Tapi
sialnya, kebanyakan teman seperjalanan saya sudah pernah ke sana. So, mereka
kurang tertarik pas saya ajak lagi buat nanjak ke gunung yang puncaknya berada
di ketinggian 3142 mdpl itu. Ppffttt... Apalah daya saya. Mau ikut open trip
juga belum berani karena banyak alasan; susah dapet izin dari Mamah kalo pergi
sama orang-orang yang belum dikenal, bukan pribadi yang supel di awal
pertemuan, takut nyusahin orang asing dipertemuan pertama (mending juga kalo
ada yang mau disusahin -,-“).
Libur
panjang pun tiba, saya dapet jatah libur sekitar 2 minggu dari kantor. Lebih
lama dari kebanyakan pekerja yang masuk di hari senin (3/7), saya masuk kerja
mulai kamis (6/7) lumayan bulukan kalo nggak di pake ngetrip kan yaaa. Meskipun
di H+1 udah mantai dan snorkling-snorkling manja di Pulau Harapan bersama
keluarga, pun sabtunya udah main air lagi di Curug Cipanunda, tapi tetep aja
berasa belum afdhol kalo belum nanjak gunung yang satu itu. Huhuhu.
Akhirnya,
setelah uring-uringan ga jelas (mhuehehe, khasnya anak bungsu kalo
permintaannya nggak terpenuhi atau emang sayanya aja yang childish) kabar baik
pun muncul. Minggu malam baru ada rencana bakal berangkat, senin persiapan
pinjem peralatan sana-sini, dan selasa kita beneran berangkat, sambil masih berasa
kayak mimpi.
Yup, selasa
(4/7) sekitar jam 7 malam, kita bertiga, saya, @mohparman, dan Linda (adiknya
@mohparman) memulai perjalanan dari terminal Klari Karawang. Naik bis dengan
harga Rp 130.000,- (harganya agak naik karena masih musim lilbur lebaran)
dengan tujuan Terminal Tidar, Magelang. Tapi apesnya, kita diturunin di tengah
jalan, sekitar jam 3 pagi, di Purworejo kalo nggak salah. Kita pun harus naik
bis lagi seharga Rp 20.000,- untuk sampai ke Terminal Tidar. Begitu kita
menginjakan kaki di terminal, meski baru jam 4 subuh, sudah banyak yang
menawarkan mobil carteran menuju basecamp Suwanting.
Ada dua opsi
untuk menuju basecamp Suwanting, pertama dengan kendaraan umum, kalian harus
beberapa kali ganti angkutan umum, bis dan angkot, kemudian dilanjut lagi naik
ojek. Opsi kedua dengan carter/sewa mobil, langsung dianter ke basecampnya, biasanya
kisaran harga 250-300rb/mobil. Enaknya sih kalo rombongan mending carter mobil
aja, ga ribet dan lebih cepet. Tapi kita cuma bertiga, bisa kena 100rb/orang,
hhmmmm... Untungnya, kita nemu dua orang teman seperjalanan dari Jakarta yang
juga mau ke basecamp Suwanting. Setelah nego dengan bapak supirnya, kami
mendapat harga Rp 50.000,-/orang. Itu pun udah plus dianter ke atm dan alf*mart
untuk beli keperluan logistik. Tadinya kita minta mampir ke pasar juga untuk
beli beras dan sayuran, tapi ternyata nggak ada pasar yang kita lewatin. Paniklah
semua yang dimobil, hahaha. Alamat makan mie instan terus 2-3 hari ke depan. Angan-angan
untuk makan sayur sop atau sayur asem anget-anget di tenda buyar sudaaaah T_T
Sekitar jam 6 kita sampai di basecamp Suwanting. Cukup sepi, cuma ada
satu rombongan yang masih tidur. Kita pun bergabung buat tidur bersama, eeeh,
jauh-jauhan tapinya. Sejujurnya, ini pengalaman pertama saya istirahat di
basecamp pendakian. Tempatnya kayak ruang tengah sebuah rumah yang luas tanpa
perabot apapun. Semua orang bisa tidur di situ, gratis. Ada juga meja
prasamanan biasanya di pojokan. Semua orang bisa makan di situ, bayar tapinya.
Sambil
menunggu Mas Ikhsan, teman kita yang lagi pulang kampung ke Solo, sekaligus
guide kita kali ini, kita terlebih dulu sarapan dan melengkapi beberapa
logistik yang belum dibeli seperti air. Teman semobil sewaan kita sudah pamit
untuk nanjak duluan sekitar jam 7. “Nanti nyusul, ya!” kata mereka. Hhmm... mission
impossible kayaknya. Secara kita –eh, saya deng– kalo nanjak udah kaya putri,
putri siput :’))
Dan, jam 9
Mas Ikhsan baru nongol, padahal janjinya jam 8, pfftttt. Katanya lupa, malah ke
basecamp Selo, duh... Emang pendakian via Selo lebih famous sih dibandingkan
via Suwanting, tapi karena beberapa pertimbangan, kita memilih naik via
Suwanting. Diantaranya yang paling signifikan adalah banyaknya keberadaan
sumber air, sementara via Selo sama sekali nggak ada sumber air. Terus view via
Suwanting juga nggak kalah kece katanya, meskipun treknya lebih lumayan
dibandingkan via Selo. Tapi rencananya kita turun via Selo, biar dapet juga
view Selonya. Nggak mau rugi pokoknya kita, hehehe.
Kitapun
akhirnya baru mulai nanjak sekitar jam 10an. Di pos pendakian Suwanting, kita
harus membayar simaksi seharga Rp 18.000,- (ini tarif liburan juga sepertinya).
Di trek awal, kita akan melewati perkebunan warga sekitar, kemudian mendekati
pos 1 akan mulai banyak pohon pinus. Saya lupa berapa lama waktu untuk sampai ke
pos 1, waktu normalnya sih sekitar 2 jam, tapi karena kita bisa dibilang
sewoles-wolesnya pendaki di Merbabu hari itu, sepertinya kita sampai di sana
setelah sekitar 3 jam perjalanan, atau lebih, hehehe. Seinget saya, dari awal
sampai nanti finish, kita nggak pernah mendahului pendaki lain, yang ada kita
terus yang ditikung. Ya ga papalah ya, asal nanti dapetinnya yang lebih baik
lagi *eh apasih.
Di pos 1 ini
kita ketemu sama rombongan pendaki lain (lupa asalnya dari mana) yang dengan
baik hatinya Mas Ikhsan menawarkan bantuan untuk mengambil foto mereka bahkan
tanpa diminta. Dan, di kemudian hari mereka akan jadi salah satu penolong kita
(penasaran? baca terus sampe habis makanya!)
Morality lesson: do good things and good
things will happen to you. It’s
really happen genks! So, banyak-banyak berbuat baik selagi masih bisa, nanti
pasti kebaikan-kebaikan lain akan menghampirimu, kalau ga di dunia, pasti di
akhirat. Allah Seadil-adil Maha Pemberi Balasan, kan? :)
Sore hari,
sekitar jam 4 kita baru sampai ke pos 2. Dengan kondisi fisik yang udah pada
kecapekan, kita memutuskan untuk ngecamp di sana. Dua cowok langsung ngediriin
tenda, beres itu cewek-cewek langsung ganti baju biar ga kedinginan. Di pos 2
ini, udara udah lumayan dingin, angin juga lumayan kenceng. Biar nggak
kedinginan apalagi hypo, cepet ganti baju pendakian kamu yang pasti udah lembab
karena keringet, dengan baju kering yang mau dipake buat tidur.
Di pos 2
tempat kita mendirikan tenda ini, view dihadapannya langsung Gunung Merapi. Udah
dapet indahnyaaa, samudera awannya, sunsetnya juga kece. Saya pikir, kalaupun
nggak bisa ngelanjutin perjalanan dan harus berenti di sini, ya nothing to
lose. Beneran deh, di pos 2 aja udah bagus banget viewnya.
Menikmati senja di Pos 2 via Suwanting |
Setelah
cukup istirahat, di hari pendakian kedua kita mulai lagi treking dari jam 9
pagi. Treknya masih terus nanjak, tanpa bonus. Kalaupun ada dataran, paling
cuma berapa langkah. Ini bikin fisik kita kepayahan, apalagi kami ngedaki tanpa
persiapan fisik sebelumnya, dan bagi Linda pun, ini pengalaman mendaki
pertamanya.
Karena
tujuan utama kita bukan puncak, tapi pulang dengan selamat tanpa kurang apapun.
Maka, kita ngedaki dengan santai, kalau capek ya berhenti istirahat. Nggak ada
yang perlu dipaksain, nggak ada target harus nyampe jam berapa. Nikmatin aja
perjalanannya, karena bakal banyak yang terlewat ketika kita tergesa-gesa.
Tsaaaah...
Kadang kita
jalan 3 menit, liat dataran dikit langsung duduk, istirahat sampe 15 menitan.
Lanjut lagi, beberapa langkah kemudian berhenti lagi, istirahat lagi. Gitu aja
terus, sampe nggak kerasa udah sore, jam 3an kita baru sampe ke pos 3. Hahaha. Bayangin,
normalnya dari pos 2 ke pos 3 itu paling 3-4 jam, tapi itu kita tempuh selama 6
jam. Jadi dua kali lipatnya, fiuh!
Udah punya
feeling bakal ngaret, di perjalanan dari
pos-2 ke pos-3 kita udah mulai mengumpulkan logistik sisa-sia para pendaki
lainnya, hahaha. Inilah yang saya bilang do
good things and good things will happen to you. Tiap kita ketemu sama para pendaki
yang mau turun (sebelumnya kita udah saling sapa dan kenal kemarin pas mereka
naik), kita tanya apa mereka punya sisa logistik. Nah, rombongan yang kemarin
difotoin sama Mas Ikhsan itu yang paling banyak nyumbang logistik ke kita.
Alhamdulillah, rejeki anak shaleh B-)
Kita juga
sempet ketemu sama dua pendaki yang semobil barengan sama kita pas mau ke
basecamp Suwanting. “Lah, baru mau naik?” “Iya, bang. Udah sampe puncak?”
“Nggak, ngopi-ngopi dingin doang di pos 3. Pantesan kita nyariin kalian di pos
3 tapi nggak ada.” Nggak cuma mereka aja kok yang memutuskan untuk stop di pos
3, sebelumnya, rombongan bapak-bapak dermawan yang ngasih logistik ke kita juga
cuma sampe pos 3 katanya.
Setelah
sampe pos 3, ngerti juga sih kenapa mereka merasa udah cukup walaupun nggak
sampe puncak. Pos 3 ini emang udah keren; banyak edelweis, Merapi, Sindoro,
Sumbing keliatan menjulang gagah, samudera awan dan sunsetnya juga udah berasa
di puncak.
View at Pos 3 via Suwanting |
Dengan
beberapa pertimbangan; kondisi fisik yang udah capek, angin yang lagi kenceng-kencengnya,
khawatirnya kalo kita ngelanjutin dan ngecamp di sabana 1, tenda kita akan
patah atau malah terbang kebawa angin, karena semakin tinggi, tiupan angin akan
semakin kenceng. Pun, nggak ada tameng apapun untuk melindungi tenda kita,
plong banget cuma ada rumput. Kalau di pos 3 ini masih ada beberapa pepohonan
dan semak-semak untuk melindungi tenda kita dari terpaan angin secara langsung,
jadi kita lebih milih stop perjalanan hari kedua di pos 3.
Sialnya,
dingin dan anginnya udah nggak bisa diajak kompromi. Kalau di pos 2 saya dan
Linda masih bisa keluar tenda untuk buag air kecil malem-malem, di pos 3 ini
kita lebih milih tahan aja sampe besok pagi! Pas liat sunset aja kita cuma
tahan beberapa menit, ngambil beberapa foto dan video dengan kecepatan kilat,
dan langsung lari-larian ke dalem tenda. Saya mulai khawatir, gimana malem
nanti?
Daaan, benar
ajaaa. Saya udah pake double jaket, sleeping bag juga udah yang tebel, tapi masih
gemerutukan. Anginnya parah, khawatir juga badai, pokoknya dag-dig-dug, bikin
saya nggak bisa tidur semaleman. Menjelag pagi pas angin udah lumayan aman,
baru saya bisa istirahat sebentar. Baru pertama kali itu ngerasain angin
separah itu di gunung, pas di Prau dan pos 2 kemarin anginnya aman-aman aja. Saya
ngebayangin gimana kalo kita jadi ngecamp di sabana 1 atau deket puncak sesuai
rencana kita di awal, pasti lebih serem lagi anginnya, hiiiiii....
Hari ketiga,
kita mulai lagi pendakian sekitar jam 9 pagi. Linda udah mulai terbiasa
sepertinya, dia terus jalan di depan saya. Sebaliknya, saya udah mulai
kehabisan energi di hari ketiga ini, ditambah semalam kurang istirahat. Baru treking
15 menitan carrier saya udah dibawain, hehehe.
Tapi
untungnya view sepanjang perjalanan ngedukung banget untuk jadi penyemangat.
Dari Pos 3 ke atas itu udah bukit sabana seluas mata memandang. Baguuuuus
banget. Dan akhirnya, sekitar jam 1 siang kita sampai di puncak Suwanting. Asli
ini petjaaaah banget viewnya! Nggak nyesel meski harus 3 hari perjalanan ke
sini, capeknya kebayar lunasss. Saya masih inget, pas liat view-nya Linda
langsung bilang, “Teh, ini kaya gambar di desktop komputer itu tapi versi
aslinya!” Hahaha, iya bener sih.
View at Puncak Suwanting |
Selesai puas
menikmati keindahan Suwanting, kami melanjutkan perjalanan ke puncak Kenteng
Songo. Masih naik-naik ke puncak gunung terus, meskipun nggak securam
sebelumnya. Sekitar jam 3 kita sampai di ketinggian 3142 mdpl. Mas Ikhsan yang
terlebih dulu sampai, udah lagi ngopi-ngopi ganteng sama rombongan pendaki
lainnya, dari Bogor kalo nggak salah. Kami pun ikut nimbrung dan numpang masak
mie di kompor milik mereka. Salah satu dari mereka juga nantinya ikut ngebantu
ngebawain daypack kita sampe tenda mereka. Dan sebagai ucapan terima kasih,
kita nge-share setengah botol air kita ke mereka yang udah krisis air.
Puncak Suwanting |
Puncak Triangulasi |
Puncak Kenteng Songo |
Sadar kita
mulai berpacu sama waktu, karena kita menghindari trek malem dan berharap bisa
sampai di basecamp Selo sekitar jam 7, maka kita nggak berlama-lama di puncak
Kenteng Songo. Kita langsung melanjutkan perjalanan lagi untuk turun via Selo,
sekitar jam 4 sore.
Jalur Selo
waktu itu sedang dalam kondisi yang kurang bagus. Mungkin karena hujan sehingga
jalur pendakian juga jadi jalan air, atau mungkin juga karena suka dipakai
“main perosotan” oleh para pendaki nakal, yang jelas lumayan susah nyari jalur
aman dimana kaki kita harus berpijak. Karena itu, beberapa kali juga saya jatuh
kepeleset, malah sampe jatuh tiduran telentang, saking udah ga ada lagi tenaga
buat balancing ataupun defending. Untungnya, cederanya nggak parah-parah amat.
Beberapa menit jalan agak jingklek sih, tapi lama kemalamaan nggak dirasa juga.
Actually,
saya nggak begitu banyak menikmati perjalanan di jalur Selo. Mungkin karena
kita berkejaran sama waktu. Saya bener-bener blank mana sabana 1, 2, pos 1, pos
2, yang saya tau kita harus tetep jalan, jalan terus secapek apapun, biar nggak
kemaleman sampe basecamp. Karena kita juga udah nggak mungkin lagi ngecamp di
sabana 1 atau pos 2, logistik kita udah habis, air pun habis. Kalau mau
istirahat dan makan, jalan satu-satunya adalah harus sampe basecamp dulu.
Nyesel juga
sebenernya, kita sama sekali nggak punya foto di jalur Selo. Sebenernya sempet
ngambil beberapa foto di Sabananya, tapi apa daya, memori hp saya rusak dan
foto-foto itu nggak bisa terselamatkan. Kode banget nggak sih ini dari semesta,
that you have to comeback to Selo again oneday, ahaaaa! I will, I will...
Merbabu terlalu indah buat kamu liat sekali doang dalam hidup kamu.
Finally, setelah
jalan hampir tanpa jeda –kita cuma 2 atau 3 kali berhenti sebentar untuk minum dan
mastiin jarak antar kita aman– sekitar
jam 9 malam kita sampe juga ke basecamp. Nggak kaya di Suwanting yang cuma
punya satu basecamp dan nggak ada toko souvenir (selihat saya), kalo via Selo
ini banyak banget basecamp yang mereka juga jual souvenir. Kita muutusin buat
ngecamp di basecamp Pak Parman, yang udah baca buku Pejalan Anarki pasti udah
familiar sama basecamp ini. Sesampainya di basecamp kita langsung pesen makan,
ganti baju dan bersih-bersih (tanpa madi soalnya anginnya dingin bingit,
mhuehehe), shalat terus langsung tidur.
Besoknya,
menurut rencana sih kita jam 7 udah otw pulang. Tapi nyatanya jam 8 kita baru
pada sadar. Basecamp Pak Parman ini rame banget, jadi walaupun tempatnya udah
lebih nyaman daripada tenta, kita tetep aja nggak bisa pules karena sepanjang
malem banyak pendaki yang baru turun atau yang baru mau naik bolak-balik keluar-masuk
tempat kita tidur. Saya selepas subuh juga tidur lagi, dan yang paling terakhir
dibangunin buat siap-siap packing.
Pas kebangun, temen-temen lagi pada ngopi
sambil ngobrol sama Dyos, seorang pendaki asal Cirebon. Dia baru mau naik
Merapi pagi itu. Kita lumayan banyak cerita tentang perpustakaan jalanan,
backpacker, dan kegiatan-kegiatan sosial. You know, orang yang punya kesamaan
minat, akan cepet akrab dan merasa mereka udah berteman lama padahal itu baru
pertama kalinya kita ketemu. Sampai akhirnya kita harus pamit ke Dyos, karena mobil yang kita carter untuk mengantarkan kita ke terminal Boyolali udah siap. Sebelumnya, kita sempet ngambil beberapa foto dulu di gate jalur pendakian Selo, sebagai bukti aja, supaya nggak hoax.
Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Selo |
Sekitar
setengah jam kemudian, jam 12.30 kita sampai di terminal. Setelah nego, kita
bayar mobil carteran diharga 200ribu. Selanjutnya, sambil nunggu cowok-cowok
nyari tiket bis Boyolali-Karawang, saya belanja oleh-oleh makanan buat orang di
rumah. Setelah dapet tiket di harga 130ribu, kita nyari masjid untuk dzuhur
jama’ ashar.
Sekitar jam
2 bus udah berangkat dari terminal. Tapi jalannya kayak siput dan sering ngetem
lama pula. Jam 3 bus masuk terminal. Saya nanya ke Linda dan @mohparman, ini
terminal mana, perasaan kok sama bentuknya kayak terminal Boyolali. Dan
ternyataaaa, emang bener, busnya balik lagi coba ke terminal tadi,
kampretoooossss -,,-
Jam setengah
4an bus baru jalan lagi. Jalan karena masih di weekend liburan macet pake
banget, sepertinya kita kejebak arus balik. Sampe malem macet dimana-mana. Bus
juga penuh, ada yang berdiri malah, banyak juga yang katanya harus beli tiket
diharga 2-3 kali lipat dari biasanya. Ternyata tiket kita tuh emang yang paling
murah, lainnya ada yang sampe 200-250an.
Besok
paginya jam 6an, kita udah siap-siap karena bus udah deket tol karawang. Tol
cikarang, lewat, tol karawang barat, lewat, tol karawang timur lewat jugaaaa.
Hwaaaa, kita udah mulai panik. Dan ternyata bus ini nggak nyimpang ke Karawang,
padahal jelas-jelas di tiketnya ada bacaan Boyolali-Klari. Akhirnya bus baru
berenti di terminal bayangan Jatibening -Jakarta. Kita tanpa pikir panjang,
langsung buru-buru turun di situ. Akibat gerasah-gerusuh nggak puguh, seplastik
oleh-oleh yang saya beli di terminal Boyolali nggak ikutan turun bareng kita, dia
masih betah ada di dalem bus, huhuhu *dadahdadah
Dari
Jatibening kita nyambung bus ke Terminal Kampung Rambutan dulu, baru kemudian
baik bus ke Karawang. Itu sumpah, buang-buang waktu, tenaga, dan uang banget.
Kezellll. Nggak sampe di situ doang kesialan kita, sampe Karawang pun nggak ada
grab car yang mau ngangkut kita. Untungnya ada power ranger pink a.k.a @mbaull_
yang bisa ngejemput kita. Karena dia juga cuma bisa nganter sebalik gegara
telat udah harus pergi kuliah, akhirnya saya, @mbaull_ dan Linda naik motor
bertiga udah kayak cabe-cabean. Udah mah banyak polisi tidur, malang sekali
nasib motor @mbaull_
Tengah hari
saya baru sampai rumah, sehabis isirahat dan makan dulu di Karawang. Dengan
muka gosong, kaki bengkak, badan remuk. Tapi itulah seninya. Emang gitu
fasenya: 1. Exciting pegen naik gunung – 2. Pas nanjak misuh-misuh ngapain gue
capek-capek setengahmati naik gunung kayak begini –3. Pas sampe puncak lupa
semua capek-capeknya – 4. Pas turun janji nggak mau naik gunung lagi – 5. Pas
liat foto-foto dan keinget kenangan di gunung, mulai nyari gunung mana lagi
yang mau didaki – 6. Kembali ke fase awal no.1
Sekarang
juga lagi rindu-rindunya ngecamp di tenda di atas ketinggian. Sempet bilang, setelah
Merbabu, target selanjutnya adalah Semeru dan Rinjani. Tapi kok ya setelah baca
buku Jalan Pulang mupeng juga kepengen ke Gede-Pangrango. Pinginnya akhir tahun
ini, tapi seertinya cuaca lagi nggak memungkinkan, bahkan Gede-Pangrango ditutup beberapa waktu yang lalu. Mudah-mudahan nanti waktu cuacanya udah bagus, ada temen yang
mau diajak nanjak bareng, ada rezeki dan libur cuti juga. Bulan Februari atau
Maret udah bagus lah ya cuacanya? #kode
Sincerely,
@riana_yah