Kamis, 17 Maret 2016

Cinta adalah Perlawanan

Cinta adalah perlawanan, sebuah memoar perjalanan cinta dua insan yang darinya muncul berbagai keinsyafan;
Bahwasaya cinta adalah kesiapan. Kesiapan untuk menjaga, merawat, dan menumbuhkan.
Bahwasanya cinta adalah keberanian. Keberanian untuk mengungkapkan dan mengambil tanggung jawab.

Cinta adalah perlawanan, menyajikan kisah dua manusia lugu dalam pencarian mereka akan makna cinta, berbalut berbagai hikmah;
Bagaimana rasa dan kekaguman itu ditutup dalam diam ketika kesiapan dan keberanian belum di tangan.
Bagaimana penantian dan rindu yang pilu itu dipendam seiring pemantasan diri untuk bersanding dengannya yang didamba.

Cinta adalah perlawanan, sebentuk ekspresi cinta mulia, yang membuat para pembacanya kadang ikut tersipu malu ketika membayangkan ia adalah tokoh utama dalam tulisan tersebut;
Ketika yang ditunggu ternyata juga sedang menunggu, meski dengan harap-harap cemas, apakah dia akan datang segera? Apakah dia juga merasakan yang sama?
Ketika semesta berkonspirasi untuk mempertemukan dua manusia pemalu pada satu titik temu, agar mereka saling mengiringi dan melengkapi satu sama lain. Menyusun jembatan panjang menuju surga-Nya.




“Cinta adalah perlawanan. Atas rasa takut yang berlebihan. Atas kekhawatiran yang keterlaluan. Atas rindu yang tak boleh dibiarkan beku lama-lama.”Cinta adalah Perlawanan – Azhar Nurun Ala


Sincerely,
Riana Yahya

Rabu, 02 Maret 2016

Memilih yang Pasti

Malam itu hujan memberikan kesempatan dua sahabat lama untuk berbincang panjang. Sejak maghrib tetes-tetes dari langit itu tak kunjung lengang ritmenya, hingga jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Handphoneku beberapa kali berdering, pesan dari orang rumah yang mengingatkan bahwa sudah malam, dan perintah untuk lekas pulang. Aku bilang di sini masih hujan cukup deras. Dan mata minusku ini tidak siaga jika mengemudi saat hujan, apalagi di malam hari. Padahal jarak dari rumah temanku ini tak jauh dari rumahku. Sekitar 10 menit jika ditempuh dengan motor. Tapi ngeri juga kalau sudah malam begini, jalanan sudah sepi. Maklum, kami bukan tinggal di kota besar, hanya di pinggiran. Akhirnya setelah mendapatkan izin dari orang tua, aku memutuskan untuk menginap, memenuhi permintaan sahabatku yang kebetulan bapak ibunya sedang tidak di rumah.

“Mungkin pada akhirnya wanita akan menyerah pada sesiapa yang dinantikan dan diharapkannya. Seseorang yang disimpan dalam diam panjangnya, maksudku. Berpaling pada seseorang yang lebih siap dan matang di hadapannya,” ungkapku sambil menatap langit-langit kamar yang gelap. Lampu sudah sejak berjam-jam tadi dimatikan, tapi kami masih tetap terjaga. Berbincang panjang mengenai keresahan yang seperti benang kusut memenuhi pikiran.

“Iya, wanita cenderung akan begitu. Memilih yang pasti,” tambah lawan bicaraku. Lalu ada hening yang lama. Suara hujan di luar semakin menenggelamkan kami pada pikiran masing-masing.

“Tapi...,” aku ragu-ragu memecah keheningan, “bisa saja seseorang yang disimpannya dalam diam panjangnya itu kelak benar-benar jadi sesorang di hadapannya.”

“Tetep. Ngarep. Hahaha.”

“Hahaha,” aku ikut tertawa, “Terserah Allah aja lah. Siapapun.”

Karena Ia sebaik-baik pemberi kepastian.


“....and some say love is holding on
And some say letting go”
-Perhaps Love by John Denver-