Rabu, 28 Oktober 2015

Ibarat Sebuah Pendakian

Ibarat pendakian, perjalanan manusia menuju puncak yang diinginkan tidaklah mudah. Perjuangan untuk terus melangkah melawan kelelahan.  Kebijakan untuk memilih jalan yang benar dan aman. Kebesaran hati untuk mempersilahkan mereka yang ingin mendaki terlebih dulu. Kesetiaan untuk menunggu dan menemani mereka yang ingin dibersamai.

sumber:www.loop.co.id

Ibarat pendakian, perjalanan manusia menuju puncak yang diinginkan menyirat banyak makna. Bahwa sesekali, kita harus melihat jauh ke depan, menentukan titik yang ingin di tuju. Namun seringnya, kita harus perhatikan tempat yang sedang kita tapak, untuk memastikan bahwa kita memijak dengan baik. Bahwa suatu waktu, kita harus mempercepat langkah agar sampai pada saat yang kita inginkan. Namun terkadang, kita harus memperlambat langkah, bahkan menghentikannya, agar terbaca segala suratan keagungan alam semesta, agar termaknai segala siratan pelajaran yang dihamparkan oleh-Nya.

Dan, ibarat pendakian, puncak bukanlah tujuan akhir para pendaki. Rumah. Pulang ke tempat dimana kedatangan kita telah ditunggu, adalah tujuan akhir kita.

Proses menuju dasar, jauh lebih melelahkan dari yang dibayangkan. Karena telah banyak energi yang telah dihabiskan saat berada di puncak. Karena separuh hati masih ingin merasakan ekstase keindahan puncak. Karena kedua kaki enggan diajak melangkah turun.

Tapi, dari pendakian kita belajar bahwa...

“Tidak selamanya puncak memberikan kebahagiaan
Dasar pun mampu memberikan keajaiban
Terkadang, manusia berada pada dua posisi itu
Sehingga lahirlah kesabaran dan perjuangan.”
-Fauzi Yusupandi-


Sincerely,
Riana

28 Oktober 2015.

Minggu, 25 Oktober 2015

Hari Ini, Purna Sudah

 Alhamdulillah, hari ini, purna sudah.. satu dari sekian banyak kewajiban, satu dari sekian banyak harapan.

 

Kewajiban saya kepada keluarga untuk menyelesaikan studi sarjana ini dengan tepat waktu, selama 4 tahun. Dan, harapan keluarga kepada saya agar mendapat gelar sarjana dengan predikat Cum Laude. Didedikasikan khusus untuk keluarga saya tercinta, karena kalian adalah alasan paripurna saya hingga dapat mencapai titik ini.



Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Rabb semesta alam, karena atas takdir-Nya lah saya dapat menyelesaikan studi sarjana ini. Shalawat selalu tercurah limpah bagi sang suri tauladan seluruh manusia, Muhammad SAW. Sepenuhnya saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, tidak akan mungkin bagi saya untuk menyelesaikan studi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan setulus terima kasih kepada:
(1) Ibu Putu Oktavia, ST., MA., ME., selaku dosen pembimbing dan dosen wali atas segala bantuan moril maupun materil; atas segala pembelajaran berharga yang diberikan selama ini; juga atas segala baik sangka yang selalu memotivasi saya agar dapat menjadi sebaik yang ibu sangka-kan.
(2) Bapak Ir. Suwardjoko Warpani, MTCP., selaku Ketua Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi dan Sains Bandung.
(3) Seluruh dosen Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi dan Sains Bandung atas segala ilmu yang diajarkan selama ini. Semoga tercatat menjadi amal jariyah yang tak kunjung habis pahalanya. 

Selain itu, saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah berjasa dalam kehidupan saya, yakni:
(1)  Keluarga saya tercinta; Papah (Yahya Basri), Mamah (Sakinati), dan kedua kakak laki-laki saya (Zakaria Yahya dan Achmad Akbar). Terima kasih atas segala dukungan dan perhatian, pun atas segala usaha yang tercurah untuk menjadikan si bungsu ini seorang sarjana. Semoga segala harapan atas diri ini dapat terwujud satu per satu, tentu teriring do’a dari kalian dan ridho dari-Nya.
(2)  Genk Ciwi-Ciwi PWK 2011 as my best friend; Rina, Saka, Ririn, dan Tami. Rekan seperjuangan, senasib-sepenanggungan. Thank you for the time that we spend together. Tawa, bahagia, susah, payah, that we share together. Keep struggling!! Kita tahu, perjalanan kita tidak terhenti di sini. This is just the point to start, and the real challenge is coming next to you. Sukses!! Dan cepet ketemu jodoh. Aamiin..

(3)  Seluruh alumni dan mahasiswa Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi dan Sains Bandung. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu dan idealisme yang kita miliki untuk membangun negeri tercinta ini. Indonesia butuh banyak planners yang kompeten untuk itu, semoga kita menjadi bagian darinya.
(4)  Genk Friendship Girls; Dewi, Lela, Putri, Tuti, yang sudah menjadi sahabat saya selama 10 tahun ini, dan semoga last forever. Terima kasih atas kesetiaannya.

(5)  Ana Rizkia (PWK 2012) dan Kak Nurika (PWK 2010) yang membantu banyak untuk survey lapangan, serta semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan Tugas Akhir ini.
(6)  Semua hal yang menjadi penyemangat dan mood booster saya; semua pengisi song list di laptop saya, mochacinno di pagi hari, najla my little niece, dan pelengkap separuh agama saya yang masih dirahasiakan-Nya.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak dengan sebaik-baik balasan.

Sincerely, 
Riana
24 Oktober 2015


Senin, 12 Oktober 2015

Catatan Perjalanan II: Naik, Naik ke Curug Lalay with Backpacker Karawang

Curug Lalay, salah satu obyek wisata Kabupaten Karawang yang tepatnya ada di Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan. Ini perjalanan ketiga saya ke curug, setelah curug di Cimahi saat saya masih SMA awal dan curug di Taman Safari Bogor saat saya masih tingkat awal kuliah, saya lupa kedua nama curugnya. Yang saya ingat, perjalanan menuju kedua curug tersebut tidak memakan waktu lama, sekitar 15-30 menit. Medan yang dilewati juga tidak berat, jalur sudah bagus, tanjakan sudah berbentuk pijakan tangga.

Bayangan seperti itu juga yang saya pikirkan untuk trip ke Curug Lalay kali ini. Not a big deal lah yaa..! toh cuma ke curug, bukan ke gunung, pikir saya. Meski ini perjalanan pertama saya nanjak dengan teman-teman, karena sebelumnya selalu dengan keluarga, kedua kakak laki-laki saya. Tapi malah bikin saya lebih excited, bahkan mulai dari packing di malam sebelumnya. Karena sebelumnya saya cuma bawa diri, semua-muanya udah di handle sama kakak saya. Tapi kali ini saya harus menyiapkan semuanya sendiri.

Sesuai perjanjian, titik kumpul di lampu merah by-pass Karawanng jam 5.30. Setelah saling menunggu; yang belum datang, yang ingin sarapan terlebih dulu, yang ke mini market untuk belanja logistik, akhirnya kita berangkat sekitar jam 7. Total peserta yang ikut trip ini 34 orang, Sebagian besar akhwat (9 orang) naik angkot sewaan untuk menuju ke lokasi curug. Here it is, geng angkoters; Saya, Teh Lina, Teh Ika,  Teh Iis, Teh Lala, Teh Dede, Teh Bentang, Teh Mega, dan Teh Ulfah alias Pupu alias Mawar (bukan buronan tapi). Sebenernya, di geng angkoters juga ada Kang Oni dan Kang Deden yang bertugas jagain akhwat-akhwat kece supaya nggak diculik supir angkot, haha. Sisanya, 23 orang konvoi naik motor. Perjalanan naik kendaraan dari Karawang Kota ke Pangkalan ditempuh sekitar 1,5 jam. Lumayan lama karena 7 kali harus kena macet akibat ada yang besanan, somehow bikin Kang Oni baper, eeaaaa..

Kita mulai nanjak sekitar jam 9. Dan, ternyata medannya... wow banget sodarah-sodarah! Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman berpetualang, ingat OST Ninja Hatori ini? kayaknya pas buat mendeskripsikan medannya. Beberapa kali harus mendaki dan beberapa kali juga harus membelah sungai. Masalahnya adalah, bagi newbie seperti saya, jalurnya bikin nyali ciut. Dari awal aja udah disuguhin jalur yang kira-kira cuma 20 centi, cuma muat buat satu kaki. Salah napak, wassalam deh, samping udah langsung jurang yang menuju sungai dengan dasar bebatuannya. Waktu nanjak, nggak ada jalur tangga seperti yang saya perkirakan, jadi harus mikir, nih kaki harus bertapak ke mana supaya nggak kepeleset. Beberapa kali harus lewati sungai juga. Untungnya lagi musim kemarau, jadi air di sungai agak kering dan arusnya juga cukup tenang. Tapi lagi-lagi, harus milih untuk napak dibatu mana, supaya kaos kaki nggak basah. Sayangnya, saya berkali-kali jatuh kepeleset di bebatuan sungai gegara licin atau emang kaki yang kecapekan udah lemes banget. Terkadang saya ambil jalan aman untuk nyebur ke sungai, nggak dalem sih, cuma sekitar satu jengkal.

Bukan cuma medan yang jadi tantangan, tapi juga cuaca. Waktu nanjak itu, subhanallah, jam 9.30 aja udah panas banget. Setengah jam jalan aja udah kerasa capek banget, nafas udah senin-kamis, padahal belum apa-apa. Langkah kaki mulai berat. Tiap denger suara air, udah mulai berhalusinasi kalo air terjunnya udah di depan mata. Paraaah..!!

Untungnya, saya dibersamai oleh teman-teman kece, especially Teh Lina, Teh Ika, Uwi, Ka Mamet dan Mas Yuli. Tiap saya sudah mulai lelah dan melambat, rombongan depan berhenti dulu, menunggu saya untuk berjalan bersama lagi. Sementara rombongan di belakang, tetap sabar untuk tidak menyusul saya terlebih dulu. Tiap saya mulai capek, semuanya ikut menunggu saya untuk istirahat.


 With Teh Ika (kiri) dan Teh Lina (kanan)

Akhirnya, air terjun yang dituju terlihat di depan mata setelah 2,5 jam perjalanan. Dan hal yang pertama dilakukan setelah sampai adalah... nyebur? Bukan, makan! Saya bukan tipe orang yang suka sarapan, begitupun pagi itu. Saya cuma nyicip setengah potong omlet dan bolu caramel yang saya packing untuk makan siang. Jadi, begitu sampe, langsung ngeriung untuk makan bersama. Nikmatnya itu... nggak ada yang ngalahin kalo makan waktu laper banget apalagi bareng-bareng.

Setelah sapu bersih, kami segera mencari tempat shalat karena sudah masuk waktu dzuhur. Di atas belum tersedia mushalla, mungkin karena pengunjung pun belum begitu banyak. Jadi kami mencari tempat yang bebatuannya lumayan datar. At least, waktu sujud nggak nyusruk ke bawah. Sepertinya ini jadi pengalaman pertama saya, shalat di atas bebatuan dengan diiringi suara aliran air terjun. Masyaallah... kerasa banget betapa kecilnya kita di tengah agungnya ciptaan-Nya.

Next schedule adalah agenda yang paling ditunggu. Yup, main air! Padahal tadinya nggak niat untuk nyemplung, bahkan saya nggak bawa salinan selain kaos kaki dan rok. Tapi apa mau dikata, iman saya tidak cukup kuat untuk menolak godaan dari air terjun yang seger banget. Forget all about the worries, just jump into water! Buat apa 2,5 jam proses perjalanan susah-payah ke sini kalo hasilnya nggak dinikmatin. So, play as crazy as possible! Bahkan saya memberanikan diri untuk terjun dari tebing. Meski nggak terlalu tinggi, cuma sekitar 3 meter, tapi cukup seru untuk menantang adrenalin. Worth it!

Dan waktu selalu cepat berlalu sewaktu kita amat menikmatinya. Sudah masuk waktu ashar. Satu per satu bergantian untuk shalat. The last, ditutup dengan acara tuker kado. Meski berat, kami harus mulai perjalanan turun, agar sudah sampai di bawah saat hari belum terlalu gelap. Pun, untuk mengejar shalat maghrib di bawah.

Dengan sisa kekuatan yang ada, saya mulai perjalanan turun. Cuaca sudah jauh lebih mendukung dari pada perjalanan naik tadi siang. Tapi kondisi baju yang basah dan dingin, plus rok jins saya yang terasa lebih berat 5kg ketika basah, membuat saya kepayahan juga. Tapi saya harus segera, paling tidak sampai ke pos 1 untuk menemukan toilet, karena kebelet buang air kecil, efek dari kopi dan kedinginan saya kira. Unfortunately, di pos 1 pun belum ada toilet. Apa boleh buat, harus ditahan sampai di bawah nanti. Kata Ka Mamet, itu dijadiin motivasi aja supaya bisa sampe bawah as soon as possible. Bisa sih, bisa!

Meski kaki sudah sakit-sakit, tapi nggak ada banyak waktu untuk istirahat karena udah mulai gelap. Have to force it! Sampai batas titik nadir, Riana! You can do it! Sakitnya nggak usah dirasain, liat aja ke depan, fokus, dan terus melangkah. And finally... sampai ke bawah pas waktu maghrib. Toilet mana wooy, toileeet!! :D

Perjalanan yang sangat menyenagkan. Dan, dari trip ini saya benar-benar belajar banyak hal... Bahwa, saya mungkin tidak akan pernah tahu sebesar apa kemampuan saya, jika saya tidak mecobanya hingga ke titik nadir saya. Dan saya, sayangnya, terlalu takut, atau manja? untuk mencoba hingga ke titik nadir saya. Oleh karena itu, siapa yang membersamai saya adalah satu hal yang terpenting. Hingga saat saya tertinggal di belakang, ada seseorang yang setia menunggu saya, meski ia harus menghentikan sebentar langkahnnya. Berbalik ke belakang, sambil tersenyum mengulurkan tangannya untuk saya ketika tanjakan di depan cukup curam. Teh Lina dan Uwi, terima kasih banyak untuk uluran tangannya! Pun, Teh Ika dan Mas Yuli, yang sengaja melambatkan langkah agar saya tidak menjadi yang paling belakang. Terima kasih banyak sudah menjaga saya dari belakang! And last but not least,  Ka Mamet, sang penunjuk arah yang meskipun kadang kurang meyakinkan, haha. Terima kasih untuk candaan yang membuat perjalanan ini semakin menyenangkan, pun telah meringankan beban saya dengan menenteng tas saya sejalan pulang, Thanks bro!!

Dan untuk teman-teman Backpacker Karawang, akhwat-akhwatnya yang kece badai, no problem kan ya meski mandaki gunung lewati lembah pake rok bahkan gamis?! Four thumbs up!! Pun, untuk akang-akang, yang meski nggak semua anak pengajian, tapi sangat respect kepada akhwat-akhwat. Menjaga dari kejauhan. Kalian luar biasaaa!! Wait for the next trip yaa..!

PS (Sekilas Dialog)
-Selagi kecapekan di perjalanan turun..
Ka Mamet: Riana sepertinya perlu pembimbing.
Saya: Iya nih, kang, sepertinya saya perlu imam. Hahaha.
Teh Lina: Haha. Emang bungsu mau shalat?!
Dalam hati: Imam untuk hidup saya, teh XD
-Selagi kecapekan di perjalanan naik..
Teh Lina: Jadi, mau nanjak gunung, nong?
Saya: Ha.ha.ha. (Ketawa ngos-ngosan) Nanti deh teh, kalo udah ada yang bisa gandeng saya.
Teh Lina: Gimana caranya? (Sambil senyum penuh arti)
Dalam hati: You know me so well, lah teh :))
Honestly, naik gunung adalah salah satu hal di list to do saya. Sebelum saya meninggal, saya ingin sekali saja, setidaknya, nanjak gunung. Tapi, setelah ngerasain nanjak curug kemarin, dan katanya itu hanya sepersekiannya dari nanjak gunung, sepertinya harus saya pending dulu sampai waktu yang belum ditentukan. Hahaha. Someday, kalo udah ada imam yang bisa gandeng tangan saya, eeaaaa.. XD

Sincerely,
Riana
12-10-2015