Kamis, 23 Agustus 2012

Rabu! (Versi II)



Ini hari rabu. Ya, hari rabu!
Bukan hari yang spesial. Bukan hari ulang tahunku. Ataupun hari ulang tahun pernikahanku dengan Bang Hamidi. Bukan!
Ini  hari rabu. Aku setengah berlari, sesekali meloncat untuk menghindari  tanah yang becek akibat hujan. Nafasku memburu, keningku penuh dengan  butiran keringat, sandal jepitku sempat terlepas beberapa kali, jilbabku  pun mencong sana-sini. Tak sempat aku membetulkannya.
Ini  hari rabu, aku terus berlari. Memasuki gang-gang sempit perkampungan di  pinggir kelapa gading, sambil berharap cepat sampai ke rumahku. Ada  beberapa orang yang mengenalku menyapa tapi tak ku pedulikan.
Ini hari  rabu!
Ketika  ku buka pintu rumahku, ku berharap ada Zizi di sana. Ia menyambutku  dengan senyumnya yang khas. Zizi anakku! Kulitnya hitam manis, senyumnya  indah, giginya putih bersih, matanya kecokelatan, alis matanya sedikit  tipis, rambutnya panjang sebahu. Ada tahi lalat di ujung pipinya. Manis!
Ini  hari rabu. Zizi berjanji akan pulang hari ini. Di senja yang telah ku  tunggu. Hari rabu! Meskipun hari ini sudah rabu ke tujuh, tapi aku terus  berharap anakku akan pulang hari ini. Hari rabu!
Iya,  Zizi. dia berjanji akan pulang hari rabu. Dan setiap hari rabu juga aku  pulang cepat dari pasar dan berharap anakku ada di rumah. tapi ia tidak  ada! Kemana perginya anak semata wayangku itu?
Ku  buka kembali kertas yang sudah kusam. Warnanya sudah kecokelatan. Ini  surat dari Zizi. Ku baca lagi surat ini dengan tangan bergetar, dan  tangiskupun terisak.
“Ibu, Zizi mau pamit. Zizi mau mencari kerja. Ibu tidak usah mencari Zizi. Zizi berjanji akan pulang hari rabu.”
Kata  tetangga, ia pergi dengan memakai kemeja putih dan celana bahan hitam. Zizi sempat pamit dengan tetangga kami. Ia hanya bilang ingin mencari  kerja. Waktu itu hari rabu. Sudah tujuh minggu yang lalu.
Aku tahu keinginan Zizi. Selepas sekolah menengah kejuruan, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.  “Aku ingin membahagiakan Ibu. Zizi ingin membahagiakan Bapak.  Memberikan kalian hadiah. Kebahagiaan! Zizi ingin menghidupkan hidup  Zizi, Bu” Katanya waktu aku bilang bahwa aku tidak mampu lagi  membiayai pendidikannya. Jangankan untuk melanjutkan kuliah, untuk  makanpun aku sering meminjam pada tetanggaku di pasar.
Ah,  maafkan ibu ini, Nak! Tapi tak perlu lah kau pergi dari rumah.  Meninggalkan Ibu & Bapakmu. Biarlah kita hanya menyantap tempe  goreng sepotong dan dua butir nasi, yang penting kita selalu bersama.  Dan tak ada orang lain yang tahu tentang kondisi keluarga kita. Kemana  dirimu, Nak?
*****

Bang  Hamidi baru sampai rumah. Ia baru pulang ngojeg. Wajahnya sedikit  muram. Terlihat sangat lelah. Jaketnya semerawut. Biasanya begini ekspresinya ketika hasil dari ngojeg tak akan memenuhi pengeluaran untuk makan kami besok.
Aku mendekatinya dengan senyum tipis, walau hatiku pun sama semerawutnya. Lalu ku cium punggung tangannya yang legam karena tersorot sinar matahari setiap hari.
“Ingin kopi atau teh saja, Bang?” aku menawarkan pilihan.
“Teh saja.”
Lantas aku beranjak ke dapur yang hanya tersekat bilik dari ruangan ini.
Tok.. tok.. tok.. “Assalamu’alaikum,” suara seorang gadis muda terdengar dari balik pintu kayu rumah kami.
“Wa’alaikumsalam,” aku dan Bang Hamidi menjawab bersamaan.
“Biar aku saja Bang yang buka,” hatiku bergemuruh, harap yang sekian lama ini, akankah ini hari Rabu yang Zizi maksudkan itu?
Aku segera mengantarkan teh ke meja Bang Hamidi, lalu setengah berlari menuju arah pintu. Tak terasa, sudah mengalir anak sungai dari kedua mataku, penglihatanku mengabur seketika.
“Zizi..?!!” aku memeluknya erat, erat sekali. Aku tak mau lagi kehilangannya, putri tersayangku, tercintaku satu-satunya. Hanya kepadanya kucurahkan seluruh kasih sayangku. Dia permataku, harapanku ketika tua nanti aku sudah tak bisa lagi melakukan apapun. Dia berlianku, yang dari do’anya, hanya dari do’anya yang bisa menolongku di akhirat kelak.
“Zizi, jangan pergi lagi, Nak! Jangan..!” aku terus memeluknya, tapi Bang Hamidi tiba-tiba menarikku, mencoba memisahkanku dengan Zizi.
“Bu, jangan  kayak gini, ayo lepas, lepas..!” Bang Hamidi kembali menarikku, kali ini lebih kencang, pelukanku pun terlepas.
Aku sekuat tenaga melepaskan diri dari tangan kekar Bang Hamidi untuk memeluk lagi buah hatiku. Tapi ketikaku berhasil, gadis yang kini lebih kurus dari terakhir kali ku melihatnya itu, malah menghindariku.
Aku perlahan mulai mengatur emosiku, mengkin Zizi takut apabila aku bersikap histeris dan berlebihan seperti ini. Atau bahkan dia menyangka aku sudah gila? Iya, aku hampir gila karena menunggumu yang tak kunjung datang, Nak. Tapi untungnya kau lebih cepat datang kepadaku dari pada penyakit kejiwaan itu.
Aku menyusut air mataku dengan jilbab yang ku kenakan. Perlahan, wajah itu mulai jelas kupandang…
Matanya, hidungnya, bibir, dan air mukanya. Zizi kah ini? Apakah waktu telah sedikit merubah parasmu hingga menjadi semakin cantik seperti ini? Tapi mana tahi lalat di ujung pipi kananmu yang serupa dengan punya ibumu ini? Hilangkah? Kau operasikah agar tak sama lagi dengan ibu? Agar ibu tak mengenalimu?




“Aku bukan Zizi, Bu. Aku Ziza, adik Zizi. Aku… mencari Bapak di sini.”
“Bapak? Adik Zizi? Bicara apa kamu, Nak? Kamu anak ibu satu-satunya!”
Kedua mata kami bertemu, kulihat sorot wanita lain di dalamnya. Lalu ku lempar pandanganku ke Bang Hamidi yang wajahnya kini pucat pasi.
Duh, Rabu… inikah hari yang kutunggu-tunggu itu?

Noted: Penulis asli cerpen ini adalah Kang Syafroni Agustik, pemilik akun twitter @Kang_Onii *ini request dari Kang Onii langsung, harus sebutin akun twitter katanya, hehehe. Impas ya, Kang? :P* ini versi aslinya http://lembarbernyawa.blogspot.com/2012/08/rabu.html then, iseng-iseng saya revisi, karena punya ide lain untuk ending cerpen ini. Alhasil, jadilah cerpen duet ini. Taddaaa..!! ^_^
Special thanks to Kang Onii yang udah ngizinin cerpen ini dipajang di blog saya. Syukran, Cikgu..! :)

Sincerely,
Riana Yahya




Rabu, 01 Agustus 2012

Muhasabah Cinta

            Mari sejenak bermuhasabah diri dengan sepenuh cinta, menengok lembaran kehidupan yang telah kita lalui, agar menjadi pelajaran bagi kita untuk hadapi kehidupan di depan….



            Sobat, adakah kita teladani Rasulullah yang tiap malamnya tak pernah berlalu tanpa qiyamullail? Ia berlama-lama berdiri, ruku’, dan sujud, hingga bengkaklah kedua kakinya. Padahal, ia telah terampuni dosa yang lalu dan yang akan datang. Padahal, Allah telah jaminkan jannah untuknya. Sedangkan, kita yang dosanya bagai buih di lautan, bagai pepasir di pantai ini, masih berani dan tenang saja menikmati malam-malam bernyenyak dalam gumul selimut hangat.
            Sobat, adakah air mata kita sebermanfaat milik Ibnu ‘Abbas yang menangisnya karena gigil takut kepada Allah, hingga butalah kedua matanya? Ataukah air mata kita lebih banyak menetes karena kekecewaan kita terhadap makhluk, karena harapan yang tak terpenuhi, bahkan karena sinetron dan film picisan itu?
            Sobat, adakah kita seistiqamah Muhammad Al-Fatih? Yang sejak balighnya tak pernah meninggalkan satupun shalat wajibnya, tak pernah tinggalkan satupun puasa Ramadhannya, tak pernah lebih dari sebulan mengkhatamkan Al-Qur’an, tak pernah kehilangan satu ayat pun hafalan Al-Qur’an, tak pernah tinggalkan satu malam pun berqiyamullail, dan tak pernah meninggalkan puasa ayyaamul bidh.
            Sobat, adakah kita sedermawan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang kisaran angka shadaqahnya untuk penduduk Madinah bisa mencapai 40.000 dinar dalam sekali bagi? Ataukah kita masih saja baralibi dengan jawaban klise, “Yang penting ikhlas walaupun sedikit,” ?
            Sobat, adakah kita sejujur ‘Abdullah ibn Al-Mubarak yang walaupun sudah berbulan menjaga kebun delima, namun belum sekalipun mencicipinya? Ataukah telah berkali kita menikmati sesuatu yang bukan hak kita?
            Sobat, adakah kita setulus ‘Umar ibn Khathab yang kecintaannya pada Allah dan RasulNya melebihi kecintaannya kepada diri sendiri? Ataukah kita melakukan segala hanya untuk keselamatan dan kenikmatan diri kita sendiri?
            Sobat, adakah kita seteguh Ka’ab ibn Malik yang tak kilau oleh tawaran Raja Ghassan yang memintanya menjadi duta besar Kekaisaran Romawi Timur? Padahal saat itu di Madinah, di kota kelahirannya sendiri, ia sedang merasakan tersiksanya dikucilkan karena hukuman. Ataukah kita sering kali tunduk, memohon, bahkan menghamba, kepada seorang musyrik demi tahta dan kekuasaan?
            Sobat, adakah kita setegar Bunda Hajar? Yang karena imannya pada Allah, merelakan suaminya, Ibrahim, pergi meninggalkannya hanya berdua dengan bayi mereka yang masih merah, di lembah kosong tak berpenghuni, gersang, terik, liar. Ataukah kita akan menarik manja pasangan kita yang hendak pergi atas perintah Allah?
            Sobat, adakah kita malu kepada Nu’man ibn Qauqal? Yang walaupun dalam keterbatasan fisiknya yang cacat, yang pincang, tapi ia tetap mengikuti Perang Badar, dan menemui syahidnya dalam Perang Uhud. Ataukah kita yang dalam kesempurnaan fisik ini, masih saja mencari beribu alasan untuk menghindar pergi ke medan jihad?
Yang berlalu jelas tak dapat diulang kembali ‘tuk diperbaiki. Jangan buat sesal kini tersia tiada berarti. Mari istighfar, memohon Allah sudi ampuni diri. Lalu perbaiki diri ditiap bilangan hari :)

Sincerely,
Riana Yahya