Rabu, 10 Agustus 2016

Habibie: Sang Inspirator Anak Bangsa

Tak bisa dipungkiri, sosok Bachruddin Jusuf Habibie adalah salah satu sosok inspirator bagi anak negeri. Kecintaannya kepada Indonesia terwujud dalam pemikirannya untuk membangun negeri gemah ripah ini. Tak akan habis diskusi untuk membicarakan bapak bangsa satu ini. Paduan kecerdasannya yang melangit dan kepribadiannya yang membumi membuat banyak orang terpesona pada Eyang, begitulah kini ia banyak dipanggil orang.

Minggu, 7 Agustus 2016 lalu, saya dan tiga orang kawan dari FLP Karawang berkesempatan menghadiri acara bincang buku Habibie The Series dan diskusi publik bertajuk “Menggali Inspirasi dari 80 tahun Habibie”. Acara tersebut merupakan salah satu acara dari rangkaian kegiatan Pameran foto Habibie dan gebyar aneka lomba yang diselenggarakan berbagai komunitas yang tergabung dalam Friends of Museum. Pameran ini dibuka untuk umum mulai 24 Juli 2016 hingga 21 Agustus 2016 di Museum Bank Mandiri, Kota Tua – Jakarta Barat.

Bertempat di Aula besar Museum Bank Mandiri, diskusi sesi satu bertema “Kunci Sukses Eyang Bangsa; Mengulik Kepribadian Eyang Habibie dalam Meraih Sukses” dimulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB dengan Mas Bo’im Lebon (Penulis serial Lupus dan pegiat FLP Jakarta) sebagai moderator acara. Hadir sebagai pembicara adalah Bapak Andi M. Makka, mantan Pemred Harian Republika yang kini aktif dalam Tim Habibie Center, dan Bapak Sutanto Sastraredja, Dosen UNS Solo yang juga menjadi bagian dalam tim penulis buku Habibie The Series.


Mas Bo’im Lebon (kiri), Pak Andi M. Makka (tengah) dan Pak Sutanto Sastraredja (kanan)

Pak Andi sebagai pembicara pertama menuturkan bahwa buku Habibie The Series ini bukanlah buku perdana yang ia tulis tentang Habibie. “Saya menulis untuk Pak Habibie sejak beliau berumur 50 tahun,” ingatnya. Buku setebal 600-an halaman itu diberi judul Setengah Abad Prof.DR.B.J.Habibie. “Pak Habibie tidak tahu kalau saya menulis buku itu, hingga pada hari ulang tahunnya saya secara diam-diam menyerahkan buku itu pada beliau sebagai surprise,” ceritanya lagi.

Selanjutnya, setiap satu dasawarsa Pak Andi berusaha untuk tidak absen menulis kisah tentang Habibie. Naas, di ulang tahun Pak Habibie ke 80 ini, beliau baru ingat kalau Pak Habibie akan berulang tahun pada H-2 bulan. Semua tahu bahwa waktu 2 bulan adalah waktu yang amat sangat singkat untuk melahirkan sebuah buku. Sulit untuk merealisasikannya jika dikerjakan seorang diri. Hingga bertemu-jodohlah Pak Andi  dengan tim penulis Tiga Serangkai dan lahirlah buku Habibie The Series.

Buku Habibie The Series yang terdiri dari 8 seri itu resmi diluncurkan di kediaman Pak Habibie di bilangan Patra, Kuningan pada tanggal 23 Juni 2016 lalu. Dua hari sebelum ulang tahun Pak Habibie ke- 80 tahun yang jatuh pada 25 Juli. Seri pertama yang berjudul Jangan berhenti (Jadi) Habibie menceritakan bakti seorang Habibie pada negeri tercintanya. Seri kedua Habibie: Jejak Sang Penanda Kebangkitan menceritakan kebangkitan Habibie di Indonesia setelah pulang dari perantauan di Jerman. Di seri ketiga Habibie: Karya Nyata untuk Indonesia dan keempat Habibie: Totalitas Sang Teknosof, Eyang Habibie ikut andil membagikan kisah inspiratifnya secara langsung kepada pembaca.

Pada seri kelima, Habibie: Musik, Film, dan Kegemaran berisi sisi personal mantan Presiden RI ke-3 ini. Siapa sangka bahwa Eyang dan istrinya Bu Ainun adalah salah dua penggemar sinetron Cinta Fitri? Saking tidak ingin melewatkannya, jika Eyang ada kunjungan ke luar negeri, Pak Manoj Punjabi (produser sinetron tersebut) akan menyerahkan copyan file episode selanjutnya yang bahkan belum tayang di televisi. Seri keenam, Habibie: Makna di Balik Lensa berisikan foto hasil bidikan Pak Habibie. Pak Andi sempat bercerita bahwa Eyang sangat suka memoto awan saat beliau sedang berada di pesawat. Dalam seri ketujuh, Ainun: Mata Cinta Habibie berisikan foto dan kisah-kisah tentang wanita yang sangat dicintai Pak Habibie, siapa lagi kalau bukan istrinya yang setia menemani Eyang hingga habis masa hidupnya di dunia. Kemudian, seri kedelapan dan juga terakhir, Habibie dalam Komik, Puisi, dan Surat adalah wujud apresiasi masyarakat luas kepada sosok Habibie yang banyak menginspirasi mereka.

Sementara, memulai penuturannya, Pak Sutanto, pembicara kedua dalam diskusi tersebut membacakan sedikit tulisannya yang tertera dalam buku Habibie The Series seri pertama. “Habibie adalah sebuah fungsi (Habibie is a function) yang mungkin gagal dipahami saat ini, tapi tidak nanti.”
“Dulu,” tambah Pak Sutanto ingin menjelaskan arti kalimat yang baru saja ia bacakan, “waktu Pak Habibie turun dari jabatannya sebagai Presiden, keluar dari gedung DPR dengan tidak diterima leporan pertanggungjawabannya, saya masih kecil, masih belum bisa apa-apa selain shalat dan berdo’a sambil menangis.” Memang, sewaktu menjabat sebagai Presiden RI banyak yang meragukan kemampuan teknokrat jenius satu ini. Untuk membuat sebuah pesawat mungkin Habibie bisa, tapi untuk memimpin sebuah negara?

“Padahal,” lanjut Pak Sutanto, “selama masa jabatannya yang hanya 512 hari itu, Pak Habibie sudah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 12,5%.” Kemudian lulusan S3 Matematika Terapan Universite Bordeaux 1 France itu menjabarkan Rule of Seventy.

“Waktu yang dibutuhkan sebuah pemimpin untuk memakmurkan sebuah negeri, mengubah sebuah negara tertinggal menjadi negara berkembang, atau mengubah sebuah negara berkembang menjadi negara maju dapat dirumuskan dengan Rule of Seventy ini, 70 / (%pertumbuhan ekonomi). Jadi misalkan pertumbuhan ekonomi negara X adalah 7%, maka dibutuhkan waktu 10 tahun (hasil dari 70/7=10) untuk mengubah negara X tersebut. Nah, ini Pak Habibie mencapai 12,5%, hanya dibutuhkan 5,6 tahun (hasil dari 70/12,5=5,6) untuk mengubah Indonesia. ” Terlihat sekali ekspresi greget dari penggemar Habibie satu ini ketika menyampaikan penjelasannya. Terlihat sekali kekecewaan, Ah, kenapa Pak Habibie harus turun pada saat itu, coba lanjut satu periode lagi. Sudah menjadi rahasia umum mungkin, bahwa kemampuan Pak Habibie lebih dihargai di negara luar dari pada negerinya sendiri pada waktu itu.

Tidak banyak memang yang paham akan pemikiran Pak Habibie pada masa itu. Di saat ekonomi negara kita masih tiarap, infrastruktur masih sangat minim, pria yang pernah menjabat sebagai Menristek ini muncul dengan proyek pembuatan pesawat terbang. Beliau yang sudah sangat visioner pada masa itu, mungkin masih sangat sulit dipahami ide melangitnya. Bahwa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini sangat butuh moda transportas cepat macam pesawat untuk menunjang kegiatan-kegiatan baik ekonomi, sosial-budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Kita bisa saja membeli pesawat buatan negara lain seperti yang kita lakukan saat ini, tapi coba bayangkan jika.... Jika saja proyek pesawat N250 dan IPTN berlanjut, kita bisa memproduksi pesawat secara massal, tidak perlu bergantung kepada negara lain, bahkan kita dapat menjualnya ke negara-negara lain, menjadikannya sebagai industri strategis bagi Indonesia. Aaaah.. mungkin kita tidak akan punya hutang luar negeri yang menumpuk seperti sekarang ini, hehehe.

Ya, pemikiran Habibie memang banyak digagal-pahami dulu. Berapa banyak hujatan dan pandangan sebelah mata untuk eyang romantis satu ini? Tapi itu dulu. Kini, berapa banyak apresiasi dan kekaguman yang ditujukan untuk beliau? Berapa banyak anak muda yang terinspirasi oleh visi besarnya, karya nyatanya, bahkan tulus nuraninya?


Sincerely,


Riana Yahya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar