Menjelang keberangkatan pasukan ke Mu’tah, Rasulullah
bersabda kepada sang panglima dan pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far
ibn Abu Thalib yang akan memimpin pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah
ibn Rawahah yang akan memegang bendera.”
3.000 pasukan itu berangkat diiringi syair-syair semangat,
menemui 200.000 prajurit bersenjata lengkap
yang dipimpin langsung oleh Heraclius, sang kaisar Romawi. Satu banding
tujuh puluh?! Ya, bukan angka yang seimbang, jauh.
“Saudara-saudaraku”, kata ‘Abdullah kemudian. “Sesungguhnya
apa yang tidak kalian sukai ini justru merupakan tujuan dan cita-cita
keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan mati syahid? Kita memerangi
musuh bukan mengandalkan senjata, kekuatan, ataupun banyaknya jumlah bilangan. Kita
memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama ini, yang Allah telah muliakan
kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan barakah Allah! Kita pasti
memperoleh satu diantara dua kebaikan; menang atau mati syahid!”
Lalu semua orang menyorakkan takbir..
Zaid ibn Haritsah merengsek ke tengah musuh membawa bendera
Rasulullah hingga puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti. Dan
ruhnya disambut ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu, memegangnya dengan
tangan kanan hingga lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap
berwarna hijau yang kelak dipakainya terbang ke mana pun ia suka. Lalu
dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan itu pun putus. Lalu didekapnya
bendera itu di dadanya hingga seorang prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka
Ja’far segera terbang di surga.
“Jika kau ikuti kedua pahlawan itu”, gumam sang panglima
ketiga, “Kau akan mendapat petunjuk”. Tapi bersitan keraguan meraja di hatinya.
Akankah pertempuran ini diteruskan sementara korban yang jatuh dari kaum
muslimin telah demikian banyak? Tidakkah ini tersia? Tapi tidak. Dia juga sudah
dekat dengan cita-citanya. Kamudian syairnya diteriakkan lantang.
Kenapa kulihat engkau tak menyukai surga
Bukankah telah sekian lama kau tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini tak lebih dari setetes nutfah yang ditumpah?
Maka dilemparnya sekerat tulang yang tadi dia gigit untuk
menegakkan punggungnya. Dia menjemput cita tingginya. ‘Abdullah ibn Rawahah
sang penyair yang dicintai Allah dan RasulNya itu syahid. Tsabit ibn Aqram Al
Ajlani segera meraih bendera dari pelukan ‘Abdullah dan ia berlari ke arah seseorang
yang sibuk membabat musuh dari punggung kudanya. “Ambil ini Abu Sulaiman!!!”,
dia berteriak.
“Tidak!” kata yang dipanggil. “Jangan aku. Engkau ikut Perang
Badar, Engkau lebih layak!”
“Demi Allah, ambil ini Abu Sulaiman!! Tidaklah aku
mengambilnya melainkan untuk kuberikan padamu!!”
Dan orang yang dipanggil Abu Sulaiman itu pun mengambilnya. Di
saat itulah, di waktu yang bersamaan, dari atas mimbar Masjid Nabawi di
Madinah, sang Nabi berlinang air mata mengisahkan kegagahan ketiga panglima
yang diutusnya. Setelah air matanya sedikit terseka, beliau bersabda, “Lalu
bendera itu diambil oleh salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah. Dan
Allah memberikan kemenangan melaluinya.”
Pedang Allah itu akrab dipanggil Abu Sulaiman. Nama aslinya;
Khalid ibn Al Walid.
-Dikutip dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A.
Fillah-
***
Meskipun jumlah pasukan kita saat
ini jauh lebih sedikit dari tentara zionis Israel, meskipun persenjataan kita
jauh lebih minim dari para biadab itu, tapi jangan berkecil hati, sayang.
Tidakkah kalian simak kata panglima ‘Abdullah ibn Rawahah sebelum ia turun
perang? Bahwa kita memerangi musuh bukan dengan mengandalkan senjata, kekuatan,
ataupun banyaknya jumlah bilangan. Tapi kita memerangi mereka hanya dengan
mengandalkan agama ini, Islam. Satu-satunya alasan kita untuk turun perang
adalah untuk membela agama ini, Islam. Maka dari itu, kelak, jadilah seperti
Zaid, Ja’far ibn Abu Thalib atau ‘Abdullah ibn Rawahah, yang tak pernah gentar
berapapun banyaknya musuh yang menghadang, yang cita tertingginya adalah syahid
di jalan Allah. Kelak, majulah dengan keyakinan penuh di hatimu, karena kalian
pasti memperoleh satu diantara dua kebaikan; menang atau mati syahid!
Ba’da subuh, ketika hujan membasahi bumi Allah dengan
rahmatNya.
15 Ramadhan 1435 H.
Riana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar