Tak bisa
dipungkiri, sosok Bachruddin Jusuf Habibie adalah salah satu sosok inspirator
bagi anak negeri. Kecintaannya kepada Indonesia terwujud dalam pemikirannya
untuk membangun negeri gemah ripah ini. Tak akan habis diskusi untuk
membicarakan bapak bangsa satu ini. Paduan kecerdasannya yang melangit dan
kepribadiannya yang membumi membuat banyak orang terpesona pada Eyang, begitulah
kini ia banyak dipanggil orang.
Minggu, 7
Agustus 2016 lalu, saya dan tiga orang kawan dari FLP Karawang berkesempatan
menghadiri acara bincang buku Habibie The
Series dan diskusi publik bertajuk “Menggali Inspirasi dari 80 tahun
Habibie”. Acara tersebut merupakan salah satu acara dari rangkaian kegiatan
Pameran foto Habibie dan gebyar aneka lomba yang diselenggarakan berbagai
komunitas yang tergabung dalam Friends of
Museum. Pameran ini dibuka untuk umum mulai 24 Juli 2016 hingga 21 Agustus
2016 di Museum Bank Mandiri, Kota Tua – Jakarta Barat.
Bertempat di Aula besar Museum Bank Mandiri, diskusi
sesi satu bertema “Kunci Sukses Eyang Bangsa; Mengulik Kepribadian Eyang
Habibie dalam Meraih Sukses” dimulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB dengan Mas Bo’im
Lebon (Penulis serial Lupus dan pegiat FLP Jakarta) sebagai moderator acara. Hadir
sebagai pembicara adalah Bapak Andi M. Makka, mantan Pemred Harian Republika
yang kini aktif dalam Tim Habibie Center, dan Bapak Sutanto Sastraredja, Dosen
UNS Solo yang juga menjadi bagian dalam tim penulis buku Habibie The Series.
Mas Bo’im Lebon (kiri), Pak Andi M. Makka (tengah) dan Pak
Sutanto Sastraredja (kanan)
|
Pak Andi
sebagai pembicara pertama menuturkan bahwa buku Habibie The Series ini bukanlah buku perdana yang ia tulis tentang
Habibie. “Saya menulis untuk Pak Habibie sejak beliau berumur 50 tahun,”
ingatnya. Buku setebal 600-an halaman itu diberi judul Setengah Abad Prof.DR.B.J.Habibie. “Pak Habibie tidak tahu kalau
saya menulis buku itu, hingga pada hari ulang tahunnya saya secara diam-diam
menyerahkan buku itu pada beliau sebagai surprise,”
ceritanya lagi.
Selanjutnya,
setiap satu dasawarsa Pak Andi berusaha untuk tidak absen menulis kisah tentang
Habibie. Naas, di ulang tahun Pak Habibie ke 80 ini, beliau baru ingat kalau
Pak Habibie akan berulang tahun pada H-2 bulan. Semua tahu bahwa waktu 2 bulan
adalah waktu yang amat sangat singkat untuk melahirkan sebuah buku. Sulit untuk
merealisasikannya jika dikerjakan seorang diri. Hingga bertemu-jodohlah Pak
Andi dengan tim penulis Tiga Serangkai
dan lahirlah buku Habibie The Series.
Buku Habibie The Series yang terdiri dari 8
seri itu resmi diluncurkan di kediaman Pak Habibie di bilangan Patra, Kuningan
pada tanggal 23 Juni 2016 lalu. Dua hari sebelum ulang tahun Pak Habibie ke- 80
tahun yang jatuh pada 25 Juli. Seri pertama yang berjudul Jangan berhenti (Jadi) Habibie menceritakan bakti seorang Habibie
pada negeri tercintanya. Seri kedua Habibie:
Jejak Sang Penanda Kebangkitan menceritakan kebangkitan Habibie di
Indonesia setelah pulang dari perantauan di Jerman. Di seri ketiga Habibie: Karya Nyata untuk Indonesia dan
keempat Habibie: Totalitas Sang Teknosof,
Eyang Habibie ikut andil membagikan kisah inspiratifnya secara langsung kepada
pembaca.
Pada seri
kelima, Habibie: Musik, Film, dan
Kegemaran berisi sisi personal mantan Presiden RI ke-3 ini. Siapa sangka
bahwa Eyang dan istrinya Bu Ainun adalah salah dua penggemar sinetron Cinta
Fitri? Saking tidak ingin melewatkannya, jika Eyang ada kunjungan ke luar
negeri, Pak Manoj Punjabi (produser sinetron tersebut) akan menyerahkan copyan file
episode selanjutnya yang bahkan belum tayang di televisi. Seri keenam, Habibie: Makna di Balik Lensa berisikan
foto hasil bidikan Pak Habibie. Pak Andi sempat bercerita bahwa Eyang sangat
suka memoto awan saat beliau sedang berada di pesawat. Dalam seri ketujuh, Ainun: Mata Cinta Habibie berisikan foto
dan kisah-kisah tentang wanita yang sangat dicintai Pak Habibie, siapa lagi
kalau bukan istrinya yang setia menemani Eyang hingga habis masa hidupnya di
dunia. Kemudian, seri kedelapan dan juga terakhir, Habibie dalam Komik, Puisi, dan Surat adalah wujud apresiasi
masyarakat luas kepada sosok Habibie yang banyak menginspirasi mereka.
Sementara, memulai
penuturannya, Pak Sutanto, pembicara kedua dalam diskusi tersebut membacakan
sedikit tulisannya yang tertera dalam buku Habibie
The Series seri pertama. “Habibie adalah sebuah fungsi (Habibie is a function) yang mungkin
gagal dipahami saat ini, tapi tidak nanti.”
“Dulu,”
tambah Pak Sutanto ingin menjelaskan arti kalimat yang baru saja ia bacakan, “waktu
Pak Habibie turun dari jabatannya sebagai Presiden, keluar dari gedung DPR
dengan tidak diterima leporan pertanggungjawabannya, saya masih kecil, masih
belum bisa apa-apa selain shalat dan berdo’a sambil menangis.” Memang, sewaktu
menjabat sebagai Presiden RI banyak yang meragukan kemampuan teknokrat jenius
satu ini. Untuk membuat sebuah pesawat mungkin Habibie bisa, tapi untuk
memimpin sebuah negara?
“Padahal,”
lanjut Pak Sutanto, “selama masa jabatannya yang hanya 512 hari itu, Pak
Habibie sudah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 12,5%.”
Kemudian lulusan S3 Matematika Terapan Universite Bordeaux 1 France itu
menjabarkan Rule of Seventy.
“Waktu yang
dibutuhkan sebuah pemimpin untuk memakmurkan sebuah negeri, mengubah sebuah
negara tertinggal menjadi negara berkembang, atau mengubah sebuah negara
berkembang menjadi negara maju dapat dirumuskan dengan Rule of Seventy ini, 70 / (%pertumbuhan ekonomi). Jadi misalkan
pertumbuhan ekonomi negara X adalah 7%, maka dibutuhkan waktu 10 tahun (hasil
dari 70/7=10) untuk mengubah negara X tersebut. Nah, ini Pak Habibie mencapai
12,5%, hanya dibutuhkan 5,6 tahun (hasil dari 70/12,5=5,6) untuk mengubah
Indonesia. ” Terlihat sekali ekspresi greget
dari penggemar Habibie satu ini ketika menyampaikan penjelasannya. Terlihat
sekali kekecewaan, Ah, kenapa Pak Habibie
harus turun pada saat itu, coba lanjut satu periode lagi. Sudah menjadi
rahasia umum mungkin, bahwa kemampuan Pak Habibie lebih dihargai di negara luar
dari pada negerinya sendiri pada waktu itu.
Tidak banyak
memang yang paham akan pemikiran Pak Habibie pada masa itu. Di saat ekonomi
negara kita masih tiarap, infrastruktur masih sangat minim, pria yang pernah
menjabat sebagai Menristek ini muncul dengan proyek pembuatan pesawat terbang. Beliau
yang sudah sangat visioner pada masa itu, mungkin masih sangat sulit dipahami
ide melangitnya. Bahwa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini sangat
butuh moda transportas cepat macam pesawat untuk menunjang kegiatan-kegiatan
baik ekonomi, sosial-budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Kita bisa saja
membeli pesawat buatan negara lain seperti yang kita lakukan saat ini, tapi
coba bayangkan jika.... Jika saja proyek pesawat N250 dan IPTN berlanjut, kita
bisa memproduksi pesawat secara massal, tidak perlu bergantung kepada negara
lain, bahkan kita dapat menjualnya ke negara-negara lain, menjadikannya sebagai
industri strategis bagi Indonesia. Aaaah.. mungkin kita tidak akan punya hutang
luar negeri yang menumpuk seperti sekarang ini, hehehe.
Ya,
pemikiran Habibie memang banyak digagal-pahami dulu. Berapa banyak hujatan dan
pandangan sebelah mata untuk eyang romantis satu ini? Tapi itu dulu. Kini,
berapa banyak apresiasi dan kekaguman yang ditujukan untuk beliau? Berapa
banyak anak muda yang terinspirasi oleh visi besarnya, karya nyatanya, bahkan
tulus nuraninya?
Sincerely,
Riana Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar