Mari sejenak
bermuhasabah diri dengan sepenuh cinta, menengok lembaran kehidupan yang telah
kita lalui, agar menjadi pelajaran bagi kita untuk hadapi kehidupan di depan….
Sobat, adakah kita
teladani Rasulullah yang tiap malamnya tak pernah berlalu tanpa qiyamullail? Ia
berlama-lama berdiri, ruku’, dan sujud, hingga bengkaklah kedua kakinya. Padahal,
ia telah terampuni dosa yang lalu dan yang akan datang. Padahal, Allah telah
jaminkan jannah untuknya. Sedangkan, kita yang dosanya bagai buih di lautan,
bagai pepasir di pantai ini, masih berani dan tenang saja menikmati malam-malam
bernyenyak dalam gumul selimut hangat.
Sobat, adakah air
mata kita sebermanfaat milik Ibnu ‘Abbas yang menangisnya karena gigil takut
kepada Allah, hingga butalah kedua matanya? Ataukah air mata kita lebih banyak
menetes karena kekecewaan kita terhadap makhluk, karena harapan yang tak
terpenuhi, bahkan karena sinetron dan film picisan itu?
Sobat, adakah kita
seistiqamah Muhammad Al-Fatih? Yang sejak balighnya tak pernah meninggalkan
satupun shalat wajibnya, tak pernah tinggalkan satupun puasa Ramadhannya, tak
pernah lebih dari sebulan mengkhatamkan Al-Qur’an, tak pernah kehilangan satu
ayat pun hafalan Al-Qur’an, tak pernah tinggalkan satu malam pun berqiyamullail,
dan tak pernah meninggalkan puasa ayyaamul bidh.
Sobat, adakah kita
sedermawan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang kisaran angka shadaqahnya untuk penduduk
Madinah bisa mencapai 40.000 dinar dalam sekali bagi? Ataukah kita masih saja
baralibi dengan jawaban klise, “Yang penting ikhlas walaupun sedikit,” ?
Sobat, adakah kita
sejujur ‘Abdullah ibn Al-Mubarak yang walaupun sudah berbulan menjaga kebun
delima, namun belum sekalipun mencicipinya? Ataukah telah berkali kita
menikmati sesuatu yang bukan hak kita?
Sobat, adakah kita
setulus ‘Umar ibn Khathab yang kecintaannya pada Allah dan RasulNya melebihi
kecintaannya kepada diri sendiri? Ataukah kita melakukan segala hanya untuk keselamatan
dan kenikmatan diri kita sendiri?
Sobat, adakah kita
seteguh Ka’ab ibn Malik yang tak kilau oleh tawaran Raja Ghassan yang
memintanya menjadi duta besar Kekaisaran Romawi Timur? Padahal saat itu di
Madinah, di kota kelahirannya sendiri, ia sedang merasakan tersiksanya
dikucilkan karena hukuman. Ataukah kita sering kali tunduk, memohon, bahkan
menghamba, kepada seorang musyrik demi tahta dan kekuasaan?
Sobat, adakah kita
setegar Bunda Hajar? Yang karena imannya pada Allah, merelakan suaminya,
Ibrahim, pergi meninggalkannya hanya berdua dengan bayi mereka yang masih
merah, di lembah kosong tak berpenghuni, gersang, terik, liar. Ataukah kita
akan menarik manja pasangan kita yang hendak pergi atas perintah Allah?
Sobat, adakah kita
malu kepada Nu’man ibn Qauqal? Yang walaupun dalam keterbatasan fisiknya yang
cacat, yang pincang, tapi ia tetap mengikuti Perang Badar, dan menemui syahidnya
dalam Perang Uhud. Ataukah kita yang dalam kesempurnaan fisik ini, masih saja
mencari beribu alasan untuk menghindar pergi ke medan jihad?
Yang berlalu jelas tak dapat diulang kembali ‘tuk diperbaiki.
Jangan buat sesal kini tersia tiada berarti. Mari istighfar, memohon Allah sudi
ampuni diri. Lalu perbaiki diri ditiap bilangan hari :)
Sincerely,
Riana Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar