Jumat, 25 Juli 2014

Cinta Akan Selalu Pulang..

Cinta akan selalu pulang
Di saat fajar menjelang
Atau ketika senja mulai hilang

Cinta akan selalu pulang
Mempertemukan asa yang menjulang
Hingga cita saling berpandang

Cinta akan selalu pulang
Meski harus menempuh jalan yang panjang
Pada waktunya, ia pasti  akan datang


Jakarta, 7-7-2014


Minggu, 13 Juli 2014

Kisah untuk Anak-Anak Palestina

Menjelang keberangkatan pasukan ke Mu’tah, Rasulullah bersabda kepada sang panglima dan pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far ibn Abu Thalib yang akan memimpin pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah ibn Rawahah yang akan memegang bendera.”

3.000 pasukan itu berangkat diiringi syair-syair semangat, menemui 200.000 prajurit bersenjata lengkap  yang dipimpin langsung oleh Heraclius, sang kaisar Romawi. Satu banding tujuh puluh?! Ya, bukan angka yang seimbang, jauh.

“Saudara-saudaraku”, kata ‘Abdullah kemudian. “Sesungguhnya apa yang tidak kalian sukai ini justru merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata, kekuatan, ataupun banyaknya jumlah bilangan. Kita memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama ini, yang Allah telah muliakan kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu diantara dua kebaikan; menang atau mati syahid!”

Lalu semua orang menyorakkan takbir..

Zaid ibn Haritsah merengsek ke tengah musuh membawa bendera Rasulullah hingga puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti. Dan ruhnya disambut ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu, memegangnya dengan tangan kanan hingga lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap berwarna hijau yang kelak dipakainya terbang ke mana pun ia suka. Lalu dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan itu pun putus. Lalu didekapnya bendera itu di dadanya hingga seorang prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka Ja’far segera terbang di surga.

“Jika kau ikuti kedua pahlawan itu”, gumam sang panglima ketiga, “Kau akan mendapat petunjuk”. Tapi bersitan keraguan meraja di hatinya. Akankah pertempuran ini diteruskan sementara korban yang jatuh dari kaum muslimin telah demikian banyak? Tidakkah ini tersia? Tapi tidak. Dia juga sudah dekat dengan cita-citanya. Kamudian syairnya diteriakkan lantang.

Kenapa kulihat engkau tak menyukai surga
Bukankah telah sekian lama kau tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini tak lebih dari setetes nutfah yang ditumpah?

Maka dilemparnya sekerat tulang yang tadi dia gigit untuk menegakkan punggungnya. Dia menjemput cita tingginya. ‘Abdullah ibn Rawahah sang penyair yang dicintai Allah dan RasulNya itu syahid. Tsabit ibn Aqram Al Ajlani segera meraih bendera dari pelukan ‘Abdullah dan ia berlari ke arah seseorang yang sibuk membabat musuh dari punggung kudanya. “Ambil ini Abu Sulaiman!!!”, dia berteriak.
“Tidak!” kata yang dipanggil. “Jangan aku. Engkau ikut Perang Badar, Engkau lebih layak!”
“Demi Allah, ambil ini Abu Sulaiman!! Tidaklah aku mengambilnya melainkan untuk kuberikan padamu!!”
Dan orang yang dipanggil Abu Sulaiman itu pun mengambilnya. Di saat itulah, di waktu yang bersamaan, dari atas mimbar Masjid Nabawi di Madinah, sang Nabi berlinang air mata mengisahkan kegagahan ketiga panglima yang diutusnya. Setelah air matanya sedikit terseka, beliau bersabda, “Lalu bendera itu diambil oleh salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah. Dan Allah memberikan kemenangan melaluinya.”
Pedang Allah itu akrab dipanggil Abu Sulaiman. Nama aslinya; Khalid ibn Al Walid.

-Dikutip dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah-



***

Meskipun jumlah pasukan kita saat ini jauh lebih sedikit dari tentara zionis Israel, meskipun persenjataan kita jauh lebih minim dari para biadab itu, tapi jangan berkecil hati, sayang. Tidakkah kalian simak kata panglima ‘Abdullah ibn Rawahah sebelum ia turun perang? Bahwa kita memerangi musuh bukan dengan mengandalkan senjata, kekuatan, ataupun banyaknya jumlah bilangan. Tapi kita memerangi mereka hanya dengan mengandalkan agama ini, Islam. Satu-satunya alasan kita untuk turun perang adalah untuk membela agama ini, Islam. Maka dari itu, kelak, jadilah seperti Zaid, Ja’far ibn Abu Thalib atau ‘Abdullah ibn Rawahah, yang tak pernah gentar berapapun banyaknya musuh yang menghadang, yang cita tertingginya adalah syahid di jalan Allah. Kelak, majulah dengan keyakinan penuh di hatimu, karena kalian pasti memperoleh satu diantara dua kebaikan; menang atau mati syahid!

Ba’da subuh, ketika hujan membasahi bumi Allah dengan rahmatNya.
15 Ramadhan 1435 H.

Riana.