Minggu, 27 Desember 2015

[BUKAN] RESENSI BUKU

Buku itu kayak makanan, film, atau musim. Selera tiap orang bisa beda-beda (di bold, underline, italic). Makanya, saya hanya sekali duakali me-review atau me-resensi buku, itu pun karena dikasih tugas sama guru Bahasa Indonesia. Kalau boleh milih, saya mending di suruh ngerjain soal matematika, deh. Bikin resensi buku itu susah banget pake kuadrat (bagi saya)!

Karena susah banget pake kuadrat, di catatan kali ini saya bukan bermaksud me-review, hanya ingin bercerita dan berpendapat mengenai tiga buku yang semingguan ini saya baca.

Buku pertama, Cado Cado 3; Susahnya Jadi Dokter Muda. Cado Cado ini singkatan dari Catatan Dodol Calon Dokter. Kayak judulnya, buku ini bercerita mengenai kisah ko-ass dodol. Sejujurnya sih, buku humor ini kurang berhasil bikin saya ngakak. Beberapa kali ketawa sih pas baca, atau senyum-senyum, tapi kurang berasa ggrrrrr-nya.  Sebenernya adegannya lucu, tapi eksekusi penyampaiannya kurang gimanaaa gitu. Saya udah kayak komentator stand-up comedy belom?



Tapi anehnya, pas chapter ending, nih buku malah berhasil bikin saya nangis. Gegara si Vena yang sebenernya cuma tokoh sampingan di buku ini. Vena yang manja tiba-tiba jadi anak tegar malah setelah kehilangan sosok ayahnya karena kecelakaan pesawat. Si penulis, Dr.Ferdiriva Hamzah yang ganteng, berhasil membangun suasana haru, apalagi pas Vena ngasih sambutan wisuda. Atau bisa jadi saya aja yang cengeng saudara, bisa jadi.

Buku kedua, Ranu. Karya duet Ifa Avianty dan Azzura Dayana. Saya yang penggemar mbak Ifa sudah sering membaca bukunya. Tapi saya belum sempat membaca buku mbak Azzura. Seringnya hanya mendengar cerita dari teman- teman, kalau buku-buku mbak Azzura kebanyakan mengambil tema tentang travelling, backpacker khususnya. Nah, dari situ, sebenernya akan terasa perbedaan antara tulisan mbak Ifa dan Mbak Azzura ketika baca novel satu ini. Kalo saya nggak salah nebak nih, mbak Azzura banyak ambil bagian ketika para tokoh Ayuni dan Dios berpetualang di Baduy dan Gunung Gede. Sementara, mbak Ifa banyak ambil bagian di tokoh Ranu sang high-cost traveler dan Irene sang pimred majalah wanita terkemuka di Indonesia. FYI, mbak Ifa sering bikin tokoh high-class di novel-novelnya. Bahasa inggris berseliweran di mana-mana. Dan sering diselingi lirik-lirik lagu inggris pada zaman saya belum lahir. Dan di novel ini, mbak Ifa tidak melepaskan ciri khasnya itu.



Masuk ke konten, novel Ranu ini di cover depannya bertuliskan Novel Islami. Tapi pas dibaca nggak islami banget kok, kalo dibandingin sama novelnya Kang Abik. Anehnya, saya malah ngakak waktu baca novel ini (dibandingin sama buku humor pertama yang saya baca). Dialog antar tokohnya kocak abis. Contohnya, nih.
“Halo, Nyet, di mana lu?”
Nyat-nyet, nyat-nyet, dasar gorila!
“Gue di suatu tempat di mana tidak ada seekor gorila pun di sini.”

Sayangnya, ending-nya nggak seperti yang saya pingin. Itu aja kelemahan novel ini. Koplak banget ya alesan saya? Biarlah..

Buku ketiga novel karya Andrea Hirata, Ayah. Jujur, saya bukan penggemar beliau. Pernah sih baca Laskar Pelangi, waktu SMA kalo nggak salah. Tapi nggak terlalu membekas diingatan saya, mungkin memori saya aja yang error. Jujur lagi, punteeeuuun pisannya, kepada seluruh penggemar berat Bang Andrea, harap lihat ke awal tulisan ini, yang sengaja di bold, underline, italic sama saya. Dari segi cerita, sebenernya biasa aja. Tapiiii... ini tapinya banyak loh. Ini novel epik banget! Seringkali saya heran pas baca, kok kepikiran yaa.. kata-kata kayak gini. Asli, pilihan kata-kata Bang Andrea, mulai dari puisi, deskripsi, sampe dialog di novel ini, pecaaah!



Misalnya salah satu puisi romantis ini,
Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji

Atau dialog kocak ini,

“Mulai sekarang hapus semua nama perempuan itu!” Sabari ragu, Ukun geram.
“Hapus nama perempuan itu!” Ukun tak main-main.
“Akan kuhapus, Kun.”
“Tekadkan niatmu!”
“Aku bertekad, Kun.”
“Janji?!”
“Janji, Kun.”
Sabari tampak muak kepada dirinya sendiri, wajahnya penuh tekad. Dia ingin menyudahi dominasi Marlena dalam hidupnya.
“Buang puisi-puisi konyol itu!”
“Akan kubuang!”
“Hancurkan fotonya!”
“Akan kubumihanguskan!”
“Jangan biarkan seorang perempuan membuatmu terlena!”
Sabari terpaku.
“Apa katamu? Marlena...?”
*guling-guling saya bacanya*

Setelah baca novelnya ini, nggak heran lah saya kenapa sampe sebegitu banyaknya penghargaan untuk Bang Andrea. Karena kalo penulis lain yang nulis nih cerita, mungkin akan jadi flat dan boring (Inti ceritanya “Cuma” lelaki yang cinta sampe mati sama perempuan yang jadi cinta pertamanya) Tapi karena  Bang Andrea yang nulis, dikemas sedemikian rupa, jadilah novel apik yang epik ini. Saya satu suara sama endorsement Thomas Keneally, “I am fascinated by Andrea’s capacity to write, such a talanted young writer.”


Sincerely,
Riana.
28 Desember 2015.
Pukul 2 dini hari hingga subuh berkumandang

Di saat insomnia menyerang saya (lagi) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar