Buku itu kayak makanan, film, atau musim. Selera
tiap orang bisa beda-beda (di bold, underline, italic). Makanya, saya
hanya sekali duakali me-review atau me-resensi buku, itu pun karena dikasih
tugas sama guru Bahasa Indonesia. Kalau boleh milih, saya mending di suruh
ngerjain soal matematika, deh. Bikin resensi buku itu susah banget pake kuadrat
(bagi saya)!
Karena susah banget pake kuadrat, di catatan kali ini saya bukan
bermaksud me-review, hanya ingin bercerita dan berpendapat mengenai tiga buku
yang semingguan ini saya baca.
Buku pertama, Cado Cado 3; Susahnya Jadi Dokter Muda. Cado
Cado ini singkatan dari Catatan Dodol Calon Dokter. Kayak judulnya, buku ini
bercerita mengenai kisah ko-ass dodol. Sejujurnya sih, buku humor ini kurang
berhasil bikin saya ngakak. Beberapa kali ketawa sih pas baca, atau
senyum-senyum, tapi kurang berasa ggrrrrr-nya. Sebenernya adegannya lucu, tapi eksekusi
penyampaiannya kurang gimanaaa gitu. Saya udah kayak komentator stand-up comedy
belom?
Tapi anehnya, pas chapter ending, nih buku malah berhasil
bikin saya nangis. Gegara si Vena yang sebenernya cuma tokoh sampingan di buku
ini. Vena yang manja tiba-tiba jadi anak tegar malah setelah kehilangan sosok
ayahnya karena kecelakaan pesawat. Si penulis, Dr.Ferdiriva Hamzah yang
ganteng, berhasil membangun suasana haru, apalagi pas Vena ngasih sambutan
wisuda. Atau bisa jadi saya aja yang cengeng saudara, bisa jadi.
Buku kedua, Ranu. Karya duet Ifa Avianty dan Azzura Dayana.
Saya yang penggemar mbak Ifa sudah sering membaca bukunya. Tapi saya belum
sempat membaca buku mbak Azzura. Seringnya hanya mendengar cerita dari teman- teman,
kalau buku-buku mbak Azzura kebanyakan mengambil tema tentang travelling,
backpacker khususnya. Nah, dari situ, sebenernya akan terasa perbedaan antara
tulisan mbak Ifa dan Mbak Azzura ketika baca novel satu ini. Kalo saya nggak
salah nebak nih, mbak Azzura banyak ambil bagian ketika para tokoh Ayuni dan
Dios berpetualang di Baduy dan Gunung Gede. Sementara, mbak Ifa banyak ambil bagian
di tokoh Ranu sang high-cost traveler dan Irene sang pimred majalah wanita
terkemuka di Indonesia. FYI, mbak Ifa sering bikin tokoh high-class di
novel-novelnya. Bahasa inggris berseliweran di mana-mana. Dan sering diselingi
lirik-lirik lagu inggris pada zaman saya belum lahir. Dan di novel ini, mbak
Ifa tidak melepaskan ciri khasnya itu.
Masuk ke konten, novel Ranu ini di cover depannya
bertuliskan Novel Islami. Tapi pas dibaca nggak islami banget kok, kalo
dibandingin sama novelnya Kang Abik. Anehnya, saya malah ngakak waktu baca
novel ini (dibandingin sama buku humor pertama yang saya baca). Dialog antar
tokohnya kocak abis. Contohnya, nih.
“Halo, Nyet, di mana lu?”
Nyat-nyet, nyat-nyet, dasar gorila!
“Gue di suatu tempat di mana tidak ada seekor gorila pun di sini.”
Sayangnya, ending-nya
nggak seperti yang saya pingin. Itu aja kelemahan novel ini. Koplak banget ya
alesan saya? Biarlah..
Buku ketiga novel karya Andrea Hirata, Ayah. Jujur, saya
bukan penggemar beliau. Pernah sih baca Laskar Pelangi, waktu SMA kalo nggak
salah. Tapi nggak terlalu membekas diingatan saya, mungkin memori saya aja yang
error. Jujur lagi, punteeeuuun pisannya, kepada seluruh penggemar berat Bang
Andrea, harap lihat ke awal tulisan ini, yang sengaja di bold, underline,
italic sama saya. Dari segi cerita, sebenernya biasa aja. Tapiiii... ini
tapinya banyak loh. Ini novel epik banget! Seringkali saya heran pas baca, kok
kepikiran yaa.. kata-kata kayak gini. Asli, pilihan kata-kata Bang Andrea,
mulai dari puisi, deskripsi, sampe dialog di novel ini, pecaaah!
Misalnya salah satu puisi romantis ini,
Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji
Atau dialog kocak ini,
“Mulai sekarang hapus semua nama perempuan itu!” Sabari ragu, Ukun geram.
“Hapus nama perempuan itu!” Ukun tak main-main.
“Akan kuhapus, Kun.”
“Tekadkan niatmu!”
“Aku bertekad, Kun.”
“Janji?!”
“Janji, Kun.”
Sabari tampak muak kepada dirinya sendiri, wajahnya penuh tekad. Dia ingin menyudahi dominasi Marlena dalam hidupnya.
“Buang puisi-puisi konyol itu!”
“Akan kubuang!”
“Hancurkan fotonya!”
“Akan kubumihanguskan!”
“Jangan biarkan seorang perempuan membuatmu terlena!”
Sabari terpaku.
“Apa katamu? Marlena...?”
*guling-guling saya
bacanya*
Setelah baca novelnya ini, nggak heran lah saya kenapa sampe
sebegitu banyaknya penghargaan untuk Bang Andrea. Karena kalo penulis lain yang
nulis nih cerita, mungkin akan jadi flat
dan boring (Inti ceritanya “Cuma”
lelaki yang cinta sampe mati sama perempuan yang jadi cinta pertamanya) Tapi
karena Bang Andrea yang nulis, dikemas
sedemikian rupa, jadilah novel apik yang epik ini. Saya satu suara sama
endorsement Thomas Keneally, “I am
fascinated by Andrea’s capacity to write, such a talanted young writer.”
Sincerely,
Riana.
28 Desember 2015.
Pukul 2 dini hari hingga subuh berkumandang
Di saat insomnia menyerang saya (lagi)