Senin, 04 Januari 2016

Catatan Perjalanan III: Unexpected Journey Bongkok -> Lembu -> Cigentis

Salah satu resolusi saya di tahun 2016 ini adalah NANJAK GUNUNG. Karena itu, di minggu terakhir 2015 saya ngompor-ngomporin sahabat-sahabat SMP saya untuk nanjak minggu depan. Tujuannya ke gunung yang dekat dan tidak terlalu tinggi, bisa bulak-balik dalam sehari, karena hari seninnya beberapa teman sudah harus masuk kerja. Seorang teman merekomendasikan Gunung Bongkok di Purwakarta. Ide bagus, menurut saya, karena perjalanan ke Purwakarta bisa ditempuh sekitar 2 jam dari rumah kami yang berada di ujung Bekasi (hampir murtad ke Karawang) naik motor. Perjalanan menuju puncak gunungnya pun hanya sekitar 3 jam, karena gunung bongkok ini ketinggiannya pun tidak sampai 900 mdpl. Relatif rendah dan cepat lah dibanding gunung-gunung berketinggian lebih dari 2.000 mdpl yang nanjaknya perlu seharian. Okay, rencana dibuat. Bahkan saya udah mikirin menu masakan yang akan dibikin untuk dibawa dan dimakan bersama di puncak nanti. 

H-1, hari sabtu tepatnya, seorang teman yang bakal ikut juga di trip ini menelepon saya. 

“Na, yakin kita mau ke bongkok?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Aku searching di internet, kita nanjaknya harus pake tali-tali gitu! Aku besoknya kerja. Bisa gempor itu mah besoknya!”
“Masa??”

Haha. Saya panik. Jujur, saya sendiri yang jadi biang keladi trip ini belum sempet searching soal Gunung Bongkok. Karena ada salah satu teman yang sudah pernah ke sana, oke lah, aman, pikir saya. Udah ada guide jadi kita nggak akan kesasar. Tapi saya nggak ngebayangin kalo tracknya bakal se-ekstrem itu. Apalagi dari rencana awal 8 orang yang bakal naik itu, cuma 2 orang yang udah pernah nanjak. Yang lainnya belum pernah sama sekali. Persiapan kita juga bisa dibilang nihil.   

Saya udah mulai hopeless. Batalin nggak ya?? Tapi mau banget nanjak, huhuhu T_T

Tanya-tanya lah saya sama temen yang udah pernah ke bongkok. Saya kenalin lah ya, sambil promosi blog-nya Fauzi Yusupandi, hehe.

“Rame banget kalau weekend, Riana. Apalagi bongkok jalannya kecil, jadi ya hati-hati. Licin juga karena hujan. Tracknya hampir semua curam.”

Setelah cerita kondisi saya dan teman-teman yang sebagian besar penanjak pemula, temen saya ini merekomendasikan gunung sebelahnya, Lembu. Katanya lebih landai dan aman tracknya. Ketinggiannya nggak sampe 800 mdpl. Hati saya mulai terbagi dua antara Bongkok dan Lembu XD

Malamnya, saya sms-an sama Teh Lina, yang ternyata habis ke Bongkok hari itu.

“Tadi siang teteh ke sana. Pas sorenya hujan. Tracknya ga bagus, licin banget. Tracknya berkali-kali lipat dibanding Lalay (baca cerita trip ke Lalay disini). Banyak tanjakan yang pake tali karena curam. Tanjakan di Bongkok itu lebih dahsyat dari tanjakan ‘setan’ di gunung Gede.”

Waduh! Saya langsung mengurungkan niat untuk nanjak seketika itu juga. Haha. Cemen banget ya, saya?

Sebenernya masih kepengen ke Lembu sih, at least. Sempet searching- searching juga soal Lembu. View nya keren banget, bikin baper. Tapi mikir-mikir juga. Terlalu beresiko untuk nanjak gunung pas musim hujan gini. Terutama buat saya dan teman-teman yang tiap ngumpul itu nggak jauh dari mall sama angkringan, hehe.

Akhirnya, menyerahlah saya. Saya kubur impian saya untuk nanjak besok hari. Di nisannya tertulis: Riana’s Dream. *harap abaikan, efek gagal nanjak jadi gagal waras*

Sampe malam saya masih galau, mau kemana ya besok? Diem di rumah boring banget. Akhirnya, saya putuskan untuk buka taman baca KM.2 bersama Teh Ika. 

Unfortunately, di lapangan Karangpawitan tempat biasa kami gelar taman baca, lagi ada acara entahlah yang digagas Kemenag. Karena dipakai upacara, kita pun melipir ke pinggir lapangan, sebelahan sama tukang balon dan tukang celana kolor. Terlalu sadis caramu.. *Afgan mode on*

Jam 9 kita udah lambai-lambai tangan ke kamera. Panasnya bukan main. Udah gitu nggak ada yang baca pula. Finally, kami gulung tikar. Tapi juga terlalu dini untuk pulang ke rumah di jam segitu. Biasanya selesai KM.2 kami ada acara masing-masing siangnya. Saya dan Teh Ika liqo’. Mba Nuy dan Mba Isa ke kajian. Tapi hari itu kebetulan semuanya libur. Kesempatan yang jarang sekali terjadi. Dan dimulailah Unexpected Journey kami. 

Teh Ika: “Nggak ada agenda sampe sore?”
Saya: “Nggak ada, teh.”
Teh Ika: “Mau nyusul backpacker karawang ke Bongkok?”
Saya: “Nggak ah! Kita sama sekali nggak bawa apa-apa.” *ngeles, padahal takut sama tanjakan XD*
Teh Ika: “Ke Cigentis aja gimana?”
Saya: “Tapi kita nggak bawa salinan.”
Mba Isa: “Jangan nyebur.”  
Saya: “Nggak bisa teh, kita (saya dan Teh Ika) udah kayak ikan kalo liat air. Gimana kalo ke kostan Mba Nuy dulu, kita acak-acak lemarinya?”

Padahal, biasanya saya itu type orang yang segala sesuatunya harus direncanakan. Saya nggak suka yang dadakan. Tapi kali ini, untuk mengurangi kekecewaan saya karena trip ke Bongkok dan Lembu yang gagal, oke lah! Tak ada rotan, akar pun jadi.

Setelah ngacak-ngacak isi lemari Mba Nuy, pilih-pilih baju untuk salinan, berangkatlah kami berempat ke Cigentis, sekitar pukul 11. 

Perjalanan dari Karawang kota ke Curug Cigentis biasanya hanya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Tapi karena macet, kami baru sampai pukul 12.30.

Kami menitipkan motor di parkiran bawah. Shalat dzuhur. Beli nasi bungkus. Baru kemudian mulai nanjak sekitar jam 1. 

Bagi teh Ika dan Mba Nuy, ini trip kesekian kalinya ke Cigentis. Tapi bagi saya dan Mba Isa, ini pengalaman pertama kali kami nanjak ke Cigentis.

Sebenarnya waktu berumur 5 atau 6 tahun, saya pernah ke Cigentis bersama keluarga besar. Pas moment lebaran kalo nggak salah. Tapi saya nggak terlalu ingat, maklumlah sudah belasan tahun yang lalu.

Di awal perjalanan, pengunjung langsung disajikan track menanjak, sekitar 10 menit. Nggak curam sih, tapi lumayan bikin ngos-ngosan (buat saya yang jarang olah raga). 10 menit jalan lagi, kita akan sampai di parkiran terakhir, ini batas dimana kita bisa bawa motor. Dari parkiran bawah (dimana saya titip motor tadi) banyak tukang ojek yang nawarin jasa antar sampai titik ini. Kata Teh Ika dan Mba Nuy, kami sudah melewati setengah perjalanan. Wah, cepet juga, pikir saya. 

 

-Sepanjang perjalanan, view pegunungan sekitar selalu memukau-

Bersama mba Isa dan Mba Nuy

Jalan sekitar 10 menitan lagi, kita sampai di pintu masuk ke Curug Cigentis. Tiap orang harus bayar retribusi sebesar Rp.15.000. Cukup mahal untuk wisata alam curug, menurut saya. Apalagi fasilitas yang disediakan pun hampir tidak ada, kecuali mushalla. Tempat sampah, selihat saya cuma ada satu. Jadi jangan heran, sampah bertebaran dimana-mana. Sayang sekali, tempat indah yang disediakan oleh alam seperti ini tidak terkelola dengan baik. Padahal pengunjungnya sangat banyak, mungkin bisa lebih daari 1.000 orang perhari di liburan dan weekend. 

Dari pintu masuk, beberapa menit jalan, kita sudah bisa lihat air terjun yang jatuh dari atas tebing. Kita sampaaaii..!!

Tapi lagi rame banget. Banyak banget manusia. Tidaaakk!! *haha, saya udah berasa jadi alien* Emang aslinya saya nggak terlalu suka keramaian sih. Sendirian juga nggak suka sih. *curcol*

Keinginan untuk nyemplung ke air seketika menghilang. Padahal udah ngebayangin bakal berendem di air sejuk itu. Tapi... gimana bisa kalo banyak manusia gini? Gimana kalo nanti mereka tau jati diri saya yang sebenarnya? *berubah wujud kalo udah di air*

Diurungkanlah niat untuk berbasah-basah ria. Kami pun melipir mencari tempat yang datar. Buka nasi bungkus, makan rame-rame. Apapun jadi enak kalo dimakan pas lapar dan bareng-bareng. Apalagi diiringi backsound air terjun. Wuiiihh...

Seusai menghabiskan bekal dan ngobrol-ngobrol cantik, kami memutuskan untuk segera turun. Karena sudah hampir jam 3, kami tak ingin pulang terlalu sore. Tapi sebelum turun, tak afdhal rasanya jika belum mengabadikan pose kebersamaan kami dalam keindahan Curug Cigentis ini.

  


-Indahnya Ukhuwah-


Bersama Mba Nuy dan Teh Ika

Overall, perjalanan ke Curug Cigentis ini cukup mudah. Ngos-ngosannya Cuma di tanjakan awal. Selanjutnya track mulai datar, nanjak dikit-dikit lah, but not a big deal. Nggak kerasa capek, tau-tau udah sampe aja. Karena pendek juga sih tracknya. 

Sedikit tips, kalo ke sini jangan pas liburan atau weekend. Rame banget, macet, kurang asik karena banyak anak alay. Haha *nanti saya dijegat pake kenur layangan lagi di jalan* 
Bagi yang nggak mau ribet, nggak masalah kalo dari rumah cuma bawa dompet aja. Karena di atas curug udah banyak warung-warung, mulai dari tukang warung nasi, bakso, sampe toko pakaian. 

Back to our trip. Jika perjalanan naik tadi menghabiskan waktu sekitar 40 menit (plus istirahat karena mba Isa yang jalan duluan ternyata lagi pesen rujak), perjalanan pulang lebih cepat lagi. Sekitar 30 menit kami sudah sampai di tempat parkir motor kami.

Tak ingin berlama-lama, setelah shalat ashar kami langsung memulai perjalanan pulang.

Sayangnya, baru berkendara beberapa menit, macet sudah mengular. Tak beda dengan jalur puncak saat libur panjang. Sesaat kemudian, langit menghitam, hujan deras pun turun. berbasah-basah ria lah kami berempat.

Jalur yang kebanyakan turunan membuat kami harus berhati-hati sekali saat bawa motor. Laju di speedometer hanya berkisar 20-30 km/jam. Perjalanan serasa begiiitu panjang. Hari sudah mulai gelap, tapi tempat yang dituju tak kunjung terlihat. 

Ketika adzan maghrib berkumandang, kami akhirnya sampai di Kota Karawang. Perjalanan pulang memakan waktu hampir 2,5 jam. Tapi alhamdulillah, kami sampai rumah dengan selamat. 

Itu yang terpenting dari sebuah perjalanan, kan? Pulang dengan selamat. 
Pun perjalanan di dunia yang fana ini. Semoga kelak kita bisa pulang dengan selamat :)


Sincerely, 
Riana



2 komentar:

  1. Edisi menggenapkan liburan awal tahun ^_^
    Perjalanan pulang jadi lebih lama banget ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo edisi menggenapkan separuh agama kapan, teh? Hehe.
      Iya perasaan pulangnya nggak sampe-sampe.

      Hapus