13 November 2016, adalah hari yang dinanti
oleh saya daaaan... dia. Iya, diaaa. Setelah mengatur jadwal lebih dari satu
bulan sebelumnya, akhirnya ketemu juga tanggal yang pas untuk kita nanjak bareng.
Misi kita adalah foto di puncak gunung dengan view keren macam di bawah ini, biar
bisa ganti foto profil whatsapp
dan update di medsos. Hag hag hag.
Besoknya, langsung ganti foto prosil whatsapp pake foto ini :D (Me and Wulan) |
Karena saya dan dia (wulan) adalah wanita yang
perlu dimengerti, emaap, perlu dijaga maksudnya. Maka kami mengajak tiga pejantan
tangguh untuk jadiii... teman perjalan kami :P
Here they are! (Kang Cipto, Kang Ari, and Kang Rendy) |
Janjiannya sih, ketemu di meepo jam 7.00 tapi
kenyataannya, jam segitu saya masih dandan di rumah, haha. Setelah nitip motor
dulu di kostan Kang Ari, kemudian sarapan opor ayam Pak Mudji yang enak itu
(endors, soalnya saya dapet voucher makan gratis sesuka hati) dulu di ruko
Wulan, kita otw dari Karawang sekitar jam 9an. Ketemu Kang Rendy dan Kang Cipto
di meepo Cikopo, kemudian langsung cuuusss ke gunung Parang yang terletak di
Kabupaten Purwakarta.
Setelah mendaftarkan diri ke pos jaga dan
membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000/orang, kami langsung memulai penanjakan sekitar
pukul setengah 12. Di awal banget, kamu akan melewati jalan tanah setapak yang
tidak terlalu curam hingga ke pos 1. Dari start point ke pos 1 tidak terlalu
jauh, tapi nafas saya sudah putus-putus kayak signal handphone di gunung. Duh,
kerasa banget deh efek badan yang nggak pernah olah raga terus langsung diajak
nanjak ke gunung. Dari pos 1 jalan sudah mulai menanjak, gerimis pun, jalannya
jadi licin, harus ekstra hati-hati. Saya udah mulai kepayahan, lima langkah
nanjak, diem, lima langkah nanjak, duduk, langkah udah berat, nafas apalagi.
Akhirnya Kang Cipto ngambil patahan kayu,
“Nih, pegangan ke sini”. Saya megang ujung satunya dan dia megang ujung satunya
lagi. Terus dia jalan di depan sambil narik kayu itu, narik saya sih sebenernya, hahaha. Kita
sering berhenti di beberapa titik. Sebenernya kewalahan juga mengimbangi
langkah Kang Cipto yang cepet banget (menurut versi saya), seringkali sambil
engap-engapan saya bilang “Wait” “Tunggu” “Berhenti dulu” “Tunggu yang
belakang”, padahal itu alesan aja dikala saya udah kepayahan, hehehe.
Di antara pos 1 dan pos 2, atau di antara pos
2 dan 3, saya lupa tepatnya, ada sebuah rumah pohon yang di atasnya kita bisa
melihat view gunung-gunung sekitar. Tapi saya tidak naik ke atas karena sudah
kehabisan tenaga. Padahal tempat itu bisa dijadikan backgruond yang keren untuk
foto-foto ketjeh.
Sebenernya sih, di sepanjang perjalanan juga
banyak spot-spot yang bagus untuk foto, tanjakan- tanjakan curam dan pepohonan membentuk terowongan yang menjadi background foto kami ini misalnya.
Sekitar jam 1, kami sampai di pos 3 dan
langsung membuka bekal yang sudah dengan rempong Wulan siapkan. Menu makan
siang kami adalah telor dan tahu balado, plus sayur kacang panjang. Yummyyy...!!
Makan ngariung di saung pas lagi laper-lapernya ituuu.. Alhamdulillah banget :D
Oh iya, di pos 3 ini, selain ada saung, ada
juga ayunan yang terbuat dari akar pohon, jadi nggak usah pakai hammock lagi.
Ada juga rumah panggung yang kita manfaatkan untuk shalat dzuhur. Tapi
hati-hati ya, jalan ke rumah panggung itu lewat batang-batang kayu sebagai
jembatannya. Dan karena habis hujan, jadi tambah licin. Saya yang nyalinya ciut,
nggak berani juga ke rumah panggung itu. Padahal bagus juga buat foto,
huhuhuhu.
Ayunan akar |
Rumah panggung like a flying house |
Entah jam berapa kita melanjutkan perjalanan
lagi, saya tidak begitu memerhatikannya. Di tengah perjalanan, kami bertemu
rombongan yang turun. Padahal belum lama kami berpapasan dengan mereka di pos
3.
“Sudah sampai puncak, teh?”
“Belum, turun lagi. Hujan di atas. Anginnya
juga gede. Jadi kami turun lagi.”
Eng... ing... eng... bad news buat kami.
Karena emang cuaca juga lagi nggak bagus. Gerimis terkadang menyertai
perjalanan kami. Langit sudah mendung gelap. Tapi kami belum mau menyerah. Kami
putuskan untuk tetap lanjutkan perjalanan, setidaknya sampai puncak bayangan.
All member di puncak bayangan |
Sekitar jam setengah 3 kami sampai di puncak
bayangan. Setelah berfoto-foto sebentar, kami memutuskan untuk mencoba
melanjutkan perjalanan ke puncak yang sesungguhnya. Tracknya menurun dengan
jurang-jurang di sampingnya, lalu tanjakan curam menuju puncak. Honestly, saya
tidak yakin bisa ke puncak, tapi karena dibersamai oleh teman-teman yang pasti
akan membantu saya, saya akhirnya meng-iya-kan juga keputusan untuk lanjut
jalan ke puncak.
Tapi, baru beberapa meter kita berjalan, cuaca
semakin memburuk. Langit sudah gelap siap menumpahkan air hujan, petir-petir
dan kilat semakin kerap, kabut semakin pekat. So, dengan berat hati, kami
kembali lagi ke puncak bayangan.
Gagal muncak, bukan berarti kami harus
bermuram durja. Kang Ari yang membawa lay back langsung mensettingnya. Saya
yang membawa bekal dessert langsung mengeluarkannya; puding cokelat dan
strawberry. Dalam sekejap, suasana menjadi cerah kembali. Meskipun cuaca
semakin menjadi, hujan semakin deras mengguyuri tempat kami. Untungnya, di puncak
bayangan ini ada bivak untuk tempat pendaki berteduh.
Dessert time!! :D |
Dari sisi positivenya, cuaca yang demikian membuat pemandangan Gunung Parang semakin mempesona. Kabut yang turun menutupi
gunung, membuat pemandangan di sini mirip dengan hutan mati di gunung
papandayan. Eksotis!
Selain itu, kami juga bisa meminimalisir konsumsi
air minum. Padahal sebelumnya kami sudah khawatir karena persediaan air yang kami bawa sudah hampir habis dipakai untuk pendakian. Saya kira, kondisi
Gunung Parang ini tidak jauh dari Gunung Lembu; di pos dan puncak akan ada
beberapa warung yang berjualan air dan makanan. Makanya saya hanya membawa satu
botol kecil air mineral (padahal selama pendakian saya menghabiskan tidak
kurang dari 3 botol air). Tapi ternyata,
di sini sama sekali tidak ada warung, kecuali di pos awal pendakian. Jadi, saran saya bagi yang ingin nanjak ke sini, siapkan bekal minum yang cukup ya.
Jam setengah 4 kami memutuskan untuk turun,
meski hujan masih belum berhenti turun. Kami harus bersegera karena di antara
kami tidak ada yang membawa alat penerangan, sementara matahari sudah mau
terbenam. Bismillah... kami memulai menuruni bebatuan dan tanah licin yang
curam. Tapi saya yakin…
“Tuhan
bersama para petualang di tebing-tebing tinggi, di puncak-puncak gunung sunyi
dan dilebatnya belantara sepi.”
(Bara -
Febrialdi R.)
Beberapa kali, semua bergantian terjatuh, dan
yang memegang rekor paling sering adalah... saya! Hag hag hag. Saya tiga atau
empat kali terjatuh, selain medan yang memang sangat licin, kaki saya juga sudah mulai lemas dan sulit untuk menahan beban tubuh saya yang tidak bisa dibilang langsing
ini :P
Saya kembali “dituntun” oleh Kang Cipto. Di
belakang saya ada Kang rendy yang pada waktu waktu tertentu bisa di “calling” sama
Wulan untuk membantunya. Di barisan sapu bersih ada Kang Ari. Bagi saya, Wulan,
Kang Rendy dan Kang Ari, ini bukan perjalanan bersama kita yang pertama.
Sebelumnya, kita juga pernah ke Curug Lalay bersama rombongan Backpacker
Karawang. Baca catatan perjalanan kami ke Curug Lalay di sini.
Sementara, untuk Kang Cipto, ini perjalanan pertamanya bersama kami.
Saya, Wulan, dan Kang Ari, baru mengenal Kang Cipto kali ini. Dia adalah teman
satu kerjaan Kang Rendy. Tapi walaupun baru kenal, sumvah deh nih orang baik
banget. Bayangin aja hampir 4/5 perjalanan dia narik-narik saya. "Nuntun" saya
yang payah. Yang kalo liat tanjakan curam di depan mata, langsung berhenti,
terus bilang “Ini gimana cara naiknyaaaa??!!” Sementara dia yang katanya baru
pertama kali ini naik gunung, jalan di depan untuk memastikan jalur yang akan kami lewati aman, sebentar sebentar “awas ya, hati-hati di sini licin banget”, “jangan lewatin tanah
ini”, “napak ke akar ini, ya”, “jangan nginjek batu itu”, “posisi kakinya kayak
gini, ya”. Pokoknya nice to meet you, Kang! Jangan kapok ya nanjak bareng kita lagi.
“Perjalanan mengajarkan
bahwa orang baik itu (tidak) sedikit”
(Bara -
Febrialdi R.)
Finally, Alhamdulillah, sekitar jam 5 kurang kami
sudah sampai pos awal pendakian. Lumayan cepat, kerena kami tidak banyak
beristirahat. Sesampainya, kami langsung bersih-bersih dan bergantian shalat
ashar. Jam setengah 6 kami pulang, setelah sebelumnya janjian untuk berhenti
dulu di tempat makan bakso. Badan yang sedari tadi diguyur hujan membuat perut
kami mulai keroncongan lagi.
Di perjalanan pulang, Kang Ari yang
menyaksikan bagaimana payahnya saya “berperang” menuju puncak Gunung Parang mengajukan
satu pertanyaan.
“Nggak kapok teh, nanjak?”
“Hahaha. Nggak. Seruuu!”
“Nanti ikut lah ke Lawu!” (9-11 Desember mendatang Backpacker Karawang
akan mengadakan trip ke Gunung Lawu dan city tour Solo, info lebih lanjut cek facebook dan instagram
Backpacker Karawang yaa!)
“Nggak dulu, deh. Gunung Parang yang cuma
900-an (mdpl) aja kepayahan kayak tadi, apalagi Lawu. Maunya ke yang
landai-landai dulu aja, kayak Prau sama Papandayan. Kalo di awal udah langsung
yang hampir 3000-an (mdpl) takut nyusahin banyak orang dan malah kapok nggak
mau nanjak lagi.”
Ah, semogaaa, tahun depan bisa nanjak lagi, ke
Prau, Papandayan, dan Bromo. Aamiin.. Sementara belum bisa nanjak gunung-gunung
nan gagah menjulang tinggi itu, sekarang saya lagi seneng baca buku-buku pendakian,
macam Bara karya Febrialdi R (@edelweisbasah) dan Pejalan Anarki karya Jazuli
Imam. Nantikan resensi bukunya
yaaa!!
Sincerely,
Riana Yahya