Minggu, 29 Desember 2013

Setegar Dirimu



Aku kira aku tak kan bisa menjadi wanita setegar dirimu, “aku rasa akan lebih nyaman jika kita tidak saling membenci dan menghindari,  agar tali silaturrahim tetap terjaga”. Ah, begitu tegar terdengarnya, tapi bisakah aku menguping sedikit saja suara hatimu terdalam? Seirama juga kah?

Berwaktu-waktu manarik-ulur harapan, meskipun tak ada kepastian, namun tetap saja. Wanita. Bisakah tak ambil peduli? Tidak. Apalagi jika sang hati tak dapat diajak kompromi. Dalam diam, ya, hanya dalam diam. Kadang sedikit terpancing, jika emosi yang memegang kendali. Namun lugas kami tak sejujur mereka. Kami memiliki batas.

Tapi, mengapa kalian? Datang, pergi. Pergi kemudian datang lagi. Lalu pergi lagi, lama. Sedangkan kami tak punya alasan untuk sekedar berpesan singkat, untuk sekedar mejawab khawatir kami. Bagaimana kabarmu di sana? Baikkah? Sedang sibuk apa sekarang? Lancarkah? Lagi, kami memiliki batas.

Tetiba… “Dia menikah,” kau mengakhiri pesan itu dengan emoticon titikdua buka kurung. Tapi, aku menangkapnya bagai titik dua tutup kurung. Dengan tanda petik diantaranya, bahkan. Bermenit aku belum mampu membalas pesan darimu. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Hati sendiri saja tak karuan rasanya, menahan sesak. Berkali menarik nafas panjang, lalu mendesah. Padahal hanya aku, lalu bagaimana denganmu?






















Tak sama dengan dugaanku, kau sama sekali tak menunjukkan risau itu. Berkali bertemu, kau tak nampak kacau. Meskipun aku tak berani menatap dalam dasar matamu yang memiliki berbagai arti.

Kau masih ingat, isak tangis kita yang meleleh di dalam masjid ba’da aksi kita mengumpulkan amal untuk Negara yang penuh dengan harum darah mujahid itu? Tangis kita untuk satu alasan yang hampir sama, kurasa. Kita sama-sama merasakan. Kita sama-sama mengerti. Tanpa banyak kata terucap, hanya saja frekuensi batin kita saling menghubung. Ah… wanita.

Tapi kali ini aku benar tak dapat mengikuti jalan pikirmu. Tidak, aku dapat mengerti jalan pikirmu. Tapi aku tidak habis pikir jika ada wanita yang berani melakukannya. Apakah tidak hanya akan saling menyakiti? Hatimu dan hatinya. Meskipun aku tak tahu pasti apa yang ada di dalam sana.

Biasanya kamu akan bertanya, apa yang aku lakukan jika aku menjadi dirimu? Sayangnya kali ini tidak. Tampaknya kau bergitu kokoh dengan keinginanmu menghadiri resepsi pernikahannya. Padahal aku ingin menjawab: Jika aku menjadi dirimu, akan kudo’akan dia dalam sujud malamku saja; agar dia hidup barakah dan agar aku bisa ikhlas melepaskannya. Melepas? Hah, bahkan kita tak pernah terikat kan? Ironi. Tapi mungkin aku tidak akan sampai hati mengucapkan “Barakallah,” sambil bertatap muka, khawatir tidak dapat menguasai hatiku dan air mataku. Kamu, bisakah?

Aku tahu, kau jaaauuh lebih tegar dariku, lebih tenang dan dewasa dalam menghadapi persoalan. Tentu keputusan itu kau ambil setelah menimbang berbagai. Lakukanlah, hingga jangan sesali.

For: Teh manis nan shalihah..
Akhir Desember 2013
Sincerely,
Riana.


NB: Kau, maukah… jika suatu hari nanti, aku… harus menghadapi hal yang sama seperti dirimu, maukah kau berbagi bagaimana cara menghadapinya? Aku…. Bahkan hanya membayangkannya saja, tak mampu. Aku tak ingin… namun jika takdir nanti bertetapan demikian, aku harap bisa setegar dirmu.

Kita


Kita berkejaran dengan waktu
Berperang dengan ego
Bergelut dengan tantangan

                Kita tak gentar dalam tekanan
                Tak diam dalam cibiran
                Tak goyah dalam himpitan

Tegarlah!
Hadapi hingga usai,
Majulah!
Diam tak ada guna, apalagi berlari mundur

                Percuma, keluh kita tak hasilkan suatu
                Lalu untuk apa?

Hidupmu, hidupku, hidup kita
Yang terlalu berarti jika hanya untuk diremehkan oleh mereka

Maka tunjukkanlah!
Kita…


For PWK ITSB :)
Sincerely,

Riana (PWK 2011)