Kamis, 21 Juni 2018

Pantang Mundur Menuju Puncak Guntur


Sebelum lebaran, ada beberapa opsi yang terlintas untuk mengisi libur lebaran tahun ini. Pertama snorkeling di salah satu pulau di kepulauan seribu, kedua ngecamp cantik di bukit Pamoyanan sekalian explore beberapa curug (air terjun) di sana, dan ketiga adalah mendaki Gunung Gede Pangrango. Dari ketiga opsi itu, kami memutuskan untuk memilih opsi ketiga, karena udah kangen muncak, terakhir itu pas ke Merbabu setahun lalu, di momen yang sama saat libur lebaran.

 

Beberapa hari jelang lebaran, dapet kabar kalo pendakian Gunung Gede Pangrango di tutup. Huft! Kemudian galau deh pengen berubah haluan ke mana. Masalahnya cuma libur sampe tanggal 19, kalo start dari rumah 16 malem dan 19 udah balik ke rumah lagi, berarti cuma punya waktu 2 hari buat nanjak. Gunung-gunung di Jawa Tengah kayak Sumbing, Sindoro, Slamet, udah harus dieliminasi karena perjalanan dari Karawang – Jawa Tengah bisa 16-20 jam kalo lagi masa liburan gini. Pilihannya tinggal gunung-gunung di Jawa Barat. Sempet kepikiran buat nyobain gunung tertinggi di Jawa Barat, Ciremai, tapi mikir lagi, mengukur diri lagi, dengan track yang panjang itu kayaknya nggak akan bisa saya capai dalam waktu 2 hari. Cikuray? Tempat campnya nggak terlalu luas katanya, khawatir sulit cari tempat camp yang enak pas musim liburan gini. Pilihannya tinggal Guntur dan Papandayan. Dari beberapa teman yang udah pernah mencoba kedua gunung ini, sarannya “Kalo mau wisata ke Papandayan, kalo mau merasakan pendakian yang sesungguhnya, coba ke Guntur”. Dan akhirnya, dengan berbagai pertimbangan; menghindari Papandayan di musim liburan yang bakal kayak pasar, kangen Sabana hijau-kuning di ketinggian, dan pengen liat langsung tumbuhan kayak ilalang warna ungu apalah itu namanya, saya memutuskan untuk mendaki ke Guntur.

 

Kita bertiga, saya, @mohparman, dan adiknya Linda (personel masih sama kayak pendakian Merbabu tahun lalu) start jam 11 malam dari km 57 tol Karawang, naik bus Primajasa jurusan Lebak Bulus – Garut, harga tiket biasa 50ribu, tapi karena lebaran naik jadi 65ribu. Harusnya sih kita berhenti di pom bensin Tanjung, tapi kita kebablasan sampai terminal Garut. Untungnya nggak kita doang yang kebablasan, banyak juga pendaki lain yang kita temui di terminal Garut, padahal itu masih jam setengah 4 dini hari. Setelah diskusi, kita dan 9 pendaki lainnya carter mobil carry menuju basecamp Guntur via Citiis dengan ongkos 40ribu/orang. Sebelum ke basecamp kita mampir dulu ke mini market untuk beli logistik seperti biasa, mie, roti, air, dan beberapa keperluan lainnya.

     

Sekitar jam setengah 5 kita sampai di basecamp Bu Tati. Sambil nunggu satu personel tambahan lagi, kita shalat subuh, bersih-bersih, dan istirahat dulu di basecamp. Kalo tahun kemarin di Merbabu ada Mas Iksan yang nyusul ke basecamp Suwanting, tahun ini ganti personel jadi Bang Gumay. Doi start dari Cikampek dan lewat jalur Purwakarta, jadi nggak se-bus sama kita. Sekitar jam 6 pagi Bang Gumay sampe basecamp. Sebelum mulai pendakian, kita sarapan dulu di basecamp. Ada nasi goreng dan nasi biasa dengan berbagai menu. Kita pesen nasi biasa dengan semua menu yang ada; telur bulet balado, kerecek kikil plus tahu, capcay, oreg tempe, dan kentang mustopa. Harus diakui bahwa masakan Bu Tati ini emang enak. Sebelum pulang juga kita pesen nasi gorengnya dan enak jugaaa. Masakan terenak di basecamp yang pernah saya kunjungi, hehe. Bukan cuma karena laper, tapi emang masaknya sungguh-sungguh, nggak asal-asalan, bumbu tiap masakannya berasa, nggak hambar kayak kisah cintamu *eeeh.

Titik start pendakian Gunung Guntur


Kita start pendakian jam 8 pagi, di basecamp Bu Tati ini salah seorang anggota kelompok harus isi formulir pendakian dan menitipkan KTP nya di sini. Menuju pos 1, tracknya tanah dengan sedikit kerikil, jalan menajak tapi masih landai, ini track yang paling “enak” diantara track lainnya di Gunung Guntur. Yang bikin hopeless cuma jalurnya yang agak panjang, jadi berasa nggak sampe-sampe. Kita aja baru sampe pos 1 sekitar jam 10an. Di pos 1 kita harus bayar simaksi dengan harga 15ribu/orang di hari libur. Oh iya, sebelum dan setelah pos 1 ada beberapa warung yang bikin para pendaki tergoda buat sekedar istirahat atau mengisi lagi amunisi untuk pendakian, yang dijual mulai dari nutrisari pake es, gorengan anget, mie, sampe semangka.

 
Track awal

Istirirahat di warung sebelum pos 1


Pos 1

Rintangan mulai naik level dari pos 1 sampai pos 3, Tracknya didominasi batuan besar dan tinggi. Kemiringan bisa sampai 70-80 derajat. Kalian harus merangkak kayak wall climbing. Nggak ada tali bantuan, jadi pegang apa aja yang bisa dipegang, batuan, akar, atau tangan temen kalian, jangan tangan mantan!

 

Satu kata yang sering saya denger di track ini adalah “RIPUH”. Ya gimana nggak ripuh ya, bayangin aja nanjak di medan kemiringan ekstrim dengan bawa beban carrier yang bisa sampe 20kg. Saya aja yang cuma bawa day pack isi baju doang udah ripuh. Nggak ngerti lagi gimana cara melangkahnya, hiks! Batuannya bisa setinggi lutut sampe pinggang kita. Nggak heran beberapa temen yang pernah ke sana komen, "nanti nanjaknya lutut bakal ketemu dada" and I feel it bro!

Track menuju pos 2

Kita baru sampai di pos 3 jam 1 siang, padahal durasi normal basecamp - pos 3 itu cuma 3 jam, tapi kita menghabiskan 5 jam, ngaret 2 jam karena faktor terlalu menikmati perjalanan dengan pemandangan indah, canda tawa, dan lagu-lagu nostalgia *alibi*

 

Sampai di pos 3 kita harus lapor ulang, tinggal tunjukin formulir yang didapet dari basecamp tadi, nggak usah bayar apa-apa lagi. Bagi kamu yang udah kehabisan air, jangan khawatir, di pos 3 ini ada sumber air melimpah dari curug. Kalian bisa ambil air dari sana buat minum dan masak, boleh dipake wudhu tapi nggak boleh dipake mandi, apalagi pake sabun atau pipis di sana. Tetep jaga lingkungan ya genk, jangan sampe airnya tercemar. Soalnya air itu biasanya langsung dikonsumsi sama para pendaki tanpa dimasak dulu. Airnya enak kok, seger dan dingin kayak air kulkas, lebih enak daripada air a*ua. Di sini juga ada mushola dengan kapasitas 3-4 orang. Juga ada yang jual merchandise khas gunung Guntur, dari mulai gantungan kunci, gelang, sampai kaos. Mau sewa perlengkapan camping juga ada, tenda, nesting, kompor, matras, dll.


Pos 3
 
Pos 3 ini dijadikan camping ground untuk para pendaki. Beberapa tahun lalu udah ada aturan nggak boleh camping di puncak karena sering ada badai petir, beberapa nyawa pendaki melayang karena terkena petir. So keep the rule, keep save guys! Kelebihan selain menghindari petir adalah, kita nggak perlu lagi bawa-bawa carrier sampe puncak, cukup bawa air dan perbekalan secukupnya aja, karena track dari pos 3 - puncaknya luar binasa!

 

Setelah lapor dan dapet spot enak buat ngecamp, kita langsung buka tenda supaya bisa istirahat. Oh iya, tips buat temen-temen sebaiknya kalo ke Guntur bawa flysheet karena kalo siang di sini cukup panas. Nggak ada pohon besar untuk berteduh, jadi lumayan gersang gitu. Meskipun pas kemarin kita ke sana udaranya cukup sejuk, tapi sinar mataharinya juga lumayan terik.

View dari Pos 3 - Camping Ground


Saat malam, dari pos 3 ini kita bisa liat view city light kota Garut. Bintang-bintangnya juga kemarin lagi bagus banget. Sayangnya kita nggak bawa kamera bagus buat mengabadikan momen itu lewat foto, jadi ia cukup mengabadi di dalam hati dan pikiran saja, ck! Suhu malamnya juga nggak se-ekstrim di gunung-gunung lain. Cukup dingin, tapi nggak menggigit. Kayak udara kota-kota sejuk di Jawa Barat macam Bandung, Kuningan, dan Garut lah.

 

Pendakian ke puncak di mulai besok paginya, 18 Juni 2018. Banyak yang udah mulai summit attack dari jam 3 pagi. Sementara kita? Jangan ditanya. Bebepara kali pendakian juga kita nggak pernah tuh yang namanya liat sunrise di puncak, pasti liatnya dari dalem tenda sambal masih berselimut sleeping bag, wk!

 

Selesai shalat subuh, mengumpulkan nyawa, dan ngeteh cantik, kita siap-siap untuk muncak. Sekitar jam setengah 7 pagi kita mulai jalan dengan hanya berbekal 2 botol air minum dan roti. Bang Gumay nggak ikut muncak karena harus jaga tenda, katanya sih di sini masih rawan gitu ada pencurian di tenda. Lagian Bang Bumay juga udah pernah muncak ke Guntur sebelumnya, jadi mendingan ngopi cantik di tenda katanya sambil ngobrol-ngobrol sama tetangga.

 

Track menuju puncak Guntur sering disebut The Little Semeru. Tracknya kerikil halus kayak pasir. Lu ngelangkah 1 meter, terus turun lagi 75 senti, bahkan kadang kayak jalan di tempat aja gitu, kzl! Kira-kira udah 1 jam jalan, kita di kasih tau gitu sama seorang bapak, “Mau naik? Lewat kiri aja, pohon-pohon pinus itu, jalannya lumayan lebih enak ada tanahnya, nggak full kerikil,” Akhirnya kita pun ngikutin saran dari Si Bapak itu, dan bener apa katanya.

Track menuju puncak


Tapi meskipun lebih enak dari track kerikil, track tanah ini juga nggak gampang sih. Kemiringannya yang ekstrem antara 60-70 derajat bikin dengkul mau copot. Tanahnya juga lumayan gembur dan licin, ditambah kerikil-kerikil halus. Nggak ada tempat pijakan kaki yang jelas juga, jadi kita harus pinter-pinter milih tempat pijakan sendiri. Harus bener-bener fokus dan konsentrasi, jangan sambil ngelamunin dia ya!

 

Karena kita jalannya santai banget, jadi banyak dibalap sama kelompok lain. Beberapa yang saya ingat, ada bapak-bapak dari Cina yang nyapa kita “Hello!”, abegeh dari Cikarang yang baik hati ngasih kita air, dan keluarga dari Mejalengka yang jadi penyelamat saya.

 

Jadi, sekitar ¾ jalan menuju puncak itu kemiringan makin terjal, sementara tenaga udah semakin habis. Saya udah berusaha sehati-hati mungkin, sepelan mungkin, tapi entah gimana tiba-tiba kepeleset dan jatuh merosot sampe kira-kira 3 meteran. Untungnya, Allah masih sayang, saya masih selamat. Pas jatuh saya nggak kepikiran apa-apa karena cepet banget, instingnya cewek ya kalo jatuh bukan nyelametin diri, tapi malah teriak sambil nutup mata, that’s exactly what I do, wkwkwk. Pas sadar balik lagi ke akal sehat, tangan saya udah ditarik sama Si Bapak Majalengka itu. Terus di bawah anak cowok pertamanya juga nahan saya.

 

Sambil istirahat kita ngobrol-ngobrol sama keluarga Majalengka itu. Mereka berempat naik ke puncak, Si Bapak, anak 1 (cowok, 15 tahunan), anak 2 (cewek 12 tahunan), dan anak 3 (cowok 10 tahunan), sedangkan Si Ibu nunggu di pos 3 sambil nyiapin makan siang. Dari ceritanya, keluarga bapak ini emang udah sering mendaki, apalagi Gunung Ciremai, hampir semua jalur udah pernah dicoba. Keren ya?!

 

Singkat cerita, setelah drama pendakian selama 4 setengah jam, kita sampai juga di puncak. Alon-alon asal klakon *bener ga sih? Sejak dari pertengahan perjalanan, sebenernya udah capek banget. Yakin nggak yakin sih bisa sampe puncak. Ya dijalanin aja, kalo masih kuat lanjut, kalo nggak kuat ya jangan dipaksain, tinggal pisah aja *eh, apasih?!

 

Salah satu motivasi untuk terus jalan menuju puncak adalah; sesekali liat ke belakang. Puncak udah keliatan dikit lagi (meskipun dekat di mata jauh di kaki, Cin!) sedangkan tempat kita mulai perjalanan udah hampir nggak terlihat. Kita udah jalan sejauh ini, masa usaha dan perjuangannya mau disia-siain gitu aja? #tsaaah.

 

Tapi tetep inget ya guys, puncak bukan segalanya. Nggak usah maksain sampai puncak kalo fisik kita udah nggak kuat. Kita bisa nilai diri kita sendiri lah ya, ada saat dimana kita cuma butuh istirahat sebentar buat nantinya lanjutin perjalanan lagi, tapi ada juga saat dimana kita harus bener-bener nyerah dan balik arah.
 

FYI, gunung Guntur ini punya 5 puncak. Kita mendaki ke puncak ke-2. Kalo mau ke puncak lainnya, tinggal jalan lagi aja, turun lembah terus naik lagi. Aye sih ogah, bye! Kita cukupkan saja di sini Orlando! *halaahhh. Dari puncak sini kita bisa liat view berapa gunung lain di sekitaran, kayak Cikuray dan Papandayan. Juga dapet view Sabana yang sedang menguning dan ilalang-ilalang, cantik!

 


View sabana dan puncak 3 Guntur



View gunung-gunung sekitar


Kita nggak lama-lama di puncak, setelah puas menikmati pemandangan dan foto-foto, kita turun lagi sekitar jam setengah 12. Pas turun, lewat jalur kerikil pasir gitu lebih enak, kita ngelangkah 25 senti, turunnya udah 1 meter. Asal pinter-pinter ngerem dan nahan keseimbangan berat badan kita aja. Banyak juga pendaki yang lari, tapi saya sih nggak rekomen, liatnya aja ngeri, takut kebablasan terus guling-guling sampe bawah.   

 

Tips selanjutnya kalo mau muncak ke gunung Guntur adalah pake sepatu gunung! Kemarin saya pake sepatu biasa dan akhirnya jebol dooongs. Pas naik udah curiga sih banyak sol-sol sepatu bertebaran gitu, pas turun baru paham. Jalur batu kerikil halus ini musuh biadab bagi para sol sepatu, terutama pas tracking turun. Karena tumit menahan sebagian besar dari berat badan kita di medan kerikil panas, jadi ya gini deh hasilnyaaa…

Korban Guntur :')


Ujian waktu turun sih lebih ke nahan panas pas tengah hari, dan nahan sakitnya kaki kena batu-batu yang masuk ke sepatu. Belum lagi kepeleset udah nggak kehitung berapa kali, kayaknya lebih dari 5 kali deh. Udah lemes banget, nggak ada lagi energi buat nahan, jadi kalo jatuh pun udah pasrah deh, siap-siap aja bumper kebentur batu dan hati-hati celana sobek! Tapi Alhamdulillah lumayan cepet, jam 1 siang kita udah sampe tenda lagi di pos 3. Dan langsung minum air sepuas-puasnyaaa, dan nyalahin kompor buat masak ramen!

 

Jadi ceritanya persediaan air yang 2 botol itu cuma bertahan sebentar. Baru seperempat jalan aja kita udah ngehabisin 1 botol. Sampe puncak air cuma sisa ¼ botol lagi. Bener-bener ngehemat air, minum sesedikit mungkin padahal kerongkongan lagi kering-keringnya, karena cuacanya yang puanas di atas tengah hari itu. Udah gitu, perut juga kelaperan, efek nggak sarapan dulu sebelum pendakian, cuma makan jelly dan minum teh manis sedikit. Bawa roti sih buat ganjel perut, tapi percuma kalo nggak ada air buat minumnya, bisa-bisa nyangkut cuma sampe kerongkongan.   

 

Next tips, kalo sempet sarapan, mending sarapan dulu aja sebelum summit. Kalo kamu type kayak saya yang nggak pernah sarapan, mending bawa bekal yang cukup buat makan di tengah perjalanan muncak. Yang paling penting adalah bawa air yang cukup, minimal 1 liter/orang. Mending bawa lebih dari pada kekurangan. Ingat, bawa air sebelum kehausan!

 

Setelah perut kenyang dan cukup istirahat, kita siap-siap packing untuk pulang. Habis shalat ashar kita mulai turun. Seperti biasa sih penyakit lama saya kambuh, payah banget gitu kalo turun. Beberapa kali juga mau kepeleset, karena udah nggak ada lagi tenaga. Di track datar aja saya mau jatuh, wk! *eneng butuh pegangan, bang!

Menikmati senja selagi tracking turun


Yang bikin semangat pas turun adalah keberadaan warung-warung di deket pos 1. Tiap mau berhenti disemangatin lagi, “Ayo itu warungnya udah deket, di sana ada gorengan sama teh manis anget!” Lalu satu jam kemudian… warungnya masih nggak muncul-muncul juga. Kamvreeet!

 

Kita sampe di warung pas hari udah mulai gelap, di waktu maghrib. Ada mushola dan toilet juga di deket warungnya. Begitu sampe langsung pesen teh manis anget dan bala-bala yang baru banget diangkat dari penggorengan. Sumvah itu jadi bala-bala terenak yang pernah saya makan, ampe abis 3, bodo amat sama kolestrol!

 

Tapi finally sekitar jam 8 malem kita sampe juga di basecamp Bu Tati (lagi), setelah perjalanan selama 4 jam. Yang cowok langsung pada pesen nasi goreng, sementara saya udah nggak nafsu makan. Setelah mandi dan shalat isya, saya langsung masuk sleeping bag. Alhamdulillah kita diizinin buat tidur di dalem ruangan posyandu yang waktu itu lagi nggak dipake. Lumayan lah ya indoor, daripada harus tidur di saung outdoor. Dinginnya sih nggak masalah, tapi banyak pendaki yang lalu-lalang, ada yang baru datang tengah malem, ada juga yang baru mau berangkat dini hari, kebayang kan ya berisiknya.

 

Malam itu tidur pules les les, besoknya pas bangun baru kerasa kaki dari tumit sampe pangkal paha sakit semua. Efek nanjak tanpa persiapan olah raga yang cukup nih, jangan ditiru ya temans! Jam 8an, setelah sarapan dan packing, kita menuju terminal Garut dengan menumpang mobil bak terbuka dari basecamp Bu Tati, sekalian tetehnya mau ke pasar katanya. Kita cuma bayar 25ribu/orang, biasanya 40-50ribu. Dari terminal naik bus primajasa lagi, jurusan Bekasi (turun di km 57 tol karawang, karena bus AC nggak ada yang langsung ke terminal Karawang). Busnya lebih mahal, karena kita dapet yang kelas bisnis, harga liburan 73ribu/orang.

 

Karena berbarengan dengan arus balik, jalanan macet. Garut-Karawang yang biasa ditempuh 4 jam, kemarin ngaret sampe 5 setengah jam. Baru sampe Karawang sore dan mendarat mulus di kasur menjelang maghrib. Dan seperti biasa, disambut dengan omelan mamah tiap pulang turun gunung, liat muka gosong, jalan nggak karuan, dan oleh-oleh cucian kotor, hahaha. Tapi nanti juga kalo izin mau naik (lagi) tetep diizinin (lagi), mamah emang terbaiq!

 

 

Regards,

@riana_yah

4 komentar:

  1. Seru bangettt n3ng bacanya,gimana pas ngalaminnya ya? Pasti lebih seru hehehe.
    Makasih sharenya neng 😊
    Btw, itu koq ada mama dj disebut2 (Tati nama mama dj juga weheheh)

    Btw (lagi) salam buat sepatunya yg jebol ya 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, salam ya teh ke Mamah Tati. Makasih udah masakin makanan yg enak buat kita, hahaha . Sepatunya udah di buang, hiks!

      Hapus