Senin, 04 Januari 2016

Catatan Perjalanan III: Unexpected Journey Bongkok -> Lembu -> Cigentis

Salah satu resolusi saya di tahun 2016 ini adalah NANJAK GUNUNG. Karena itu, di minggu terakhir 2015 saya ngompor-ngomporin sahabat-sahabat SMP saya untuk nanjak minggu depan. Tujuannya ke gunung yang dekat dan tidak terlalu tinggi, bisa bulak-balik dalam sehari, karena hari seninnya beberapa teman sudah harus masuk kerja. Seorang teman merekomendasikan Gunung Bongkok di Purwakarta. Ide bagus, menurut saya, karena perjalanan ke Purwakarta bisa ditempuh sekitar 2 jam dari rumah kami yang berada di ujung Bekasi (hampir murtad ke Karawang) naik motor. Perjalanan menuju puncak gunungnya pun hanya sekitar 3 jam, karena gunung bongkok ini ketinggiannya pun tidak sampai 900 mdpl. Relatif rendah dan cepat lah dibanding gunung-gunung berketinggian lebih dari 2.000 mdpl yang nanjaknya perlu seharian. Okay, rencana dibuat. Bahkan saya udah mikirin menu masakan yang akan dibikin untuk dibawa dan dimakan bersama di puncak nanti. 

H-1, hari sabtu tepatnya, seorang teman yang bakal ikut juga di trip ini menelepon saya. 

“Na, yakin kita mau ke bongkok?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Aku searching di internet, kita nanjaknya harus pake tali-tali gitu! Aku besoknya kerja. Bisa gempor itu mah besoknya!”
“Masa??”

Haha. Saya panik. Jujur, saya sendiri yang jadi biang keladi trip ini belum sempet searching soal Gunung Bongkok. Karena ada salah satu teman yang sudah pernah ke sana, oke lah, aman, pikir saya. Udah ada guide jadi kita nggak akan kesasar. Tapi saya nggak ngebayangin kalo tracknya bakal se-ekstrem itu. Apalagi dari rencana awal 8 orang yang bakal naik itu, cuma 2 orang yang udah pernah nanjak. Yang lainnya belum pernah sama sekali. Persiapan kita juga bisa dibilang nihil.   

Saya udah mulai hopeless. Batalin nggak ya?? Tapi mau banget nanjak, huhuhu T_T

Tanya-tanya lah saya sama temen yang udah pernah ke bongkok. Saya kenalin lah ya, sambil promosi blog-nya Fauzi Yusupandi, hehe.

“Rame banget kalau weekend, Riana. Apalagi bongkok jalannya kecil, jadi ya hati-hati. Licin juga karena hujan. Tracknya hampir semua curam.”

Setelah cerita kondisi saya dan teman-teman yang sebagian besar penanjak pemula, temen saya ini merekomendasikan gunung sebelahnya, Lembu. Katanya lebih landai dan aman tracknya. Ketinggiannya nggak sampe 800 mdpl. Hati saya mulai terbagi dua antara Bongkok dan Lembu XD

Malamnya, saya sms-an sama Teh Lina, yang ternyata habis ke Bongkok hari itu.

“Tadi siang teteh ke sana. Pas sorenya hujan. Tracknya ga bagus, licin banget. Tracknya berkali-kali lipat dibanding Lalay (baca cerita trip ke Lalay disini). Banyak tanjakan yang pake tali karena curam. Tanjakan di Bongkok itu lebih dahsyat dari tanjakan ‘setan’ di gunung Gede.”

Waduh! Saya langsung mengurungkan niat untuk nanjak seketika itu juga. Haha. Cemen banget ya, saya?

Sebenernya masih kepengen ke Lembu sih, at least. Sempet searching- searching juga soal Lembu. View nya keren banget, bikin baper. Tapi mikir-mikir juga. Terlalu beresiko untuk nanjak gunung pas musim hujan gini. Terutama buat saya dan teman-teman yang tiap ngumpul itu nggak jauh dari mall sama angkringan, hehe.

Akhirnya, menyerahlah saya. Saya kubur impian saya untuk nanjak besok hari. Di nisannya tertulis: Riana’s Dream. *harap abaikan, efek gagal nanjak jadi gagal waras*

Sampe malam saya masih galau, mau kemana ya besok? Diem di rumah boring banget. Akhirnya, saya putuskan untuk buka taman baca KM.2 bersama Teh Ika. 

Unfortunately, di lapangan Karangpawitan tempat biasa kami gelar taman baca, lagi ada acara entahlah yang digagas Kemenag. Karena dipakai upacara, kita pun melipir ke pinggir lapangan, sebelahan sama tukang balon dan tukang celana kolor. Terlalu sadis caramu.. *Afgan mode on*

Jam 9 kita udah lambai-lambai tangan ke kamera. Panasnya bukan main. Udah gitu nggak ada yang baca pula. Finally, kami gulung tikar. Tapi juga terlalu dini untuk pulang ke rumah di jam segitu. Biasanya selesai KM.2 kami ada acara masing-masing siangnya. Saya dan Teh Ika liqo’. Mba Nuy dan Mba Isa ke kajian. Tapi hari itu kebetulan semuanya libur. Kesempatan yang jarang sekali terjadi. Dan dimulailah Unexpected Journey kami. 

Teh Ika: “Nggak ada agenda sampe sore?”
Saya: “Nggak ada, teh.”
Teh Ika: “Mau nyusul backpacker karawang ke Bongkok?”
Saya: “Nggak ah! Kita sama sekali nggak bawa apa-apa.” *ngeles, padahal takut sama tanjakan XD*
Teh Ika: “Ke Cigentis aja gimana?”
Saya: “Tapi kita nggak bawa salinan.”
Mba Isa: “Jangan nyebur.”  
Saya: “Nggak bisa teh, kita (saya dan Teh Ika) udah kayak ikan kalo liat air. Gimana kalo ke kostan Mba Nuy dulu, kita acak-acak lemarinya?”

Padahal, biasanya saya itu type orang yang segala sesuatunya harus direncanakan. Saya nggak suka yang dadakan. Tapi kali ini, untuk mengurangi kekecewaan saya karena trip ke Bongkok dan Lembu yang gagal, oke lah! Tak ada rotan, akar pun jadi.

Setelah ngacak-ngacak isi lemari Mba Nuy, pilih-pilih baju untuk salinan, berangkatlah kami berempat ke Cigentis, sekitar pukul 11. 

Perjalanan dari Karawang kota ke Curug Cigentis biasanya hanya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Tapi karena macet, kami baru sampai pukul 12.30.

Kami menitipkan motor di parkiran bawah. Shalat dzuhur. Beli nasi bungkus. Baru kemudian mulai nanjak sekitar jam 1. 

Bagi teh Ika dan Mba Nuy, ini trip kesekian kalinya ke Cigentis. Tapi bagi saya dan Mba Isa, ini pengalaman pertama kali kami nanjak ke Cigentis.

Sebenarnya waktu berumur 5 atau 6 tahun, saya pernah ke Cigentis bersama keluarga besar. Pas moment lebaran kalo nggak salah. Tapi saya nggak terlalu ingat, maklumlah sudah belasan tahun yang lalu.

Di awal perjalanan, pengunjung langsung disajikan track menanjak, sekitar 10 menit. Nggak curam sih, tapi lumayan bikin ngos-ngosan (buat saya yang jarang olah raga). 10 menit jalan lagi, kita akan sampai di parkiran terakhir, ini batas dimana kita bisa bawa motor. Dari parkiran bawah (dimana saya titip motor tadi) banyak tukang ojek yang nawarin jasa antar sampai titik ini. Kata Teh Ika dan Mba Nuy, kami sudah melewati setengah perjalanan. Wah, cepet juga, pikir saya. 

 

-Sepanjang perjalanan, view pegunungan sekitar selalu memukau-

Bersama mba Isa dan Mba Nuy

Jalan sekitar 10 menitan lagi, kita sampai di pintu masuk ke Curug Cigentis. Tiap orang harus bayar retribusi sebesar Rp.15.000. Cukup mahal untuk wisata alam curug, menurut saya. Apalagi fasilitas yang disediakan pun hampir tidak ada, kecuali mushalla. Tempat sampah, selihat saya cuma ada satu. Jadi jangan heran, sampah bertebaran dimana-mana. Sayang sekali, tempat indah yang disediakan oleh alam seperti ini tidak terkelola dengan baik. Padahal pengunjungnya sangat banyak, mungkin bisa lebih daari 1.000 orang perhari di liburan dan weekend. 

Dari pintu masuk, beberapa menit jalan, kita sudah bisa lihat air terjun yang jatuh dari atas tebing. Kita sampaaaii..!!

Tapi lagi rame banget. Banyak banget manusia. Tidaaakk!! *haha, saya udah berasa jadi alien* Emang aslinya saya nggak terlalu suka keramaian sih. Sendirian juga nggak suka sih. *curcol*

Keinginan untuk nyemplung ke air seketika menghilang. Padahal udah ngebayangin bakal berendem di air sejuk itu. Tapi... gimana bisa kalo banyak manusia gini? Gimana kalo nanti mereka tau jati diri saya yang sebenarnya? *berubah wujud kalo udah di air*

Diurungkanlah niat untuk berbasah-basah ria. Kami pun melipir mencari tempat yang datar. Buka nasi bungkus, makan rame-rame. Apapun jadi enak kalo dimakan pas lapar dan bareng-bareng. Apalagi diiringi backsound air terjun. Wuiiihh...

Seusai menghabiskan bekal dan ngobrol-ngobrol cantik, kami memutuskan untuk segera turun. Karena sudah hampir jam 3, kami tak ingin pulang terlalu sore. Tapi sebelum turun, tak afdhal rasanya jika belum mengabadikan pose kebersamaan kami dalam keindahan Curug Cigentis ini.

  


-Indahnya Ukhuwah-


Bersama Mba Nuy dan Teh Ika

Overall, perjalanan ke Curug Cigentis ini cukup mudah. Ngos-ngosannya Cuma di tanjakan awal. Selanjutnya track mulai datar, nanjak dikit-dikit lah, but not a big deal. Nggak kerasa capek, tau-tau udah sampe aja. Karena pendek juga sih tracknya. 

Sedikit tips, kalo ke sini jangan pas liburan atau weekend. Rame banget, macet, kurang asik karena banyak anak alay. Haha *nanti saya dijegat pake kenur layangan lagi di jalan* 
Bagi yang nggak mau ribet, nggak masalah kalo dari rumah cuma bawa dompet aja. Karena di atas curug udah banyak warung-warung, mulai dari tukang warung nasi, bakso, sampe toko pakaian. 

Back to our trip. Jika perjalanan naik tadi menghabiskan waktu sekitar 40 menit (plus istirahat karena mba Isa yang jalan duluan ternyata lagi pesen rujak), perjalanan pulang lebih cepat lagi. Sekitar 30 menit kami sudah sampai di tempat parkir motor kami.

Tak ingin berlama-lama, setelah shalat ashar kami langsung memulai perjalanan pulang.

Sayangnya, baru berkendara beberapa menit, macet sudah mengular. Tak beda dengan jalur puncak saat libur panjang. Sesaat kemudian, langit menghitam, hujan deras pun turun. berbasah-basah ria lah kami berempat.

Jalur yang kebanyakan turunan membuat kami harus berhati-hati sekali saat bawa motor. Laju di speedometer hanya berkisar 20-30 km/jam. Perjalanan serasa begiiitu panjang. Hari sudah mulai gelap, tapi tempat yang dituju tak kunjung terlihat. 

Ketika adzan maghrib berkumandang, kami akhirnya sampai di Kota Karawang. Perjalanan pulang memakan waktu hampir 2,5 jam. Tapi alhamdulillah, kami sampai rumah dengan selamat. 

Itu yang terpenting dari sebuah perjalanan, kan? Pulang dengan selamat. 
Pun perjalanan di dunia yang fana ini. Semoga kelak kita bisa pulang dengan selamat :)


Sincerely, 
Riana



Minggu, 27 Desember 2015

[BUKAN] RESENSI BUKU

Buku itu kayak makanan, film, atau musim. Selera tiap orang bisa beda-beda (di bold, underline, italic). Makanya, saya hanya sekali duakali me-review atau me-resensi buku, itu pun karena dikasih tugas sama guru Bahasa Indonesia. Kalau boleh milih, saya mending di suruh ngerjain soal matematika, deh. Bikin resensi buku itu susah banget pake kuadrat (bagi saya)!

Karena susah banget pake kuadrat, di catatan kali ini saya bukan bermaksud me-review, hanya ingin bercerita dan berpendapat mengenai tiga buku yang semingguan ini saya baca.

Buku pertama, Cado Cado 3; Susahnya Jadi Dokter Muda. Cado Cado ini singkatan dari Catatan Dodol Calon Dokter. Kayak judulnya, buku ini bercerita mengenai kisah ko-ass dodol. Sejujurnya sih, buku humor ini kurang berhasil bikin saya ngakak. Beberapa kali ketawa sih pas baca, atau senyum-senyum, tapi kurang berasa ggrrrrr-nya.  Sebenernya adegannya lucu, tapi eksekusi penyampaiannya kurang gimanaaa gitu. Saya udah kayak komentator stand-up comedy belom?



Tapi anehnya, pas chapter ending, nih buku malah berhasil bikin saya nangis. Gegara si Vena yang sebenernya cuma tokoh sampingan di buku ini. Vena yang manja tiba-tiba jadi anak tegar malah setelah kehilangan sosok ayahnya karena kecelakaan pesawat. Si penulis, Dr.Ferdiriva Hamzah yang ganteng, berhasil membangun suasana haru, apalagi pas Vena ngasih sambutan wisuda. Atau bisa jadi saya aja yang cengeng saudara, bisa jadi.

Buku kedua, Ranu. Karya duet Ifa Avianty dan Azzura Dayana. Saya yang penggemar mbak Ifa sudah sering membaca bukunya. Tapi saya belum sempat membaca buku mbak Azzura. Seringnya hanya mendengar cerita dari teman- teman, kalau buku-buku mbak Azzura kebanyakan mengambil tema tentang travelling, backpacker khususnya. Nah, dari situ, sebenernya akan terasa perbedaan antara tulisan mbak Ifa dan Mbak Azzura ketika baca novel satu ini. Kalo saya nggak salah nebak nih, mbak Azzura banyak ambil bagian ketika para tokoh Ayuni dan Dios berpetualang di Baduy dan Gunung Gede. Sementara, mbak Ifa banyak ambil bagian di tokoh Ranu sang high-cost traveler dan Irene sang pimred majalah wanita terkemuka di Indonesia. FYI, mbak Ifa sering bikin tokoh high-class di novel-novelnya. Bahasa inggris berseliweran di mana-mana. Dan sering diselingi lirik-lirik lagu inggris pada zaman saya belum lahir. Dan di novel ini, mbak Ifa tidak melepaskan ciri khasnya itu.



Masuk ke konten, novel Ranu ini di cover depannya bertuliskan Novel Islami. Tapi pas dibaca nggak islami banget kok, kalo dibandingin sama novelnya Kang Abik. Anehnya, saya malah ngakak waktu baca novel ini (dibandingin sama buku humor pertama yang saya baca). Dialog antar tokohnya kocak abis. Contohnya, nih.
“Halo, Nyet, di mana lu?”
Nyat-nyet, nyat-nyet, dasar gorila!
“Gue di suatu tempat di mana tidak ada seekor gorila pun di sini.”

Sayangnya, ending-nya nggak seperti yang saya pingin. Itu aja kelemahan novel ini. Koplak banget ya alesan saya? Biarlah..

Buku ketiga novel karya Andrea Hirata, Ayah. Jujur, saya bukan penggemar beliau. Pernah sih baca Laskar Pelangi, waktu SMA kalo nggak salah. Tapi nggak terlalu membekas diingatan saya, mungkin memori saya aja yang error. Jujur lagi, punteeeuuun pisannya, kepada seluruh penggemar berat Bang Andrea, harap lihat ke awal tulisan ini, yang sengaja di bold, underline, italic sama saya. Dari segi cerita, sebenernya biasa aja. Tapiiii... ini tapinya banyak loh. Ini novel epik banget! Seringkali saya heran pas baca, kok kepikiran yaa.. kata-kata kayak gini. Asli, pilihan kata-kata Bang Andrea, mulai dari puisi, deskripsi, sampe dialog di novel ini, pecaaah!



Misalnya salah satu puisi romantis ini,
Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji

Atau dialog kocak ini,

“Mulai sekarang hapus semua nama perempuan itu!” Sabari ragu, Ukun geram.
“Hapus nama perempuan itu!” Ukun tak main-main.
“Akan kuhapus, Kun.”
“Tekadkan niatmu!”
“Aku bertekad, Kun.”
“Janji?!”
“Janji, Kun.”
Sabari tampak muak kepada dirinya sendiri, wajahnya penuh tekad. Dia ingin menyudahi dominasi Marlena dalam hidupnya.
“Buang puisi-puisi konyol itu!”
“Akan kubuang!”
“Hancurkan fotonya!”
“Akan kubumihanguskan!”
“Jangan biarkan seorang perempuan membuatmu terlena!”
Sabari terpaku.
“Apa katamu? Marlena...?”
*guling-guling saya bacanya*

Setelah baca novelnya ini, nggak heran lah saya kenapa sampe sebegitu banyaknya penghargaan untuk Bang Andrea. Karena kalo penulis lain yang nulis nih cerita, mungkin akan jadi flat dan boring (Inti ceritanya “Cuma” lelaki yang cinta sampe mati sama perempuan yang jadi cinta pertamanya) Tapi karena  Bang Andrea yang nulis, dikemas sedemikian rupa, jadilah novel apik yang epik ini. Saya satu suara sama endorsement Thomas Keneally, “I am fascinated by Andrea’s capacity to write, such a talanted young writer.”


Sincerely,
Riana.
28 Desember 2015.
Pukul 2 dini hari hingga subuh berkumandang

Di saat insomnia menyerang saya (lagi) 

Minggu, 20 Desember 2015

Ahad Itu...

Ahad, 20 Desember 2015.

Sekitar pukul 8 pagi. Agak siang dari biasanya. Jadwal biasa kami (FLP Karawang) menggelar taman bacaan gratis setiap ahad di pendopo Lapangan Karang Pawitan Karawang sekitar pukul 7 pagi. Tapi pagi ini kami terlebih dulu longmarch hingga kantor PEMDA Karawang, membentangkan spanduk sepanjang 30 meter dan mengumpulkan dana bagi saudara-saudara kita di Palestina dan Suriah. Relawan berbagai komunitas hadir berkumpul di Masjid Al-Jihad Karawang sejak pukul 6 pagi, dari mulai Karawang Peduli, ACT (Aksi Cepat Tanggap), 1 day 1 juz, Aku Berdonasi Karawang, Backpacker Karawang, dan masih banyak lagi. Meski orangnya 4 L, Lu Lagi Lu Lagi :D

Bukan karena nggak ada lagi orang, bukaaan! Tapi kebanyakan penyakit relawan atau aktifis ya bagitulah, mungkin kebanyakan energi sampe jarang banget yang puas di satu komunitas. Iya kan? Ah, ngaku deh! Saya kasih contoh nih, temen yang udah saya anggap jadi kakak saya sendiri (ngaku-ngaku, siapa juga yang mau nganggap situ adiknya! XD) Teh Lina Astuti. Satu orang ini harus jadi amoeba dan membelah diri (halaaah!) jadi pengurus di tiga komunitas, Aku Berdonasi Karawang, Backpacker Karawang, dan FLP Karawang. Hebat, kan? Siapa dulu adiknyaaa..  bukan saya!

Back to the line! Karawang ituuu, masyaallah.. kepedulian untuk sesama-nya luaarrr biasaaa! Terbukti, dari aksi #GEMPAR (Gerakan Masyarakat Peduli Palestina dan Suriah) yang sebentaran itu, cuma sekitar tiga jam, tapi dana yang terkumpul, Alhamdulillah mencapai sekitar Rp.3,6 juta. Kalian luaarrr biasaaa! Jazakallah khairan katsir, semoga amal yang diberikan dibalas dengan sebaik-baik balasan oleh Allah SWT dan dapat membantu meringankan beban saudara-saudara kita di Palestina dan Suriah. Pun, jangan lupa untuk menyisipkan mereka di setiap do’a yang kita panjatkan. Agar kemanusiaan dapat berdiri tegak di tanah Palestina dan Suriah.

Photo by: Syafroni Agustik

Agenda selanjutnya setelah Aksi #GEMPAR adalah #NGAMPAR. Nggak ada akronimnya sodarah-sodarah! Itu kata asli. Dari kata asal “hampar”. Coba cek KBBI anda! Yup, kami menghampar tikar dan buku-buku, dari mulai buku anak, remaja, hingga dewasa, dari mulai komik, fiksi, non-fiksi, hingga majalah untuk dijadikan taman bacaan gratis. Program FLP Karawang ini sudah berjalan kurang lebih 2 tahun, yang kami namakan #KM2 (Karawang Membaca dan Menulis). Tapi, mulai ahad ini, #KM2 sudah diup-grade menjadi #KM3, Karawang Membaca, Menulis, dan Memasang Puzzle!

Hafidz dan Ayah-Ibu
Tadinya hanya sekedar jadi “mainan” bagi para relawan penjaga taman baca. Tapi, diluar dugaan, ternyata puzzle-puzzle ini jadi satu atraksi yang menarik perhatian anak-anak untuk mampir ke taman baca. Salah satunya Hafidz ini. Usianya baru 3,5 tahun jadi belum bisa baca. Tapi betah bingit di taman baca, ngutak-ngatik puzzle. Semua puzzle yang ada di taman baca sudah dicoba. Such a genius boy!

A Precious Princess
Anak perempuan ini seneng juga main puzzle. Usianya 5 tahun, baru masuk TK kecil. Tapi sudah bisa mengeja huruf 2 kata-2 kata. A precious princess bagi bundanya. Selagi berbincang dengan bundanya, saya yang sok tahu nyeletuk, “Anak bungsu, bu?” Karena melihat anaknya yang masih kecil dan bundanya yang mungkin sudah hampir kepala 4. Tiba-tiba mata itu berkaca, “Anak pertama, setelah 12 tahun pernikahan.” Huaaaah.. saat itu pingin banget noyor kepala sendiri! Makanya jangan sok tau, woooy! A mistake, a big mistake.. but, still need acting cool, “Oh.. anak satu-satunya?” Sang bunda mengangguk, tersenyum. Ah, air mata bahagia sepertinya..

Ahad itu, masih ada beberapa pengunjung anak-anak lagi di taman baca, tentu didampingi orang tuanya. Dan bagi saya yang suka sekali anak-anak, tingkah mereka adalah the best entertainment ever.  Smiles come without me realize..

Bersama Mba Isa

Ahad itu, semangat membaca dari anak-anak yang datang membuat saya malu. Mereka yang masih belum bisa membaca dan hanya melihat gambar-gambar di bukunya, mungkin membuka buku lebih sering dari pada saya. Mereka yang masih terbata belajar membaca, mungkin membuka buku lebih banyak dari pada saya.

Kemudian, soal menulis. Sudah berapa lama tidak menulis, neng? Bahkan sekedar status facebook pun enggan saya tulis beberapa minggu ini. Hanya sekedar like atau share status teman jikapun membuka jaring sosial itu. Beberapa lomba sudah expired, tapi belum juga ada cerita yang ditulis. Belum ada ide. Mentok. Saat ide nggak datang seperti yang kamu mau, itu artinya harus dicari. Saya tau itu. Dan solusi terbaik untuk mencari ide untuk nulis adalah baca!


Booklist

Untuk itu, empat buku di atas ini saya pilih untuk jadi teman “bertapa” saya beberapa minggu ini. Empat buku dengan tema berbeda satu sama lain. 1) Ranu, karya duet Ifa Avianty dan Azzura Dayana yang menceritakan petualangan di Suku Baduy; 2) Cado-Cado 3, buku kocak calon dokter yang katanya bikin Kang Tams (salah satu teman dari FLP Bandung yang sekarang tinggal di Karawang) ketawa sendirian di kelas pas dosen lagi serius-seriusnya ngajar; 3) Ayah, novel romantis karya Andrea Hirata yang direkomendasikan Mba Nuy, teman sesama FLP Karawang; dan  4) Casual Vacancy karya J.K.Rowling, semacam novel misteri detektif-detektifan gitu, entah bisa selesai dibaca atau lambai-lambai bendera putih untuk novel tebal ini.

Kemudian, kegiatan ahad itu... diakhiri dengan do’a rabithah. Dalam lingkaran yang semoga disaksikan para malaikat-Nya. Hati-hati saling berpaut. Uhibbukafillah..  


Sincerely, 
Riana