Rabu, 20 Agustus 2014

Jodoh Itu di Tangan Allah (?)

Bicara jodoh, banyak orang bilang “Jodoh itu di tangan Allah”, ungkapan itu tidak salah, tapi.. jangan keliru menginterpretasikan ungkapan tersebut. Nanti, mentang-mentang jodohnya di tangan Allah, jadi kita hanya tinggal berpangku tangan saja menunggu jodoh kita datang tiba-tiba dari langit. Lah, nggak mungkin kan?? Kalau kita tidak berusaha mengambilnya dari tangan Allah, ya jodoh kita juga akan terus ada disana di tangan Allah :D

Terus gimana caranya ngambil jodoh kita yang masih di tangan Allah? Eiiits, tenang tenang, sabar. Sebelum ngomongin itu, kita harus punya “objek”nya dulu nih. Jodoh seperti apa sih yang paling diidam-idamkan para wanita?? Let’s check it out ;)

1.      Bagus Agamanya
Bagi seorang muslimah, inilah hal yang terpenting. Mengapa demikian? Karena pasti pria yang bagus agamanya, akan bagus pula akhlaknya.

Pernah, ada orang bertanya kepada Al-Hasan r.a. mengenai calon suami putrinya. Kemudian Al-Hasan r.a. menjawab, “Kamu harus memilih calon suami bagi putrimu yang taat beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika dia kurang menyukainya, dia tidak akan menghinakannya.”

Pun Rasulullah pernah bersabda teruntuk para ayah: “Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al-Mazni).

Maka Insya Allah jika kami memiliki jodoh yang bagus agama dan akhlaknya, hidup di dunia ini akan terasa seperti surga sebelum surga J

2.      Menerima Apa Adanya
Mungkin memang terdengar sangat klise, tapi ini juga penting menurut saya. Sekarang, disaat masih ta’aruf, dalam masa perkenalan, mungkin kami -para wanita- masih bisa menyembunyikan kejelekan-kejelekan kami didepan kalian -para lelaki-. Terlihat dan bersikap sesempurna mungkin didepan kalian. Tapi kelak, apakah kami mampu menyembunyikannya? Setiap saat? Setiap waktu? Nah, untuk itu sikap menerima apa adanya ini sangat diperlukan. Syukur-syukur ketika sudah menikah kelak kami bisa meminimalisir atau bahkan menghilangkan kejelekan-kejelekan kami itu, tapi tetap saja, nobody’s perfect, kan??

Karena kami tak sebijak bunda Khadijah. Akan ada saat-saat kami sangat menyebalkan, bertanya kegiatan apa saja yang kalian kerjakan seharian diluar sana, ketika kalian lelah baru saja pulang mencari nafkah. Kami mohon jangan marah jika hal itu terjadi, karena sebenarnya kami hanya ingin tahu segala sesuatu tentang kalian. We won’t lost anything about you. Jangan membalasnya dengan nada tinggi, walaupun kami tahu kalian pun mungkin sedang penat. Bijaklah saat menghadapi kami. Nasehatilah kami dengan suara yang meneduhkan dan berhias senyuman. Karena bagi kami kalian adalah imam kami, Insya Allah kami tidak akan membangkang perintah dan nasehat kalian selama itu berada dalam koridorNya.

Karena kami tak sesabar Fatimah. Akan ada saat-saat kami marah, menangis, mengomel, tak terkontrol. Kami hanya wanita biasa yang saat masalah melanda, maka kami akan membutuhkan seseorang untuk menumpahkan segala beban, menangis dipeluknya, berharap untuk didengar dan diperhatikan sepenuh hati.

Karena kami tak secerdas Aisyah. Akan ada saat-saat kami berbuat kesalahan-kesalahann sebab pengetahuan kami yang kurang. Maklumlah untuk itu, ajari kami apa saja yang kalian tahu, jangan bosan, jangan pernah bosan. Teruslah bimbing kami agar kelak bersama.. kita menuju surgaNya.

3.      Cinta Tulus
Banyak orang yang sudah pernah berumah tangga bilang, “Cinta itu hanya bertahan selama 6 bulan setelah menikah, setalah itu sisanya adalah toleransi”. Saya pun heran, mengapa bisa seperti itu? Kebanyakan dari mereka, menghabiskan waktu dalam masa pendekatan atau biasa disebut pacaran hingga bertahun-tahun. Selama itu mereka bisa tetap menjaga bara api cinta mereka untuk tetap hidup, tapi mengapa saat setelah disahkan dalam pernikahan, malah begitu cepat padamnya? Anybody know?

Karena saya belum menikah, jadi saya rasa saya kurang berkompeten untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi yang saya tahu, setiap wanita pasti ingin sekali mempunyai pendamping yang selalu mencintainya setulus hati, sepanjang hidupnya.

Ah, saya jadi ingat kata-kata Habibie saat sedang ditanya para pewarta, ia menjawab, “Kami tidak mempunyai banyak saat itu, tapi kami mempunyai masing-masing,” sambil menatap ke mata perempuan yang duduk disampingnya, si gula jawa ‘Ainun. Dan hingga kini, kisah cinta mereka masih abadi, mengukirkan sejarah.   

Mungkin nanti akan ada saat-saat kami akan terlihat buruk, ketika berjibaku di dapur mempersiapkan hidangan untuk kita, atau ketika berpeluh keringat saat mencuci, mennyetrika, dan membersihkan rumah kita. Pasti nanti akan ada saatnya kami akan terlihat tak seperti kami yang kalian pinang dulu. Lama kelamaan kulit kami akan mengendur, rambut kami pun akan memutih.

Nanti.. ketika saat-saat itu datang, kami mohon, janganlah pernah berpaling dari kami. Cintailah kami setulusnya, seperti yang pernah kalian lakukan dulu, ketika pertama kali kalian menjatuhkan hati pada kami. Atau bahkan lebih. Kami pun begitu. Bahkan kami ingin setiap hari kami lewati dengan selalu jatuh cinta kepada kalian. Imam kami.. pendamping hidup kami..

4.      Kemandirian Ekonomi
Kemandirian ekonomi, last but not least. Salah satu tugas mulia suami adalah mencari nafkah, Rasulullah bersabda, "Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban sesudah kewajiban shalat".

Bagi kami, berkecukupan saja sudah cukup, tapi.. jika bergelimangan pun syukur. Bagi kami, asalkan ada untuk sandang, papan, pangan, dan pendidikan anak kelak itu sudah cukup, tapi.. kalau ada untuk naik haji dan traveling keliling dunia pun syukur ;D

Kira-kira itulah gambaran jodoh yang kami, para wanita idam-idamkan. Tidak banyak kan? Hanya empat point saja :D

Ok, sekarang kita masuk ke jawaban dari pertanyaan di awal tadi, gimana caranya ngambil jodoh kita yang masih di tangan Allah? It’s so simple, mengutip dari salah satu buku favorit saya, Agar Bidadari Cemburu Padamu, “Saat kemampuan menikah belum ditangan, biarlah cinta berekspresi menjadi keshalihan, perbaikan diri hari demi hari..”

Bagi kita, para wanita muslimah, mungkin tidak ada usaha lain selain menunggu dengan penuh kesabaran. Eiiiitss, tapi janganlah menjadi penunggu pasif, kita harus tetap aktif. Aktiflah melakukan hal-hal positif selama masa penantian ini, perbaikilah diri kita hari demi hari, percayalah pada janjiNya, “...dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...” (QS.An Nuur:26)

Jagalah diri kita selama masa penantian yang kita tak tahu kapan akan berakhirnya ini, seperti nasehatNya, “Dan orang-orang yang belum mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS An Nuur:33). 


Sincerely, 
Riana.

Senin, 04 Agustus 2014

First Meet (Flash Fiction)

Agashi, igeo..” seorang ajumma menjulurkan setusuk sosis yang dibalut kentang goreng yang dibentuk spiral.

Gamsahabnida ajumma, hajiman...” ah, bagaimana aku harus mengucapkankannya, bahwa aku seorang muslim dan aku takut jika makanan yang diberinya itu bukan makanan yang halal. Baru dua hari menginjakkan kaki di Negara ini, aku belum banyak tahu tentang bahasanya, bahkan aku belum bisa membaca huruf Hangul.

Joesonghabnida, jeoneun muslim, geuleohge nan  geogjeongeyo..” huaaa.. ngomong apa sih nih gue?! Belajar bahasa korea cuma modal dari nonton drama begini deh jadinya, bicara informal sama orang yang baru pertama kali jumpa dan lebih tua pun, nggak sopan banget! Urgh.. mian haeyo ajumma , nan eotteohge?

Jeo anmeoggo, joesonghabnida, geurigo gamsahabnida.” Aku membungkukan badan hingga 90 derajat menyerupai posisi ruku, meminta maaf tidak dapat mengambil makanan yang telah diberikannya.

Uri aideul…

Eomma…” seorang lelaki berteriak dari kejauhan, memotong kalimat yang belum diselesaikan ajumma  ini.

Tak memakan waktu lama, dengan langkahnya yang panjang-panjang lelaki itu sudah ada di depan kami. Berbicara kepada ibunya dengan aksen Seoul yang lucu. Aku tersenyum sendiri, melihatnya seperti di potongan drama yang kulihat di laptopku. Hanya ada satu dua kata yang aku mengerti, eodi berarti dimana dan gidalyeo yang berarti menunggu. Hmmm.. sepertinya lelaki ini meminta ibunya menunggunya di suatu tempat, tapi ibunya malah keluyuran menghampiriku.

I’m sorry, Did my mother make some trouble for you?Assa..!, berakhir juga pendiritaan gue, untung anaknya bisa bahasa inggris.

No, no. She just offering that food for me, but I can’t take that because I’m a muslim. I worried that food is not halal. Please tell her about that. I can’t explain that to her before, my Korean language is so bad.”

Yes, I understand.” Lalu lelaki itu menjelaskan kepada ibunya sambil sesekali tersenyum, pun ibunya.
Selesai percakapan ibu-anak itu, ibunya kembali menjulurkan sosis itu kepadaku.

Take that. It’s halal, it’s beef sausage, don’t worry. We’re muslim too.” Lelaki itu mengartikan maksud dari tatapan ibunya kepadaku.

Jinjja?” aku terlonjak kegirangan, tapi masih separuh tak percaya. Mereka muslim pertama yang kutemui di sini. Kemarin di acara penyambutan ayahku di kantornya, dari beberapa puluh karyawannya tak ada satu pun muslim. Aku pun akhirnya menggerutu kepada ayah-ibu, mengapa harus pindah ke Korea Selatan yang muslimnya menjadi minoritas, sulit mencari masjid dan makanan halal. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah tugas dari perusahaan ayah. Korea sekarang menjadi salah satu Negara produsen barang elektronik tercanggih, hal ini tidak dapat dipungkiri.

Ne, Our family convert to Islam in 2009. I think Islam is our destiny. We feel peace, steady and blessedness in Islam.

Alhamdulillah, barakallah ya akhi..” mendengar tuturannya menerbitkan titik-titik basah di ujung mataku.

Jeogiyo…” ajumma  itu kini menjulurkan gembok, satu kepadaku dan satu untuk anaknya.

Aku dan lelaki yang belum aku tahu namanya itu, mematung sejenak. Tak lama kemudian kami tertawa bersamaan.

Aniyo, ajumma..anieyo” kami baru saja bertemu, bagaimana bisa ajumma  ini berharap terlalu banyak pada kami?

Eomma, geumanhe, hajima. Ah jinjja, nareul  waeirae?” Lelaki itu mengambil kedua gembok itu dan memasukkannya ke saku mantel. Mukanya memerah seperti kepiting rebus. Gwiyeobda! 

Kami berada di Namsan Tower saat ini. Di ketinggian 479.7 meter di atas gunung Namsan. Di menara ini ada sebuah kebiasaan dimana para pengunjung mengaitkan sepasang gembok lalu membuang kuncinya. Mereka mengibaratkan bahwa gembok itu adalah perwujudan dari cinta mereka yang telah terkunci dan tidak dapat dipisahkan lagi.

“Sorry, my mother.. hmm.. She wants have daughter in law that use hijab.  But in korea, that’s hard to find someone like… you…” 




Vocabulary
Agashi = Girl
Igeo = This
Ajumma = Auntie
Gamsahabnida = Thank you
Hajiman = But
Joesonghabnida  / Mian haeyo  = Sorry
Jeoneun / Jeo / Nan = I am
Geuleohge = So
Geogjeongeyo = Worry
Nan eotteohge? = What should I do?
Anmeoggo = Not eat
Geurigo = And / so
Uri aideul = My son
Eomma =  Mother
Assa! = Yeeess!
Jinjja? = Seriously?
Ne = Yes
Jeogiyo = Excuse me
Aniyo / anieyo = No
Geumanhe = Stop it
Hajima = Don’t do it
Nareul  waeirae? = Why you do it to me?
Gwiyeobda = So cute

Riana Yahya
Bekasi, 4-8-2014