salah satu penolong kita (penasaran? baca terus sampe habis makanya!)

Morality lesson: do good things and good things will happen to you.  It’s really happen genks! So, banyak-banyak berbuat baik selagi masih bisa, nanti pasti kebaikan-kebaikan lain akan menghampirimu, kalau ga di dunia, pasti di akhirat. Allah Seadil-adil Maha Pemberi Balasan, kan? :)

Sore hari, sekitar jam 4 kita baru sampai ke pos 2. Dengan kondisi fisik yang udah pada kecapekan, kita memutuskan untuk ngecamp di sana. Dua cowok langsung ngediriin tenda, beres itu cewek-cewek langsung ganti baju biar ga kedinginan. Di pos 2 ini, udara udah lumayan dingin, angin juga lumayan kenceng. Biar nggak kedinginan apalagi hypo, cepet ganti baju pendakian kamu yang pasti udah lembab karena keringet, dengan baju kering yang mau dipake buat tidur.

Di pos 2 tempat kita mendirikan tenda ini, view dihadapannya langsung Gunung Merapi. Udah dapet indahnyaaa, samudera awannya, sunsetnya juga kece. Saya pikir, kalaupun nggak bisa ngelanjutin perjalanan dan harus berenti di sini, ya nothing to lose. Beneran deh, di pos 2 aja udah bagus banget viewnya.


Menikmati senja di Pos 2 via Suwanting

Setelah cukup istirahat, di hari pendakian kedua kita mulai lagi treking dari jam 9 pagi. Treknya masih terus nanjak, tanpa bonus. Kalaupun ada dataran, paling cuma berapa langkah. Ini bikin fisik kita kepayahan, apalagi kami ngedaki tanpa persiapan fisik sebelumnya, dan bagi Linda pun, ini pengalaman mendaki pertamanya.

Karena tujuan utama kita bukan puncak, tapi pulang dengan selamat tanpa kurang apapun. Maka, kita ngedaki dengan santai, kalau capek ya berhenti istirahat. Nggak ada yang perlu dipaksain, nggak ada target harus nyampe jam berapa. Nikmatin aja perjalanannya, karena bakal banyak yang terlewat ketika kita tergesa-gesa. Tsaaaah...

Kadang kita jalan 3 menit, liat dataran dikit langsung duduk, istirahat sampe 15 menitan. Lanjut lagi, beberapa langkah kemudian berhenti lagi, istirahat lagi. Gitu aja terus, sampe nggak kerasa udah sore, jam 3an kita baru sampe ke pos 3. Hahaha. Bayangin, normalnya dari pos 2 ke pos 3 itu paling 3-4 jam, tapi itu kita tempuh selama 6 jam. Jadi dua kali lipatnya, fiuh!

Udah punya feeling bakal ngaret, di perjalanan  dari pos-2 ke pos-3 kita udah mulai mengumpulkan logistik sisa-sia para pendaki lainnya, hahaha. Inilah yang saya bilang do good things and good things will happen to you. Tiap kita ketemu sama para pendaki yang mau turun (sebelumnya kita udah saling sapa dan kenal kemarin pas mereka naik), kita tanya apa mereka punya sisa logistik. Nah, rombongan yang kemarin difotoin sama Mas Ikhsan itu yang paling banyak nyumbang logistik ke kita. Alhamdulillah, rejeki anak shaleh B-)

Kita juga sempet ketemu sama dua pendaki yang semobil barengan sama kita pas mau ke basecamp Suwanting. “Lah, baru mau naik?” “Iya, bang. Udah sampe puncak?” “Nggak, ngopi-ngopi dingin doang di pos 3. Pantesan kita nyariin kalian di pos 3 tapi nggak ada.” Nggak cuma mereka aja kok yang memutuskan untuk stop di pos 3, sebelumnya, rombongan bapak-bapak dermawan yang ngasih logistik ke kita juga cuma sampe pos 3 katanya.

Setelah sampe pos 3, ngerti juga sih kenapa mereka merasa udah cukup walaupun nggak sampe puncak. Pos 3 ini emang udah keren; banyak edelweis, Merapi, Sindoro, Sumbing keliatan menjulang gagah, samudera awan dan sunsetnya juga udah berasa di puncak.

View at Pos 3 via Suwanting

Dengan beberapa pertimbangan; kondisi fisik yang udah capek, angin yang lagi kenceng-kencengnya, khawatirnya kalo kita ngelanjutin dan ngecamp di sabana 1, tenda kita akan patah atau malah terbang kebawa angin, karena semakin tinggi, tiupan angin akan semakin kenceng. Pun, nggak ada tameng apapun untuk melindungi tenda kita, plong banget cuma ada rumput. Kalau di pos 3 ini masih ada beberapa pepohonan dan semak-semak untuk melindungi tenda kita dari terpaan angin secara langsung, jadi kita lebih milih stop perjalanan hari kedua di pos 3.

Sialnya, dingin dan anginnya udah nggak bisa diajak kompromi. Kalau di pos 2 saya dan Linda masih bisa keluar tenda untuk buag air kecil malem-malem, di pos 3 ini kita lebih milih tahan aja sampe besok pagi! Pas liat sunset aja kita cuma tahan beberapa menit, ngambil beberapa foto dan video dengan kecepatan kilat, dan langsung lari-larian ke dalem tenda. Saya mulai khawatir, gimana malem nanti?

Daaan, benar ajaaa. Saya udah pake double jaket, sleeping bag juga udah yang tebel, tapi masih gemerutukan. Anginnya parah, khawatir juga badai, pokoknya dag-dig-dug, bikin saya nggak bisa tidur semaleman. Menjelag pagi pas angin udah lumayan aman, baru saya bisa istirahat sebentar. Baru pertama kali itu ngerasain angin separah itu di gunung, pas di Prau dan pos 2 kemarin anginnya aman-aman aja. Saya ngebayangin gimana kalo kita jadi ngecamp di sabana 1 atau deket puncak sesuai rencana kita di awal, pasti lebih serem lagi anginnya, hiiiiii....

Hari ketiga, kita mulai lagi pendakian sekitar jam 9 pagi. Linda udah mulai terbiasa sepertinya, dia terus jalan di depan saya. Sebaliknya, saya udah mulai kehabisan energi di hari ketiga ini, ditambah semalam kurang istirahat. Baru treking 15 menitan carrier saya udah dibawain, hehehe.

Tapi untungnya view sepanjang perjalanan ngedukung banget untuk jadi penyemangat. Dari Pos 3 ke atas itu udah bukit sabana seluas mata memandang. Baguuuuus banget. Dan akhirnya, sekitar jam 1 siang kita sampai di puncak Suwanting. Asli ini petjaaaah banget viewnya! Nggak nyesel meski harus 3 hari perjalanan ke sini, capeknya kebayar lunasss. Saya masih inget, pas liat view-nya Linda langsung bilang, “Teh, ini kaya gambar di desktop komputer itu tapi versi aslinya!” Hahaha, iya bener sih.


View at Puncak Suwanting

Selesai puas menikmati keindahan Suwanting, kami melanjutkan perjalanan ke puncak Kenteng Songo. Masih naik-naik ke puncak gunung terus, meskipun nggak securam sebelumnya. Sekitar jam 3 kita sampai di ketinggian 3142 mdpl. Mas Ikhsan yang terlebih dulu sampai, udah lagi ngopi-ngopi ganteng sama rombongan pendaki lainnya, dari Bogor kalo nggak salah. Kami pun ikut nimbrung dan numpang masak mie di kompor milik mereka. Salah satu dari mereka juga nantinya ikut ngebantu ngebawain daypack kita sampe tenda mereka. Dan sebagai ucapan terima kasih, kita nge-share setengah botol air kita ke mereka yang udah krisis air.

Puncak Suwanting

Puncak Triangulasi

Puncak Kenteng Songo

Sadar kita mulai berpacu sama waktu, karena kita menghindari trek malem dan berharap bisa sampai di basecamp Selo sekitar jam 7, maka kita nggak berlama-lama di puncak Kenteng Songo. Kita langsung melanjutkan perjalanan lagi untuk turun via Selo, sekitar jam 4 sore.

Jalur Selo waktu itu sedang dalam kondisi yang kurang bagus. Mungkin karena hujan sehingga jalur pendakian juga jadi jalan air, atau mungkin juga karena suka dipakai “main perosotan” oleh para pendaki nakal, yang jelas lumayan susah nyari jalur aman dimana kaki kita harus berpijak. Karena itu, beberapa kali juga saya jatuh kepeleset, malah sampe jatuh tiduran telentang, saking udah ga ada lagi tenaga buat balancing ataupun defending. Untungnya, cederanya nggak parah-parah amat. Beberapa menit jalan agak jingklek sih, tapi lama kemalamaan nggak dirasa juga.

Actually, saya nggak begitu banyak menikmati perjalanan di jalur Selo. Mungkin karena kita berkejaran sama waktu. Saya bener-bener blank mana sabana 1, 2, pos 1, pos 2, yang saya tau kita harus tetep jalan, jalan terus secapek apapun, biar nggak kemaleman sampe basecamp. Karena kita juga udah nggak mungkin lagi ngecamp di sabana 1 atau pos 2, logistik kita udah habis, air pun habis. Kalau mau istirahat dan makan, jalan satu-satunya adalah harus sampe basecamp dulu.

Nyesel juga sebenernya, kita sama sekali nggak punya foto di jalur Selo. Sebenernya sempet ngambil beberapa foto di Sabananya, tapi apa daya, memori hp saya rusak dan foto-foto itu nggak bisa terselamatkan. Kode banget nggak sih ini dari semesta, that you have to comeback to Selo again oneday, ahaaaa! I will, I will... Merbabu terlalu indah buat kamu liat sekali doang dalam hidup kamu.


Finally, setelah jalan hampir tanpa jeda –kita cuma 2 atau 3 kali berhenti sebentar untuk minum dan mastiin jarak antar kita aman–  sekitar jam 9 malam kita sampe juga ke basecamp. Nggak kaya di Suwanting yang cuma punya satu basecamp dan nggak ada toko souvenir (selihat saya), kalo via Selo ini banyak banget basecamp yang mereka juga jual souvenir. Kita muutusin buat ngecamp di basecamp Pak Parman, yang udah baca buku Pejalan Anarki pasti udah familiar sama basecamp ini. Sesampainya di basecamp kita langsung pesen makan, ganti baju dan bersih-bersih (tanpa madi soalnya anginnya dingin bingit, mhuehehe), shalat terus langsung tidur.

Besoknya, menurut rencana sih kita jam 7 udah otw pulang. Tapi nyatanya jam 8 kita baru pada sadar. Basecamp Pak Parman ini rame banget, jadi walaupun tempatnya udah lebih nyaman daripada tenta, kita tetep aja nggak bisa pules karena sepanjang malem banyak pendaki yang baru turun atau yang baru mau naik bolak-balik keluar-masuk tempat kita tidur. Saya selepas subuh juga tidur lagi, dan yang paling terakhir dibangunin buat siap-siap packing. 

Pas kebangun, temen-temen lagi pada ngopi sambil ngobrol sama Dyos, seorang pendaki asal Cirebon. Dia baru mau naik Merapi pagi itu. Kita lumayan banyak cerita tentang perpustakaan jalanan, backpacker, dan kegiatan-kegiatan sosial. You know, orang yang punya kesamaan minat, akan cepet akrab dan merasa mereka udah berteman lama padahal itu baru pertama kalinya kita ketemu. Sampai akhirnya kita harus pamit ke Dyos, karena mobil yang kita carter untuk mengantarkan kita ke terminal Boyolali udah siap. Sebelumnya, kita sempet ngambil beberapa foto dulu di gate jalur pendakian Selo, sebagai bukti aja, supaya nggak hoax. 

Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Selo

Sekitar setengah jam kemudian, jam 12.30 kita sampai di terminal. Setelah nego, kita bayar mobil carteran diharga 200ribu. Selanjutnya, sambil nunggu cowok-cowok nyari tiket bis Boyolali-Karawang, saya belanja oleh-oleh makanan buat orang di rumah. Setelah dapet tiket di harga 130ribu, kita nyari masjid untuk dzuhur jama’ ashar.

Sekitar jam 2 bus udah berangkat dari terminal. Tapi jalannya kayak siput dan sering ngetem lama pula. Jam 3 bus masuk terminal. Saya nanya ke Linda dan @mohparman, ini terminal mana, perasaan kok sama bentuknya kayak terminal Boyolali. Dan ternyataaaa, emang bener, busnya balik lagi coba ke terminal tadi, kampretoooossss -,,-

Jam setengah 4an bus baru jalan lagi. Jalan karena masih di weekend liburan macet pake banget, sepertinya kita kejebak arus balik. Sampe malem macet dimana-mana. Bus juga penuh, ada yang berdiri malah, banyak juga yang katanya harus beli tiket diharga 2-3 kali lipat dari biasanya. Ternyata tiket kita tuh emang yang paling murah, lainnya ada yang sampe 200-250an.

Besok paginya jam 6an, kita udah siap-siap karena bus udah deket tol karawang. Tol cikarang, lewat, tol karawang barat, lewat, tol karawang timur lewat jugaaaa. Hwaaaa, kita udah mulai panik. Dan ternyata bus ini nggak nyimpang ke Karawang, padahal jelas-jelas di tiketnya ada bacaan Boyolali-Klari. Akhirnya bus baru berenti di terminal bayangan Jatibening -Jakarta. Kita tanpa pikir panjang, langsung buru-buru turun di situ. Akibat gerasah-gerusuh nggak puguh, seplastik oleh-oleh yang saya beli di terminal Boyolali nggak ikutan turun bareng kita, dia masih betah ada di dalem bus, huhuhu *dadahdadah

Dari Jatibening kita nyambung bus ke Terminal Kampung Rambutan dulu, baru kemudian baik bus ke Karawang. Itu sumpah, buang-buang waktu, tenaga, dan uang banget. Kezellll. Nggak sampe di situ doang kesialan kita, sampe Karawang pun nggak ada grab car yang mau ngangkut kita. Untungnya ada power ranger pink a.k.a @mbaull_ yang bisa ngejemput kita. Karena dia juga cuma bisa nganter sebalik gegara telat udah harus pergi kuliah, akhirnya saya, @mbaull_ dan Linda naik motor bertiga udah kayak cabe-cabean. Udah mah banyak polisi tidur, malang sekali nasib motor @mbaull_

Tengah hari saya baru sampai rumah, sehabis isirahat dan makan dulu di Karawang. Dengan muka gosong, kaki bengkak, badan remuk. Tapi itulah seninya. Emang gitu fasenya: 1. Exciting pegen naik gunung – 2. Pas nanjak misuh-misuh ngapain gue capek-capek setengahmati naik gunung kayak begini –3. Pas sampe puncak lupa semua capek-capeknya – 4. Pas turun janji nggak mau naik gunung lagi – 5. Pas liat foto-foto dan keinget kenangan di gunung, mulai nyari gunung mana lagi yang mau didaki – 6. Kembali ke fase awal no.1

Sekarang juga lagi rindu-rindunya ngecamp di tenda di atas ketinggian. Sempet bilang, setelah Merbabu, target selanjutnya adalah Semeru dan Rinjani. Tapi kok ya setelah baca buku Jalan Pulang mupeng juga kepengen ke Gede-Pangrango. Pinginnya akhir tahun ini, tapi seertinya cuaca lagi nggak memungkinkan, bahkan Gede-Pangrango ditutup beberapa waktu yang lalu. Mudah-mudahan nanti waktu cuacanya udah bagus, ada temen yang mau diajak nanjak bareng, ada rezeki dan libur cuti juga. Bulan Februari atau Maret udah bagus lah ya cuacanya? #kode

Sincerely,
@riana_yah

Selasa, 21 November 2017

Alfamart mengadakan Pelatihan bagi Pedagang Kecil di Karawang


Senin kemarin, 20 Nov 2017, beberapa teman blogger dari Karawang diundang untuk meliput sebuah pelatihan bagi para pedagang kecil - UMKM di Karawang yang diadakan oleh PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Acara yang bertempat di kantor cabang Alfamart Karawang tersebut bertemakan “Pelatihan Manajemen Ritel bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)“.

Mungkin banyak dari kita yang sering mendengar opini bahwa retail modern yang sedang menjamur kini “mematikan” pedagang retail tradisional, apalagi yang hanya berskala kecil. Nah, pelatihan manajemen retail ini merupakan salah satu corporate social responsibility (CSR) yang dijalankan alfamart sebagai bentuk dorongan pada usaha ritel tradisional. Tujuannya, agar para peserta yakni para pedagang kecil mampu mengetahui cara mengelola warung yang baik dengan pendekatan retail modern.  

Melalui program Outlet Binaan Alfamart (OBA), Alfamart membantu para pedagang kecil memenuhi pasokan barang dagangan mereka. Para peserta pelatihan yang merupakan pemilik OBA mengungkapkan bahwa program ini cukup membantu mereka, karena mereka tidak perlu lagi meninggalkan warung untuk pergi ke agen atau pasar, selain menghemat tenaga, para pedagang juga dapat menghemat biaya transportasi. Kini mereka cukup memesan barang dengan menelpon atau sms MRO (Member Relation Officer) Alfamart, atau bisa juga melalui palikasi android yang bernama Alfa Micro.

Selain memasok barang dagangan, Alfamart juga mendorong para pedagang dengan melakukan pelatihan rutin sehingga para pedagang mengetahui manajemen pengelolaan warung mereka, seperti manajemen keuangan (cash flow), penataan barang, pengaturan stok barang, tips mengamati tren pasar terkait produk yang sedang diminati, hingga pelayanan yang ramah kepada pembeli.  

Menurut Pak Akmal Maulana, penyampai materi pada pelatihan kali itu, yang merupakan Member Relations Coordinator untuk wilayah Subang dan Purwakarta, para pedagang harus mengetahui manajemen keuangan (cash flow)warung mereka, agar usaha mereka dapat terus berkembang dan tidak sampai merugi. Kebanyakan warung tradisional di Indonesia sulit untuk berkembang karena tidak adanya pencatatan dan pemisahan antara barang modal usaha dan barang yang dikonsumsi sendiri. “Belum lagi kalau saudara atau keluarga yang ngambil barang, pasti tidak bayar, mending kalau sekali, kalau setiap hari, bagaimana?” tanya Pak Akmal, yang dijawab hanya dengan gelak tawa para peserta di ruangan.

Pak Akmal Maulana sedang menyampaikan materi kepada peserta pelatihan

Penataan (display) barang juga sama pentingnya. Pedagang harus menata barang dagangannya dengan prinsip penanggalan kadaluwarsa produk, atau yang dikenal dengan first in first out (FIFO). Hal ini dilakukan untuk menghindari barang yang sudah lama masuk tapi tidak kunjung terjual (karena tidak di display) hingga akhirnya kadaluwarsa dan menyebabkan kerugian bagi pedagang. Stok barang juga perlu diperhatikan para pedagang. Jangan sampai ketika pembeli ingin membeli suatu barang, tapi barang itu tidak tersedia, sehingga menimbulkan lost sales atau kehilangan potensi penjualan.

Acara yang dimulai dari jam 10.00-12.00 diikuti sekitar 30 pedagang UMKM, ada yang baru pertama kali mengikuti pelatihan, ada juga yang sudah lebih dari tiga kali. Bagi kami para blogger, tentu saja ini adalah yang pertama kalinya. Tapi justru itu, malah kami yang antusias bertanya dan banyak ingin tahu. Habisnya, baru tahu juga kalau Alfamart punya program macam begini. Pun, berangkali salah satu dari kita nanti berminat untuk membuka warung atau toko kecil-kecilan. Secara, usaha warung atau toko memang banyak jadi pilihan, karena modalnya yang relatif kecil, pengelolaannya yang tidak terlalu ribet, dan untungnya juga lumayan. So, berminat untuk berwiraswasta dan jadi Outlet Binaan Alfamart? B-)

Foto bersama para pemilik Outlet Binaan Alfamart


Foto bersama para blogger Karawang

Sincerely,
@riana_yah

Minggu, 29 Oktober 2017

Film Negeri Dongeng; Kisah Nyata Ekspedisi 7 Gunung Tertinggi di Indonesia


Hai para warriors!

Kali ini saya akan nulis tentang review pegalaman saya nonton Film Negeri Dongeng. Jadi, sabtu lalu (28/10) Backpacker Karawang dan RIR outdoor mengadakan Nobar Film Negeri Dongeng untuk yang ke-dua kalinya di Karawang. Dan antusiasme warga Karawang untuk nonton film karya Anggi Frisca ini masih sangat tinggi, terbukti dengan penuhnya dua studio yang di booked panitia. Awalnya film ini memang nggak tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Kalo mau nonton, ya harus lewat nobar atau special screening. Nah, baru tanggal 26 Oktober kemarin film ini bisa tembus ke bioskop, tapi itu juga cuma beberapa biskop tertentu, dan Karawang tidak termasuk di dalamnya. Huft!

Film Negeri Dongeng ini bercerita tentang apa sih? Jadi film ini adalah film dokumenter yang menyajikan perjalanan 7 warriors aksa 7 : Anggi Frisca (Sutradara), Teguh Rahmadi, Rivan Hanggarai, Jogie KM. Nadeak, Yohanes Pattiasina, Wihana Erlangga dan dr. Chandra Sembiring (Produser)  mendaki 7 gunung tertinggi di Indonesia; Semeru (Jawa Timur), Binaiya (Ambon), Rinjani (Lombok), Bukit Raya (Kalimantan), Kerinci (Sumatera Barat), Latimojong (Sulawesi) dan Cartenz (Papua).  

Tiket, post card, dan poster oleh-oleh Nobar Negeri Dongeng kemarin

Actually, ini pengalaman pertama saya nonton film dokumenter. Kalo film tentang pendakian sih udah beberapa kali, 5 cm dan everest diantaranya. Tapi asli beda banget rasanya nonton film dokumenter yang bener-bener real dan drama yang cuma skenario.

Awalnya saya kira, akan ada banyak narasi seperti film dokumenter pada umumnya, dan akan sedikit membosankan. Tapi saya salah besar. Di film ini sangat sedikit narasi, hampir 80% nya dijelaskan oleh mata kamera. Asik banget deh asli filmnya!

Yang jelas sih setelah selesai nonton film ini, saya bener-bener mau kasih 5 bintang untuk mbak Anggi Frisca. The best lah pokoknya nih orang! Kayaknya nggak ada satu apapun yang kurang dari film ini. Dapet banget! Dari alur, pendakian 7 gunung yang dilakuin dari tahun 2014 itu harus dipadetin jadi cuma 2 jam tayang saja. Tapi mbak Anggi sukses ngambil part-part yang bener-bener “bercerita” dengan rapat, dari awal sampai akhir. Pun, alurnya diajak naik turun, susah susah seneng, dimunculin konflik kemudian seneng lagi, konflik lagi, seneng  seneng susah, sampe akhirnya di klimaks. Arrrgghhhh... ngeseliiiin! Asik banget alurnya, ga monoton. Because life is never flat, kata iklan mah.

Dari segi penaataan musik, juga ketjeh badai. Dua OST dari Efek Rumah Kaca – Menjadi Indonesia dan Ari Reda – Pada Suatu Hari Nanti bener-bener cocok untuk film ini. Liriknya pun ngejlebbb...

“Ada yang runtuh, tamah ramahmu, beda teraniaya
Ada yang tumbuh, iri dengkimu, cinta pergi kemana?
Lekas, bangun dari tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu”
-lirik lagu Menjadi Indonesia-

“Pada suatu hari nanti jasadku tak kan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak kan ku relakan sendiri”
-lirik lagu Pada Suatu Hari Nanti-

Dari segi penataan gambar, saya mungkin ga terlalu paham. Tapi sinematografi dari film ini cukup kok untuk memanjakan mata para penonton, showing how wonderful Indonesia. Kebayang juga gimana capeknya para warriors ngangkut perlengkapan shooting ke puncak 7 gunung tersebut. Padahal perlengkapan hidup sehari-hari di gunung pun, kayak tenda, peralatan masak, logistik, baju, pasti udah bikin carrier penuh. Ini ditambah lagi dengan kamera-kamera yang saya yakin nggak akan enteng bobotnya. Pun, ngedaki sambil nenteng-nenteng kamera, ngambil view, nge-take moment. Set dah, kalo saya mah kepikiran buat ngeluarin hp buat foto aja nggak, kalo udah dijalur pendakian, muehehehe.

Last but not least, dari segi cerita di dalamnya yang ingin disampaikan ke para penonton. Banyak banget pelajaran yang bisa diambil, tentang kerjasama dan meredam ego masing-masing, tentang perjuangan dan menantang diri sendiri untuk mencapai tujuan, tentang mengenal dan menghargai budaya lain sekitar kita, tentang menjaga dan mencitai alam semesta.

Honestly, ada dua sisi yang bikin saya haru setelah nonton film Negeri Dongeng ini. Sisi pertama haru karena bangga dilahirkan di Negeri Dongeng ini, Indonesia. Kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memproduksi hasil tanah dan laut terbaik; teh dan kopi premium, terumbu karang terindah, hutan penghasil oksigen sebagai paru-paru dunia, dan masih banyak lagi.

Tapi di sisi lain, juga haru karena malu. Malu karena kita belum bisa menjaganya dengan baik. Scene yang paling menyayat hati adalah ketika ngeliat sampah konsumsi dari kapal laut yang bertong-tong itu langsung dibuang ke laut lepas. Ya Allah... itu ikannya berenang sama sampah-sampah dong, belum lagi kalo mereka makan sampahnya, belum lagi tempat hidupnya pasti tercemar, tingkat oksigen di laut makin sedikit, nanti mereka pada mati, ekosistem lautnya pasti berantakan, tangkapan para nelayan nggak sebanyak dulu lagi. Ayolah berpikir panjang sebelum kalian ngebuang satu bungkus sampah pun ke laut atau tempat manapun yang emang bukan alamnya si sampah untuk tinggal.

Juga ada scene ketika seorang bapak pendaki menceritakan keresahannya, “Di satu sisi kita nggak mau ada sampah di gunung, tapi di lain sisi juga kita yang bawa sampah ke sana.” Saya langsung mikir, hmmm... iya juga ya. Da kalo nggak ada pendaki mah, gunung bakalan bebas dari sampah, kan?

Di scene selanjutnya ada mbak Anggi yang “marah-marah” karena logistik yang dibawa dari Jakarta kebanyakan dibungkus sama wadah plastik, macem kopi, cemilan, sampe bumbu spagethi. Dan akhirnya untuk meminimalisir sampah itu, mereka membuka sachet-sachet logistik tersebut dan disatukan menurut macamnya di sebuah plastik besar. Good idea, sih. Supaya nggak terlalu banyak sampah yang dibawa turun. Inget ya, jangan tinggalkan apapun selain kenangan di gunung. Jangan ambil apapun kecuali gambar di gunung. Bawa turun sampahmu, lupakan mantanmu! Ehhh...

Di film ini juga banyak scene-scene kocak yang bikin penonton ngakak. Diantaranya waktu Matthew (guest expeditor) nanya, “Beta itu siapa?” terus Bang Teguh asal jawab, “Beta itu tetangga kita, itu yang tukang....” hahaha, polos banget dah tuh bocah, ga tau kalo beta itu dipakai untuk kata ganti saya di timur Indonesia sana. Seringkali juga Bang Teguh ngomong non-sense  dari mulai pake logat cina sampe ambon, atau Bang Rivan yang suka joged-joged nggak jelas. Scene-scene itu diplotkan di tempat yang pas, bikin penonton seger lagi dengan punch-punch ringan tersebut.

Overall, saya salute sekali lagi kepada Mbak Anggi Frisca. Do’i cewek loh, tapi nggak pernah absen di pendakian 7 gunung ini, kadang juga cewek sendirian. Dan do’i adalah sutradara alias otak dari proyek film ini. Sebagai ketua dari para warriors aksa 7 yang keren-keren, yang kesemuanya juga pasti punya cara pikir dan ego masing-masing. Dan satu poin kecil tapi menarik bagi saya adalah, semua anggota tim masih memperlakukan mbak Anggi sebagai “cewek”. Keberadaannya sebagai perempuan satu-satunya di dalam tim, nggak membuat para pria yang membersamainya menganggap Mbak Anggi sama dengan mereka. Mbak Anggi tetap diperlakukan “berbeda”, saat nyebrang sungai misalnya, Mbak Anggi selalu dijaga minimal oleh seorang lainnya. Kadang-kadang mikir juga sama para aktivis kesetaraan gender yang nyolot banget pengen ada kesetaraan antara cewek dan cowok dalam segala hal. Padahal di perlakukan secara special itu asik loh :P

@riana_yah, mbak Anggi Frisca, @moh_parman
Fortunately, kemarin kita bisa langsung meet up sama Mbak Anggi Frisca. Yup, beliau jadi ekspeditor tamu di Nobar Karawang kali ini, tepat di moment sumpah pemuda, setelah sebelumnya ada Bang Rivan yang dateng di Nobar pertama. Ketjeh emang Karawaaaang!

Intinya guys, Negeri Dongeng ini film keren, film asik, film karya anak bangsa yang wajib kalian tonton. Udah ada kok di beberapa bioskop di Indonesia, silahkan kepoin websitenya www.negeridongeng.co.id untuk info lebih lanjut. Atau kalian juga bisa ngikutin langkah para volunteer dari Karawang untuk ngadain nobar di daerah kalian yang nggak kebagian layar. Biar bisa seru-seruan kayak kita giniiiiii!!

Karawang troops

Salam lestari!
@riana_yah

Minggu, 17 September 2017

Review Buku Jalan Pulang (Buku Kedua Pejalan Anarki, Dwilogi Sepasang yang Melawan)

“Dan kau pergi diam-diam mengepaki cinta, dengan cara terpetualang yang pernah ada.”

Sesiapa yang membaca Pejalan Anarki (saya pernah me-reviewnya juga di sini), buku pertama dari dwilogi Sepasang yang Melawan ini, pasti sudah menanti kelanjutan dari kisah perjalanan El dan Sekar. Di akhiri dengan kepergian El di buku pertama, tentu membuat para pembaca penasaran, apa yang akan terjadi selanjutnya pada kisah sepasang pendaki ini. Apakah Sekar akan menerima Rama, pria pilihan ayahnya, penolong keluarganya, dan pada Rama pun akhirnya El menitipkan Sekar sebelum ia pergi. Ataukah Sekar akan berontak dan pergi mencari El yang menghilang?

Di awal buku ini, akan kita rasakan, bagaimana nelangsanya Sekar yang ditinggal kekasihnya, El. Sang penulis, Jazuli Imam, banyak membawa ingatan Sekar pada masa dimana ia masih dibersamai El. Saat mereka mendaki Rinjani misalnya, di hadapan sebermula bersatunya mereka berdua; Sagara Anak, El berucap, “Salah satu cara Tuhan untuk pamer adalah ya Dia menciptakan Sagara Anak, Ranu Kumbolo, Jogja, Bandung, dan Kamu.”  

Tapi Sekar pun tersadar, ia tak bisa terus-menerus begini. Ia yang anak pertama, harapan keluarga, dipaksa bangkit setelah melihat sosok bapak, ibu, dan adik-adiknya. “Merawat kesia-siaan adalah dosa, Non” pesan El dalam surat terakhirnya untuk Sekar. Surat perpisahan yang lebih romantis dari puisi percintaan. Angkat topi sekali lagi buat Mas Jazuli Imam!

Sekar Indurasmi. Atas perpisahan kita, aku tahu kamu akan merasa sebagaimana yang aku rasa, kita tidak sedang baik-baik saja.

Hanya, percayalah pada apa yang telah kita sepakati tentang kehidupan ini, sayang, bahwa segalanya hanya sementara, bahwa tak ada yang pasti selain mati. Satu detik atau seribu tahun, tak ada yang abadi tetaplah tak ada yang abadi. Juga kegelisahan ini, pasti mati, nanti.

Kembalikan kendalimu. Kendalikan dirimu. Segala bentuk ketergantungan adalah penjajahan. Dan sebagaimana sumpah kita pada yang merdeka, Nona. Aku, kamu, menolak tunduk pada apa-apa selain Allah. Tidak pada sekolah, tidak pada harta, tidak pada tahta, tidak pada tentara, tidak pada negara, juga satu sayangku.. tidak pada kita.

Tak pernah aku sesali bertemu denganmu. Mencintaimu, Sekar, aku sepertinya tahu bagaimana rasanya menjadi Sampek dan Engtai, V dan Elly, pohon dan air, bulan dan bintang, atau bahkan palu dan arit, tembakau dan petaninya, burung dan langit, bunyi peluit dan seorang yang hilang, juga matahari pagi dan pendaki di gunung yang dingin, serta bagaimana rasanya Hatta mencintai sederhana. Mencintaimu, aku merasa tahu, Nona.

Tapi, Sampek hanya nama, V hanya topeng, pohon akan tua, bulan akan padam, palu arit mati, tembakau jadi asap, burung jadi tulang, bunyi hening lagi, matahari akan terpenggal, dan Hatta tak lagi ada. Apalagi aku.

Haya, percaya, dalam setiap perbuatan cintamu kepada kehidupan, aku –dan apa-apa yang baru saja kusebutkan– ada di sana.


Tapi sebelum memulai lagi kehidupan barunya, Sekar ingin terlebih dahulu melakukan perjalanan yang disebutnya ‘titik balik’, memunguti lagi sisa-sisa dirinya yang masih tercecer di tempat-tampat yang dulu ia habiskan bersama El. 

“El, aku dalam perjalanan pulang. Aku akan sampai di titik itu. Seperti katamu; semua perjalanan akan sampai.”

Akankah Sekar menemukan lagi El di perjalanan pulangnya? Hhmmm... wajib baca bukunya lah kalo mau tau kelanjutannya. Review beda sama rangkuman yaaa, jadi keinget tugas bahasa Indonesia pas jaman SD, ngerangkum novel  -,-“



Back to topic. Berbeda dari buku sebelumnya, yang menceritakan pendakian El dan Sekar di Merbabu dan Rinjani, kini Mas Juju (panggilan akrab Jazuli Imam) memilih untuk mengangkat cerita pendakian di Gunung Pangrango yang memiliki trek basah dan Merapi dengan nuansa mistisnya. Tidak lupa, Mas Juju selalu menyelipkan wawasan tentang pendakian. Misalnya, dalam buku ini dikisahkan El dan Sekar yang membantu teman di samping tendanya yang terserang hypotermia.

Selain dua gunung tersebut, ada juga setting baru yang dimunculkan di buku kedua ini, yakni distrik Noari di selatan Papua. Sebagian besar konflik terjadi di tanah Papua ini. Juga ada dua nama tokoh baru di sini, yakni Lana dan Eliza, yang mengisi kisah petualang di Nusantara terpencil itu.

Bukan Mas Juju rasanya kalau tanpa kritik sosial, pun di buku ini. Dengan apik Mas Juju mendelivernya kepada pembaca. Misalnya dalam argumentasi Eliza menyoal pembukaan lahan untuk padi di Papua; “Memaksa Papua mengganti sagu dengan nasi adalah manifestasi kebodohan negara. Papua tidak butuh nasi. Mereka makannya sagu, umbi, petatas, dll. Jika kamu bertanya tentang sikap, maka sikap saya menolak pembukaan lahan untuk padi. Anda perlu tahu bahwa saya terlibat dan mendukung kawan-kawan lokal di Muting melawan sawah, sawit, karet, yang menggusur pohon-pohon sagu, menguras air, merubah budaya lokal dan segala jenis degradasi lain, atas nama uang, pembangunan, atau apapun argumentasi di balik kerakusan orang kota.”

Atau pada saat Eliza memprotes bantuan dari salah satu yayasan ke murid-muridnya; “Anak-anak sini nih gak butuh sepatu, gak butuh tas, gak butuh seragam.” Eliza lebih berpikir jauh ke depan. Bagaimana nanti jika sepatu anak-anak rusak? Mereka akan meminta orang tuanya untuk membelikan sepatu. Dan bagaimana jika orang tua mereka tidak punya uang untuk itu? Anak-anak akan malu berangkat ke sekolah sebab ia tak punya sepatu. “Kalau tujuannya adalah belajar, kenapa kita tidak memberi mereka buku-buku bacaan saja? Perpustakaan? Laboratorium dan yang sejenisnya. Mari kita buat anak-anak itu tidak tergantung pada barang, barang, dan barang, melainkan pada bacaan, pengetahuan, dan alam.”

Dan masih banyak lagi lainnya; tentang bagaimana pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anak Papua, konflik di daerah perbatasan negeri, hingga  pemberitaan media mainstream yang condong kepada pemangku kepentingan dari pada kenyataan yang ada.

Dibanding buku sebelumnya, buku ini memang lebih syarat akan kritik sosialnya dibanding baper-baperannya. Kalo ngomongin chemistry antara Sekar dan El, di buku pertama Pejalan Anarki lebih dapet kalo menurut saya. Kalo ngomongin sisi pendakian juga di buku pertama lebih dapet, karena settingnya banyak di gunung. Tapi, kalo ngomongin kritik ke pemerintah, kaum kapitalis, dan diri kita sendiri (somehow), buku kedua ini lebih berisi, in my opinion loh yaaa.

Overall, bukunya keren. Recommended. Dwilogi ‘sepasang yang melawan’; Pejalan Anarki dan Jalan Pulang tetep ada di top list buku favorit saya. Semoga sehat selalu, Mas Juju. Biar bisa dolan terus, ngopi terus, nulis terus. Indonesia butuh banyak lagi kloningan macam Jazuli Imam, supaya banyak novel-novel berisi, macam dwilogi buatanmu ini. Salam lestari, hormat, lan Rahayu.

Sincerely,

Riana Yahya