Rabu, 01 Agustus 2012

Muhasabah Cinta

            Mari sejenak bermuhasabah diri dengan sepenuh cinta, menengok lembaran kehidupan yang telah kita lalui, agar menjadi pelajaran bagi kita untuk hadapi kehidupan di depan….



            Sobat, adakah kita teladani Rasulullah yang tiap malamnya tak pernah berlalu tanpa qiyamullail? Ia berlama-lama berdiri, ruku’, dan sujud, hingga bengkaklah kedua kakinya. Padahal, ia telah terampuni dosa yang lalu dan yang akan datang. Padahal, Allah telah jaminkan jannah untuknya. Sedangkan, kita yang dosanya bagai buih di lautan, bagai pepasir di pantai ini, masih berani dan tenang saja menikmati malam-malam bernyenyak dalam gumul selimut hangat.
            Sobat, adakah air mata kita sebermanfaat milik Ibnu ‘Abbas yang menangisnya karena gigil takut kepada Allah, hingga butalah kedua matanya? Ataukah air mata kita lebih banyak menetes karena kekecewaan kita terhadap makhluk, karena harapan yang tak terpenuhi, bahkan karena sinetron dan film picisan itu?
            Sobat, adakah kita seistiqamah Muhammad Al-Fatih? Yang sejak balighnya tak pernah meninggalkan satupun shalat wajibnya, tak pernah tinggalkan satupun puasa Ramadhannya, tak pernah lebih dari sebulan mengkhatamkan Al-Qur’an, tak pernah kehilangan satu ayat pun hafalan Al-Qur’an, tak pernah tinggalkan satu malam pun berqiyamullail, dan tak pernah meninggalkan puasa ayyaamul bidh.
            Sobat, adakah kita sedermawan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang kisaran angka shadaqahnya untuk penduduk Madinah bisa mencapai 40.000 dinar dalam sekali bagi? Ataukah kita masih saja baralibi dengan jawaban klise, “Yang penting ikhlas walaupun sedikit,” ?
            Sobat, adakah kita sejujur ‘Abdullah ibn Al-Mubarak yang walaupun sudah berbulan menjaga kebun delima, namun belum sekalipun mencicipinya? Ataukah telah berkali kita menikmati sesuatu yang bukan hak kita?
            Sobat, adakah kita setulus ‘Umar ibn Khathab yang kecintaannya pada Allah dan RasulNya melebihi kecintaannya kepada diri sendiri? Ataukah kita melakukan segala hanya untuk keselamatan dan kenikmatan diri kita sendiri?
            Sobat, adakah kita seteguh Ka’ab ibn Malik yang tak kilau oleh tawaran Raja Ghassan yang memintanya menjadi duta besar Kekaisaran Romawi Timur? Padahal saat itu di Madinah, di kota kelahirannya sendiri, ia sedang merasakan tersiksanya dikucilkan karena hukuman. Ataukah kita sering kali tunduk, memohon, bahkan menghamba, kepada seorang musyrik demi tahta dan kekuasaan?
            Sobat, adakah kita setegar Bunda Hajar? Yang karena imannya pada Allah, merelakan suaminya, Ibrahim, pergi meninggalkannya hanya berdua dengan bayi mereka yang masih merah, di lembah kosong tak berpenghuni, gersang, terik, liar. Ataukah kita akan menarik manja pasangan kita yang hendak pergi atas perintah Allah?
            Sobat, adakah kita malu kepada Nu’man ibn Qauqal? Yang walaupun dalam keterbatasan fisiknya yang cacat, yang pincang, tapi ia tetap mengikuti Perang Badar, dan menemui syahidnya dalam Perang Uhud. Ataukah kita yang dalam kesempurnaan fisik ini, masih saja mencari beribu alasan untuk menghindar pergi ke medan jihad?
Yang berlalu jelas tak dapat diulang kembali ‘tuk diperbaiki. Jangan buat sesal kini tersia tiada berarti. Mari istighfar, memohon Allah sudi ampuni diri. Lalu perbaiki diri ditiap bilangan hari :)

Sincerely,
Riana Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar