Kakiku
membawaku masuk ke sebuah rumah makan bergaya Eropa klasik di daerah Kemang. Selesai
dua jam tadi menghabiskan waktu di super market untuk membeli berbagai
kebutuhan rumah tangga bulanan, kini perutku berorasi untuk menuntut makan malam
yang telah telat dua jam dari seharusnya.
Seorang
pelayan restoran dengan dasi kupu-kupu di lehernya membukakan pintu dan
menyunggingkan senyum ramah sambil mengucapkan salam, “Selamat malam, Bu!”
“Malam!”
aku membalas senyumnya ramah.
“Untuk
berapa orang?”
“Satu.”
“Baik,
mari saya antar.”
“Terima
kasih.”
Aku
mengikuti langkahnya yang terarah ke sudut ruangan. Dia pun berhenti di sebuah
meja bundar mungil yang ditemani dua kursi, masih dengan aksen Eropa klasik, berwarna
putih gading dengan ukiran salur yang mendetail, cantik.
Dia
menarik salah satu kursi itu, mempersilahkanku untuk duduk di atasnya. Setelah
melihatku sudah nyaman dengan posisiku, dia mengeluarkan sebuah buku yang
berisikan gambar menu-menu makanan yang biasa disantap bule-bule di Eropa sana.
Aku pun menunjuk beberapa dari mereka. Lalu pelayan itu pergi dan berjanji akan
datang dalam beberapa menit lagi.
Aku
menatap bangku kosong di hadapku. Dua tahun lalu di atas bangku itu seorang
pria hampir saja membuatku mati duduk.
“Kali
ini aku saja yang pesankan, ya?”
Aku
meliriknya curiga. Aneh, tak seperti biasanya.
“Just
trust me, Rianti,” ia meyakinkan.
Aku
luluh.
Tak
berapa lama, para pelayan membawakan semua yang ia pesan. Tapi tak berapa lama
lagi, beberapa orang kembali menghampiri meja kami. Kali ini bukan pelayan,
karena mereka tidak membawa piring atau gelas, mereka membawa alat-alat musik
dari mulai gitar, biola, saksofon, hingga pianika.
Aku
menatapnya dengan keheranan penuh.
“Surprise kecil,” ungkapnya manis.
Lalu
mengalunlah lagu Bukan Cinta Biasa milik Afgan mengiringi makan malam romantis
kami.
“Pasta
ini akan lebih enak lagi kalau ditambah pepper.
Ada di kotak bumbu samping tangan kanan kamu itu,” sarannya sambil menunjuk
kotak yang ia maksud.
Aku
pun menurut, ku buka tutup kotak bumbu itu. Tapi bukan pepper yang ku dapat, malah
sebuah cincin berkilau yang bermatakan batu berwarna hijau zamrud.
Aku
menutup mulutku yang terbuka–saking kagetnya–dengan kedua tanganku.
Ia
malah tertawa kecil melihat sikap spontanku, “Kaget ya? Ini surprise besarnya,”
Ia
membenarkan posisi duduknya yang tak salah, lalu menatapku serius, “Rianti, will you marry me?”
Aku
tercengang. Tak menyangka ia akan menanyakannya secepat ini. Walaupun aku telah
mengenalnya semenjak SMA dulu, tapi kami baru saja dekat enam bulan terkhir
ini.
Aku
mencoba tenangkan diri, mengatur nafasku yang tak teratur, meredam jantungku
yang berdetak terlalu keras dan kencang–kurasa ia pun dapat mendengarnya. Aku
memejamkan mata, menengok ke dalam dasar kalbuku, adakah namanya di sana?
“I will,” jawabku tanpa keraguan
akhirnya.
“Pesanannya,
Bu,” suara pelayan itu memecah lamunan tentang memori terindahku.
Selesai
memindahkan segala yang ada di atas nampannya ke meja di hadapanku, ia kembali
berlalu. Kemudian sendok demi sendok, aku memindahkan makanan yang ada di
hadapku itu ke dalam perutku yang kosong.
Sambil
mengunyah, aku layangkan pandanganku ke sekeliling. Aku senang memperhatikan
lingkungan di mana tempatku berada. Orang-orang dan aktifitasnya. Karena
seringkali dapat menjadi ide untuk bahan tulisanku. Maklumlah.. penulis. Kapanpun
di manapun, yang dicari adalah sang ide.
Secara
serampangan mataku mencari objek yang akan aku amati. Dia terhenti di sepasang
manusia yang sepertinya sedang dilanda virus cinta. Mata mereka berbinar ketika
menatap satu sama lainnya. Ah.. aku jadi iri dengan mereka. Sudah lama sekali
aku tidak mendapatkan tatapan mata seperti itu.
Aku
terus mengamati mereka. Beberapa orang menghampiri meja mereka lalu melantunkan
sebuah lagu, Bukan Cinta Biasa. Memberikan atmosfer romantisme yang tebal mambalut
suasana makan malam mereka. Begitu bahagianya kedua sejoli itu. Ah.. ini
seperti de javu bagiku. Sayangnya,
wanita beruntung itu bukan aku.
Aku
mengeluarkan telepon genggam dari tasku. Lalu membuka pesan singkat yang telah
cukup lama menghuni kotak masukku. Kubaca lagi pesan itu sebentar, walaupun
sebenarnya aku sudah hafal isinya karena hampir setiap malam sebelum tidur aku
membacanya.
Kutekan
menu reply, lalu mulai mengetik, ‘Baiklah, aku akan menandatangani surat
perceraian kita. Sepertinya kamu telah memiliki pengganti yang lebih baik
dariku,’ Send.
Aku
kemudian berdiri meninggalkan mejaku dengan dua lembar uang seratus ribuan. Aku
berjalan santai melewati dua sejoli itu sambil mengulaskan senyum terbaikku. Sang
wanita membalas senyum perkenalanku ramah. Namun, sang pria yang sedang sibuk
membaca pesan singkat di telepon genggamnya, pasi.
By: Riana Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar