Jum’at sore itu saya diminta menemani Teh Lina untuk
membantu teman-teman Aku Berdonasi Karawang mengangkut buku-buku dan alat tulis
untuk di donasikan. Terget penerimanya adalah anak-anak di sebuah perkampungan
yang belum dialiri listrik, padahal lokasinya tepat di belakang kawasan
industri besar di Karawang. Sebenarnya ini adalah acara penutupan dari
serangkaian kegiatan yang sudah dilakukan sejak senin tanggal 6 Juli lalu oleh
teman-teman KAMMI Karawang. Pesantren Ramadhan, mereka mengajarkan anak-anak
untuk menghafal Al-Qur’an dari ba’da ashar hingga ba’da maghrib di sebuah
sekolah yang kosong ketika sore. Ada dua bangunan yang masing-masingnya terdiri
dari dua ruang kelas. Yang satu untuk sekolah dasar, dan yang lain untuk
madrasah ibtidaiyah. Di seberangnya ada sebuah masjid, atau mushola kah, karena
bangunannya tidak terlalu besar. Untuk berwudhu, sumber air yang tersedia
adalah sumur gerek, jadi harus menimba dulu. Alhamdulillah, kalau akhwat
tinggal pakai saja, karena pekerjaan para ikhwan untuk memenuhi bak tempat
wudhu :))
Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya saya
mengunjungi kampung yang belum ada listriknya. Beberapa kali survey lapangan
saat studio, di Sleman, Purwakarta, dan Bekasi, semua tempat-tempat yang saya
singgahi semuanya sudah teraliri listrik. Bahkan, di sebuah kampung terpencil
yang untuk mencapainya harus menempuh jarak dua jam perjalanan naik perahu dari
di Jatiluhur, disana pun sudah teraliri listrik. Masa iya, ini di tempat yang
tidak jauh dari Pusat Kota Karawang, belum ada listrik, kemana saja
pemerintahnya? Pun tepat di belakang Kawasan Industri KIIC, yang didalamnya
puluhan pabrik-pabrik besar dengan mesin canggih beroperasi, kemana saja dana
CSR-nya? “Tidak masuk di akal!”, pikir saya.
Dari cerita teman, itu merupakan perkampungan
illegal yang sudah berdiri sejak lama. Tanah yang di atasnya sudah berdiri
lumayan banyak rumah penduduk itu miliki Perhutani. Karenanya, meski hidup
tanpa sarana prasarana paling dasar yang seharusnya disediakan oleh pemerintah
–seperti listrik– mereka terima saja tanpa bisa menuntut. Setelah mendengar
cerita tersebut, saya baru bisa connect, “Oh... pantes!”
Bisa dibilang, ini adalah strategi pemerintah untuk
mengendalikan pembangunan disana. Istilahnya biasa dibilang disinsentif.
Disinsentif ini dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
peraturan tata ruang berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah. Jadi, setiap
wilayah Kota/Kabupaten pasti punya peraturan tata ruang yang disebut Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam RTRW tersebut diatur pemanfaatan ruang setiap
daerah, kecamatan ini untuk permukiman, kecamatan ini untuk perdagangan,
kecamatan ini untuk industri, kecamatan ini kawasan lindung yang nggak boleh
dibangun, dan sebagainya. Dan kemungkinan besar, jika tanah di daerah tersebut
milik Perhutani maka peruntukan ruangnya bukan untuk permukiman.
Tapi kan udah terlanjur banyak rumah-rumah penduduk
di sana? Nah, maka dari itu supaya nggak nambah banyak lagi, salah satu caranya
adalah dengan tidak mengaliri listrik ke
daerah tersebut. Mudahnya sih, disinsentif itu bikin keadaan sesusah-susahnya
supaya nggak ada orang yang bakal ngebangun di situ. Tega nggak tega sih
sebenernya. Tapi nanti kalau di sana dialiri listrik, makin banyak orang bangun
rumah di sana, terus tiba-tiba tanahnya mau di pake sama perhutani selaku pemiliknya
yang sah, gimana? Pasti ujung-ujungnya penggusuran dan masyarakat nggak bisa
nuntut apa-apa karena mereka nggak punya hak apa-apa.
Sebenernya nggak bisa nyalahin sepenuhnya ke masyarakat juga sih, karena mereka juga
tinggal di sana karena terhimpit keadaan. Kalo mereka punya uang untuk beli
tanah yang legal, ngapain sih mereka ngambil resiko gede untuk ngebangun rumah
di tanah illegal yang sewaktu-waktu bisa digusur? Well, ini PR besar sih buat
pemerintahan kita, di daerah maupun pusat. Pas kemarin saya masuk kawasan
industri KIIC itu, yang pertama ada di pikiran saya, “Kawasan segede ini
mungkin bisa nyerap semua tenaga kerja produktif usia 20-35 tahun di Karawang,
terus kenapa masih banyak pengangguran di Karawang?” Karawang kasusnya nggak
jauh kok dari Bekasi. Pekerjanya kebanyakan pendatang dari pada pribumi. Mau
nyalahin pabrik? Eits, nanti dulu. Mereka juga menerima pekerja berdasarkan
kompetensinya. Waktunya masyarakat Karawang naikin kompetensi nih, dengan
sektor ekonomi utama yang mulai beralih dari pertanian ke industri, ada baiknya
pendidikan lebih ditekankan di SMK teknik yang pas lulus udah siap pakai sama
pabrik. Pola pikirnya juga harus mulai diubah, jangan puas dengan ijazah SD
atau SMP yang ujungnya bakal dikirim jadi TKI. Tanpa memandang rendah para TKI
yang berjuang di luar, saya rasa jadi TKI itu banyak mudharatnya, terutama bagi
perempuan yang sudah berkeluarga. Mungkin bisa dihitung berapa keluarga yang
masih utuh ketika sang istri balik ke kampung. Bu, suami yang ibu tinggalin di
rumah itu laki-laki kan, bukan malaikat?
Hwaaa... Jadi ngelantur kemana-mana, kan. Mungkin
karena udah terbiasa diajar untuk berpikir kayak gitu. Buat para perencana,
sudut pandang itu nggak boleh cuma dari satu sisi, harus menyeluruh. Pun dicari
akar masalahnya, yang biasanya mentok di ekonomi, pendidikan, dan kelembagaan.
Untuk dua poin pertama, ekonomi dan pendidikan, saya optimis Indonesia pasti
bisa lebih baik. Tapi untuk poin terakhir –yang sebenernya menjadi gantungan
dua poin pertama– kalo dipikirin ujung-ujungnya saya selalu berdo’a untuk punya
suami dari Eropa terus dibawa ke negaranya, hahaha XD
Last, do’a saya, semoga... suatu hari Indonesia Raya
menjadi Jaya!
11/07/15
Regards,
Riana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar