Perjalanan berlanjut ke destinasi yang paling saya buru. Yup, sekitar
jam 2an kita otw dari rumah Mbaknya Mas Hamdi ke basecamp Gunung Prau via
Dieng. Sebelumnya, kita nunggu Astri dan suaminya, Satria, temennya @mohparman
yang juga mau nanjak. Sekitar jam 3an kita mulai penanjakan, dengan membayar
simaksi Rp 10.000 saja perorangnya. Ini katanya adalah basecamp baru,
sebelumnya basecamp berada di pertigaan dekat tulisan tugu Dieng itu. Sebelum
sampai basecamp baru ini, kita harus berjalan sekitar 15 menitan dari basecamp lama. Di kiri, kalian akan disuguhkan view dataran tinggi Dieng yang bikin wisatawan jatuh hati. Di kanan, ada perkebunan warga yang menghasilkan sayuran seperti kentang, wortel, tomat,dan cabai.
Basecamp baru Gunung Prau via Dieng |
Selamat datang di Gunung Prau!! |
“Time flies when you’re in the
place you’re meant to be”, katanya. Atau ada yang bilang “Time flies when you’re have fun”. Dan
saya memiliki dua kondisi tersebut saat itu; sedang bahagia dan di tempat yang
saya inginkan. Kalau disuruh menceritakan detail perjalanan saat itu kembali,
saya malah bingung. Awalnya berniat, nanti inget-inget ada berapa pos, dari pos
ini ke pos berikutnya berapa lama, ada apa aja. Eh tapi pas di TKP, blank
semuaaaa, hahaha. Saya cuma mau nikmatin aja momen-momen saat itu, titik. Tanpa
mau mikirin yang lain. Toh blog yang nyeritain gimana kondisi penanjakan Prau
via Dieng ini udah banyak, kan? Hehehe.
Karena saya yang paling anak bawang di pendakian kali ini, maka saya
di tempatkan di barisan paling depan, biar yang lain bisa menyesuaikan ritme
jalan saya yang lambat. Udah cerita kan ya di tulisan pertama saya sebelumnya Formy first time... (Trip to Dieng, Wonosobo – Part 1) kalo trip kali ini adalah pengalaman pertama saya naik gunung yang ribuan mdpl.
Sebelumnya cuma Gunung Lembu dan Gunung Parang (ini pun ga nyampe puncak -___-“) di Purwakarta yang ketinggiannnya 900-an
mdpl. Sedangkan partners perjalanan saya yang lainnya sudah ada yang pernah ke
Rinjani, Merbabu, Gede. Yah aku mah apa atuh, cuma serbuk kopi yang kamu kangenin
di setiap pagi *Eeeeeh >,<
Dengan berjalan perlahan tapi pasti, jam 6 petang akhirnya kita sampai
di puncak. Tiga jam perjalanan ini katanya sih terhitung normal, ga
ngaret-ngaret banget. Alhamdulillah, Allahu akbar!! Yang penting itu semangat
genks, Sekar aja kuat nyusul El ke Rinjani di pendakian pertamanya. Etapi
persiapan juga perlu deng, soalnya pas nyampe sembalun Sekar langsung pingsan
karena ga ada persiapan sebelumnya (yang ga nyambung baca novel Pejalan Anarki
dulu ye :P). Tapi kita ga berlama-lama di puncak, cuma lewat, foto juga kagak,
karena udah mulai gelap dan gerimis mulai turun, kita langsung bergegas mencari
tempat untuk nge-camp. Setelah memilih lahan yang cukup datar untuk dua tanda,
dan cukup banyak pepohonan untuk menghindari terpaan angin langsung, akhirnya
ketiga cowok dengan sigap mendirikan tenda di pinggiran jalan, ga jauh dari
puncak.
Kita bawa 2 tenda yang dibikin saling berhadapan. Yang satu kapasitas
3/4 orang, dipake sama ciwi-ciwi, satunya lagi kapasitas 2/3 dipake sama
cowo-cowo. Jadi di tengah antara tenda kita ada space buat kita masak-masak, alasnya dari trash bag dan atapnya dari hammock
karena kita ga bawa flysheet. Kayak gini nih suasana kita pas masak-masak.
Hammocknya udah dilepas karena cerah dan tidak berangin |
Setelah beres masang tenda dan di-setting
sedemikian rupa agar senyaman mungkin, kita langsung keluarin kompor, nesting,
dan peralatan masak lainnya. Jangan tanya yang masak siapa, pastilah yang lebih
sering ke gunung, alias cowok-cowok. Hahaha. Meskipun cewek-cewek lebih sering
berkecimpung di dapur, tapi katanya seni masak di gunung tuh beda *alesaaan. Tapi
seriusan saya ga bisa masak nasi kalo ga pake magic jar, yakali ke gunung bawa begituan, mau nyolok listrik dimanaaa.
Selesai makan dan shalat di tenda, karena di luar gerimis, kita
rumpi-rumpi cantik di dalem tenda. @arstory sempet live IG malah, karena signal
di sini cukup bagus. Tumben ya ada signal di gunung? Kemungkinan sih karena ga
jauh dari sini ada menara pemancar signal. Tapi hati-hati ya genks, kalau ada
petir sebaiknya sih non aktifkan hp kalian, atau at least di ganti ke mode pesawat. Be save!
Nggak lama, @arstory yang keluar tenda untuk nerima voice call, teriak “Bagus loh ini city view di luar. Kalian yakin mau di
dalem aja?” Akhirnya, meski dengan gigil kedinginan, kita keluar dari tenda,
lengkap dengan jaket tebal masing-masing. Daaaan... Waaaah emang worth it banget! Sayang banget city view Dieng di malam hari ini kalau
dilewatin. Bintang-bintangnya jugaaa *mata lope lope. Asal kuat-kuat aja menahan
dingin hembusan anginnya. Bbrrrrr!!
City view and milky way in one
frame, taken by @mohparman
|
Write your name using a flaslight, made by @arstory |
Setelah puas menikmati langit malam, kita pun masuk lagi ke tenda, dan
masuk lagi ke sleeping bag. Sleeping time! Saya nggak begitu ingat
jam berapa, yang saya inget adalah nge-set
alarm di jam 04.00 WIB supaya bisa liat sunrise
di pucuk.
Gimana sensasi tidur pertama di tenda? Eh pernah sih dulu tidur di
tenda, terakhir pas SMP kalo ga salah, pas pelantikan ekstrakulikuler. Tapi
kalo di gunung, ini yang pertama kalinya. Alhamdulillah nyenyak-nyenyak aja. Mungkin
karena faktor kelelahan juga seharian nanjak Sikunir dan Prau. Meskipun
beberapa kali terbangun, karena posisi saya berada di tengah antara @mbaull dan
@dede.kurniawati dan saya cukup sensitif kalau ada suara atau sentuhan *eeehh.
Tapi tetep aja sih nunggu alarm bunyi itu perasaan lamaaa banget, kayak nunggu
dia dateng ngelamar. Eeaaaa... curhat neng :’))
Pada kenyataannya, meski udah direncanain mau ngeliat sunrise di puncak, tapi godaan
kehangatan sleeping bag sulit untuk ditaklukan,
ujian banget dah. Pas kedengeran adzan subuh dari hp, baru satu-satu mulai
bangun. Tayamum dan shalat subuh di tenda bergantian. Sebagian masak air untuk
bikin hot chocolate dan sereal. Setelah
persiapan mucuk beres, keluar tenda, dan jeng jeng... udah terang, matahari
udah keluar dari peraduannya, gagal maning liat sunrise. Minta banget dikunjungin lagi dah nih Sikunir sama Prau
-____-“
Tapi nikmati dan syukuri aja deh apa-apa yang sudah tertakdir untuk
kita. Pasti itu yang terbaik kok *tsaaah sok bijak. Perjalanan dari tempat camping kita ke puncak memakan waktu sekitar
setengah atau satu jam, saya lupa. But,
don’t worry, be happy! Selama perjalanan ini dijamin kamu ga akan ngerasain
capek, karena pemandangan yang disajikannya indaaaah pake bangeeet. Issshhh,
sulit deh dideskripsikan lewat kata-kata, keindahan sabana yang berpadu dengan
kecantikan ribuan bunga daisy yang sedang bermekaran. Langit, matahari, awan, embun,
bukit-bukit, pepohonan. Saya sih sangsi apakah iya ada orang yang nggak mau
balik lagi ke sini setelah ngeliat keindahan yang segininya? Manurut saya sih
nggak ada. Setelah dari sana aja saya langsung punya planning lagi buat ke sana. Tapi nanti, bawa suami sama anak,
hahahaha. Lama yeee!
The beauty way to the top, in frame: Kori |
Si Cantik Daisy <3 |
Sesampainya di puncak, makin bertambah lagi nikmat dan syukurnya.
Megah Sindoro - Sumbing, bahkan Merbabu – Merapi, terlihat jelas dari puncak
Prau ini. Sejauh mata memandang, keindahan bumi Allah terhampar megah. Maka,
nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang ingin kau dustakan? Mulailah muhasabah, betapa
kecil diri kita ini dari sekian agung ciptaan-Nya.
Who are we?
Just a speck of dust within the galaxy
-Maroon 5, Lost Stars-
Ritual-ritual setelah sampai puncak pun dimulai, apalagi kalau bukan
foto-foto, berkirim salam melalui tulisan untuk keluarga dan teman-teman
terdekat, and last but not least,
ngopi tjantik.
Tim keceeee <3
|
Tips: Bawa properti buat foto biar tambah hitz |
Hari mulai siang dan perut mulai lapar, kita pun kembali ke tenda.
Kali ini giliran ciwi-ciwi masak. Masak mie doang, hahaha. Sama goreng sosis
deng. Cingcay lah itu mah. Dalam sekejap makanan udah hilang tak berbekas. Kita
pun harus segera menghilang, eh pulang maksudnya. Harus turun dulu, lewat jalur
yang sama kayak pas nanjak. Karena kita nggak bisa teleportasi macam Goblin,
tinggal suruh dia yang di sana tiup lilin atau korek api terus langsung triiing
ngilang *part ini cuma pecinta drama korea yang bakal nyambung.
Gerimis mulai turun, untungnya kita sudah beres ngerubuhin
packing tenda dan carrier. Tadinya
gerimis, lama-lama mulai lebat, akhirnya semua ngeluarin jas hujan sekali pakai
yang udah kita siapin dari Karawang. Ini salah satu barang yang wajib dibawa
ketika travelling guys. Kalo nggak
hujan pun, ya beratnya paling 1 ons ini lah yaa, so nothing to lose.
Jalan turun lumayan licin ketika hujan begini, jadi harus ekstra
hati-hati dan fokus. Biarpun begitu, tetep aja saya ngerasain jatuh hati
di Gunung Prau. Ga papa lah, buat kenang-kenangan, sekali kepeleset di Prau.
Tapi hujan ini juga termasuk berkah buat tim kita. Karena persediaan air kita
udah minim banget, tinggal ¾ botol air mineral ukuran 600ml. Saya cukup
khawatir sebelumnya, karena pas nanjak saya yang paling banyak menghabiskan
air, mungkin sekitar 2-3 botol. Alhamdulillah hujan membuat kita nggak terlalu
haus dan persediaan air bisa cukup.
Jam 2 siang kami sudah sampai di basecamp
dan langsung melaporkan kedatangan kami. Perjalanan dilanjut ke warung makan
dekat basecamp lama. Saya memesan
makanan khas Dieng, mie ongklok. Bedanya dengan mie lainnya, mie ongklok ini
berkuah kental dan bening kaya papeda, sepertinya memang dicampur sagu. Rasanya gurih-gurih manis. Sebagai
temannya (side dish) disediakan sate,
ada sate sapi dan sate ayam. Ada juga minuman
khasnya, purwaceng, @arstory yang memesan ini. Minuman ini berasa kaya jamu;
hangat, manis, pahit. Katanya sih emang jamu yang diramu dari berbagai jenis
tumbuhan, untuk meningkatkan vitalitas kaum adam.
Penampakan Mie Ongklok |
Sebenarnya, dijadwal awal kita, setelah selesai pandakian Prau ini,
selesai juga lah trip kita di Dieng.
Tapi karena faktor cuaca yang tidak bersahabat di hari pertama, dan menyebabkan
kita harus me-re-schedule rundown,
banyak obyek wisata yang belum sempat kita kunjungi. Akhirnya, setelah
mempertimbangkan dan meminta izin kepada keluarga di rumah, kami memutuskan
untuk memperpanjang masa liburan kami di Dieng.
Liburan belum berakhir! It
means... masih ada part 4 nya, brow. Hahaha. Kalah dah tuh Cinta Fitri.
Atau mungkin juga bakal sampe part 6 kaya Tersanjung :D
Sincerely,
@riana_yah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar