Sebelum lebaran, ada beberapa opsi yang terlintas untuk
mengisi libur lebaran tahun ini. Pertama snorkeling di salah satu pulau di
kepulauan seribu, kedua ngecamp cantik di bukit Pamoyanan sekalian explore beberapa
curug (air terjun) di sana, dan ketiga adalah mendaki Gunung Gede Pangrango.
Dari ketiga opsi itu, kami memutuskan untuk memilih opsi ketiga, karena udah
kangen muncak, terakhir itu pas ke Merbabu setahun lalu, di momen yang sama
saat libur lebaran.
Beberapa hari jelang lebaran, dapet kabar kalo pendakian
Gunung Gede Pangrango di tutup. Huft! Kemudian galau deh pengen berubah haluan
ke mana. Masalahnya cuma libur sampe tanggal 19, kalo start dari rumah 16 malem
dan 19 udah balik ke rumah lagi, berarti cuma punya waktu 2 hari buat nanjak.
Gunung-gunung di Jawa Tengah kayak Sumbing, Sindoro, Slamet, udah harus
dieliminasi karena perjalanan dari Karawang – Jawa Tengah bisa 16-20 jam kalo
lagi masa liburan gini. Pilihannya tinggal gunung-gunung di Jawa Barat. Sempet
kepikiran buat nyobain gunung tertinggi di Jawa Barat, Ciremai, tapi mikir
lagi, mengukur diri lagi, dengan track yang panjang itu kayaknya nggak akan
bisa saya capai dalam waktu 2 hari. Cikuray? Tempat campnya nggak terlalu luas katanya,
khawatir sulit cari tempat camp yang enak pas musim liburan gini. Pilihannya
tinggal Guntur dan Papandayan. Dari beberapa teman yang udah pernah mencoba
kedua gunung ini, sarannya “Kalo mau wisata ke Papandayan, kalo mau merasakan
pendakian yang sesungguhnya, coba ke Guntur”. Dan akhirnya, dengan berbagai
pertimbangan; menghindari Papandayan di musim liburan yang bakal kayak pasar,
kangen Sabana hijau-kuning di ketinggian, dan pengen liat langsung tumbuhan
kayak ilalang warna ungu apalah itu namanya, saya memutuskan untuk mendaki ke
Guntur.
Kita bertiga, saya, @mohparman, dan adiknya Linda (personel
masih sama kayak pendakian Merbabu tahun lalu) start jam 11 malam dari km 57
tol Karawang, naik bus Primajasa jurusan Lebak Bulus – Garut, harga tiket biasa
50ribu, tapi karena lebaran naik jadi 65ribu. Harusnya sih kita berhenti di pom
bensin Tanjung, tapi kita kebablasan sampai terminal Garut. Untungnya nggak
kita doang yang kebablasan, banyak juga pendaki lain yang kita temui di
terminal Garut, padahal itu masih jam setengah 4 dini hari. Setelah diskusi,
kita dan 9 pendaki lainnya carter mobil carry menuju basecamp Guntur via Citiis
dengan ongkos 40ribu/orang. Sebelum ke basecamp kita mampir dulu ke mini market
untuk beli logistik seperti biasa, mie, roti, air, dan beberapa keperluan
lainnya.
Sekitar jam setengah 5 kita sampai di basecamp Bu Tati.
Sambil nunggu satu personel tambahan lagi, kita shalat subuh, bersih-bersih,
dan istirahat dulu di basecamp. Kalo tahun kemarin di Merbabu ada Mas Iksan
yang nyusul ke basecamp Suwanting, tahun ini ganti personel jadi Bang Gumay.
Doi start dari Cikampek dan lewat jalur Purwakarta, jadi nggak se-bus sama
kita. Sekitar jam 6 pagi Bang Gumay sampe basecamp. Sebelum mulai pendakian,
kita sarapan dulu di basecamp. Ada nasi goreng dan nasi biasa dengan berbagai
menu. Kita pesen nasi biasa dengan semua menu yang ada; telur bulet balado,
kerecek kikil plus tahu, capcay, oreg tempe, dan kentang mustopa. Harus diakui
bahwa masakan Bu Tati ini emang enak. Sebelum pulang juga kita pesen nasi
gorengnya dan enak jugaaa. Masakan terenak di basecamp yang pernah saya
kunjungi, hehe. Bukan cuma karena laper, tapi emang masaknya sungguh-sungguh,
nggak asal-asalan, bumbu tiap masakannya berasa, nggak hambar kayak kisah
cintamu *eeeh.
Titik start pendakian Gunung Guntur |
Kita start pendakian jam 8 pagi, di basecamp Bu Tati ini salah
seorang anggota kelompok harus isi formulir pendakian dan menitipkan KTP nya di
sini. Menuju pos 1, tracknya tanah dengan sedikit kerikil, jalan menajak tapi
masih landai, ini track yang paling “enak” diantara track lainnya di Gunung Guntur.
Yang bikin hopeless cuma jalurnya yang agak panjang, jadi berasa nggak sampe-sampe. Kita
aja baru sampe pos 1 sekitar jam 10an. Di pos 1 kita harus bayar simaksi dengan
harga 15ribu/orang di hari libur. Oh iya, sebelum dan setelah pos 1 ada
beberapa warung yang bikin para pendaki tergoda buat sekedar istirahat atau
mengisi lagi amunisi untuk pendakian, yang dijual mulai dari nutrisari pake es,
gorengan anget, mie, sampe semangka.
Track awal |
Istirirahat di warung sebelum pos 1 |
Pos 1 |
Rintangan mulai naik level dari pos 1 sampai pos 3, Tracknya
didominasi batuan besar dan tinggi. Kemiringan bisa sampai 70-80 derajat.
Kalian harus merangkak kayak wall climbing. Nggak ada tali bantuan, jadi pegang
apa aja yang bisa dipegang, batuan, akar, atau tangan temen kalian, jangan
tangan mantan!
Satu kata yang sering saya denger di track ini adalah
“RIPUH”. Ya gimana nggak ripuh ya, bayangin aja nanjak di medan kemiringan ekstrim
dengan bawa beban carrier yang bisa sampe 20kg. Saya aja yang cuma bawa day
pack isi baju doang udah ripuh. Nggak ngerti lagi gimana cara melangkahnya, hiks! Batuannya bisa setinggi lutut sampe pinggang kita. Nggak heran beberapa temen yang pernah ke sana komen, "nanti nanjaknya lutut bakal ketemu dada" and I feel it bro!
Track menuju pos 2 |
Kita baru sampai di pos 3 jam 1 siang, padahal durasi normal
basecamp - pos 3 itu cuma 3 jam, tapi kita menghabiskan 5 jam, ngaret 2 jam karena
faktor terlalu menikmati perjalanan dengan pemandangan indah, canda tawa, dan
lagu-lagu nostalgia *alibi*
Sampai di pos 3 kita harus lapor ulang, tinggal tunjukin
formulir yang didapet dari basecamp tadi, nggak usah bayar apa-apa lagi. Bagi
kamu yang udah kehabisan air, jangan khawatir, di pos 3 ini ada sumber air
melimpah dari curug. Kalian bisa ambil air dari sana buat minum dan masak,
boleh dipake wudhu tapi nggak boleh dipake mandi, apalagi pake sabun atau pipis
di sana. Tetep jaga lingkungan ya genk, jangan sampe airnya tercemar. Soalnya
air itu biasanya langsung dikonsumsi sama para pendaki tanpa dimasak dulu. Airnya
enak kok, seger dan dingin kayak air kulkas, lebih enak daripada air a*ua. Di
sini juga ada mushola dengan kapasitas 3-4 orang. Juga ada yang jual
merchandise khas gunung Guntur, dari mulai gantungan kunci, gelang, sampai
kaos. Mau sewa perlengkapan camping juga ada, tenda, nesting, kompor, matras,
dll.
Pos 3 |
Pos 3 ini dijadikan camping ground untuk para pendaki.
Beberapa tahun lalu udah ada aturan nggak boleh camping di puncak karena sering
ada badai petir, beberapa nyawa pendaki melayang karena terkena petir. So keep
the rule, keep save guys! Kelebihan selain menghindari petir adalah, kita
nggak perlu lagi bawa-bawa carrier sampe puncak, cukup bawa air dan
perbekalan secukupnya aja, karena track dari pos 3 - puncaknya luar binasa!
Setelah lapor dan dapet spot enak buat ngecamp, kita
langsung buka tenda supaya bisa istirahat. Oh iya, tips buat temen-temen
sebaiknya kalo ke Guntur bawa flysheet karena kalo siang di sini cukup panas.
Nggak ada pohon besar untuk berteduh, jadi lumayan gersang gitu. Meskipun pas
kemarin kita ke sana udaranya cukup sejuk, tapi sinar mataharinya juga lumayan
terik.
View dari Pos 3 - Camping Ground |
Saat malam, dari pos 3 ini kita bisa liat view city light
kota Garut. Bintang-bintangnya juga kemarin lagi bagus banget. Sayangnya kita
nggak bawa kamera bagus buat mengabadikan momen itu lewat foto, jadi ia cukup
mengabadi di dalam hati dan pikiran saja, ck! Suhu malamnya juga nggak se-ekstrim
di gunung-gunung lain. Cukup dingin, tapi nggak menggigit. Kayak udara
kota-kota sejuk di Jawa Barat macam Bandung, Kuningan, dan Garut lah.
Pendakian ke puncak di mulai besok paginya, 18 Juni 2018. Banyak
yang udah mulai summit attack dari jam 3 pagi. Sementara kita? Jangan ditanya.
Bebepara kali pendakian juga kita nggak pernah tuh yang namanya liat sunrise di
puncak, pasti liatnya dari dalem tenda sambal masih berselimut sleeping bag,
wk!
Selesai shalat subuh, mengumpulkan nyawa, dan ngeteh cantik,
kita siap-siap untuk muncak. Sekitar jam setengah 7 pagi kita mulai jalan
dengan hanya berbekal 2 botol air minum dan roti. Bang Gumay nggak ikut muncak
karena harus jaga tenda, katanya sih di sini masih rawan gitu ada pencurian di
tenda. Lagian Bang Bumay juga udah pernah muncak ke Guntur sebelumnya, jadi
mendingan ngopi cantik di tenda katanya sambil ngobrol-ngobrol sama tetangga.
Track menuju puncak Guntur sering disebut The Little
Semeru. Tracknya kerikil halus kayak pasir. Lu ngelangkah 1 meter, terus turun
lagi 75 senti, bahkan kadang kayak jalan di tempat aja gitu, kzl! Kira-kira
udah 1 jam jalan, kita di kasih tau gitu sama seorang bapak, “Mau naik? Lewat
kiri aja, pohon-pohon pinus itu, jalannya lumayan lebih enak ada tanahnya,
nggak full kerikil,” Akhirnya kita pun ngikutin saran dari Si Bapak itu, dan
bener apa katanya.
Track menuju puncak |
Tapi meskipun lebih enak dari track kerikil, track tanah ini
juga nggak gampang sih. Kemiringannya yang ekstrem antara 60-70 derajat bikin dengkul
mau copot. Tanahnya juga lumayan gembur dan licin, ditambah kerikil-kerikil
halus. Nggak ada tempat pijakan kaki yang jelas juga, jadi kita harus
pinter-pinter milih tempat pijakan sendiri. Harus bener-bener fokus dan
konsentrasi, jangan sambil ngelamunin dia ya!
Karena kita jalannya santai banget, jadi banyak dibalap sama
kelompok lain. Beberapa yang saya ingat, ada bapak-bapak dari Cina yang nyapa
kita “Hello!”, abegeh dari Cikarang yang baik hati ngasih kita air, dan
keluarga dari Mejalengka yang jadi penyelamat saya.
Jadi, sekitar ¾ jalan menuju puncak itu kemiringan makin
terjal, sementara tenaga udah semakin habis. Saya udah berusaha sehati-hati
mungkin, sepelan mungkin, tapi entah gimana tiba-tiba kepeleset dan jatuh merosot
sampe kira-kira 3 meteran. Untungnya, Allah masih sayang, saya masih selamat. Pas jatuh saya nggak
kepikiran apa-apa karena cepet banget, instingnya cewek ya kalo jatuh bukan
nyelametin diri, tapi malah teriak sambil nutup mata, that’s exactly what I do, wkwkwk.
Pas sadar balik lagi ke akal sehat, tangan saya udah ditarik sama Si Bapak
Majalengka itu. Terus di bawah anak cowok pertamanya juga nahan saya.
Sambil istirahat kita ngobrol-ngobrol sama keluarga
Majalengka itu. Mereka berempat naik ke puncak, Si Bapak, anak 1 (cowok, 15
tahunan), anak 2 (cewek 12 tahunan), dan anak 3 (cowok 10 tahunan), sedangkan
Si Ibu nunggu di pos 3 sambil nyiapin makan siang. Dari ceritanya, keluarga
bapak ini emang udah sering mendaki, apalagi Gunung Ciremai, hampir semua jalur udah
pernah dicoba. Keren ya?!
Singkat cerita, setelah drama pendakian selama 4 setengah
jam, kita sampai juga di puncak. Alon-alon asal klakon *bener ga sih? Sejak dari
pertengahan perjalanan, sebenernya udah capek banget. Yakin nggak yakin sih
bisa sampe puncak. Ya dijalanin aja, kalo masih kuat lanjut, kalo nggak kuat ya
jangan dipaksain, tinggal pisah aja *eh, apasih?!
Salah satu motivasi untuk terus jalan menuju puncak adalah;
sesekali liat ke belakang. Puncak udah keliatan dikit lagi (meskipun dekat di mata jauh
di kaki, Cin!) sedangkan tempat kita mulai perjalanan udah hampir nggak
terlihat. Kita udah jalan sejauh ini, masa usaha dan perjuangannya mau
disia-siain gitu aja? #tsaaah.
Tapi tetep inget ya guys, puncak bukan segalanya. Nggak usah
maksain sampai puncak kalo fisik kita udah nggak kuat. Kita bisa nilai diri kita sendiri lah ya, ada saat dimana kita cuma butuh
istirahat sebentar buat nantinya lanjutin perjalanan lagi, tapi ada juga saat dimana kita harus
bener-bener nyerah dan balik arah.
FYI, gunung Guntur ini punya 5 puncak. Kita mendaki ke
puncak ke-2. Kalo mau ke puncak lainnya, tinggal jalan lagi aja, turun lembah
terus naik lagi. Aye sih ogah, bye! Kita cukupkan saja di sini Orlando!
*halaahhh. Dari puncak sini kita bisa liat view berapa gunung lain di sekitaran,
kayak Cikuray dan Papandayan. Juga dapet view Sabana yang sedang menguning dan
ilalang-ilalang, cantik!
View sabana dan puncak 3 Guntur |
View gunung-gunung sekitar |
Kita nggak lama-lama di puncak, setelah puas menikmati
pemandangan dan foto-foto, kita turun lagi sekitar jam setengah 12. Pas turun,
lewat jalur kerikil pasir gitu lebih enak, kita ngelangkah 25 senti, turunnya
udah 1 meter. Asal pinter-pinter ngerem dan nahan keseimbangan berat badan kita
aja. Banyak juga pendaki yang lari, tapi saya sih nggak rekomen, liatnya aja
ngeri, takut kebablasan terus guling-guling sampe bawah.
Tips selanjutnya kalo mau muncak ke gunung Guntur adalah pake
sepatu gunung! Kemarin saya pake sepatu biasa dan akhirnya jebol dooongs. Pas
naik udah curiga sih banyak sol-sol sepatu bertebaran gitu, pas turun baru
paham. Jalur batu kerikil halus ini musuh biadab bagi para sol sepatu, terutama
pas tracking turun. Karena tumit menahan sebagian besar dari berat badan kita
di medan kerikil panas, jadi ya gini deh hasilnyaaa…
Korban Guntur :') |
Ujian waktu turun sih lebih ke nahan panas pas tengah hari,
dan nahan sakitnya kaki kena batu-batu yang masuk ke sepatu. Belum lagi
kepeleset udah nggak kehitung berapa kali, kayaknya lebih dari 5 kali deh. Udah
lemes banget, nggak ada lagi energi buat nahan, jadi kalo jatuh pun udah pasrah
deh, siap-siap aja bumper kebentur batu dan hati-hati celana sobek! Tapi
Alhamdulillah lumayan cepet, jam 1 siang kita udah sampe tenda lagi di pos 3. Dan
langsung minum air sepuas-puasnyaaa, dan nyalahin kompor buat masak ramen!
Jadi ceritanya persediaan air yang 2 botol itu cuma bertahan
sebentar. Baru seperempat jalan aja kita udah ngehabisin 1 botol. Sampe puncak
air cuma sisa ¼ botol lagi. Bener-bener ngehemat air, minum sesedikit mungkin
padahal kerongkongan lagi kering-keringnya, karena cuacanya yang puanas di atas tengah hari itu.
Udah gitu, perut juga kelaperan, efek nggak sarapan dulu sebelum pendakian,
cuma makan jelly dan minum teh manis sedikit. Bawa roti sih buat ganjel perut,
tapi percuma kalo nggak ada air buat minumnya, bisa-bisa nyangkut cuma sampe
kerongkongan.
Next tips, kalo sempet sarapan, mending sarapan dulu aja
sebelum summit. Kalo kamu type kayak saya yang nggak pernah sarapan, mending
bawa bekal yang cukup buat makan di tengah perjalanan muncak. Yang paling
penting adalah bawa air yang cukup, minimal 1 liter/orang. Mending bawa lebih
dari pada kekurangan. Ingat, bawa air sebelum kehausan!
Setelah perut kenyang dan cukup istirahat, kita siap-siap
packing untuk pulang. Habis shalat ashar kita mulai turun. Seperti biasa sih
penyakit lama saya kambuh, payah banget gitu kalo turun. Beberapa kali juga mau
kepeleset, karena udah nggak ada lagi tenaga. Di track datar aja saya mau
jatuh, wk! *eneng butuh pegangan, bang!
Menikmati senja selagi tracking turun |
Yang bikin semangat pas turun adalah keberadaan
warung-warung di deket pos 1. Tiap mau berhenti disemangatin lagi, “Ayo itu
warungnya udah deket, di sana ada gorengan sama teh manis anget!” Lalu satu jam
kemudian… warungnya masih nggak muncul-muncul juga. Kamvreeet!
Kita sampe di warung pas hari udah mulai gelap, di waktu
maghrib. Ada mushola dan toilet juga di deket warungnya. Begitu sampe langsung
pesen teh manis anget dan bala-bala yang baru banget diangkat dari
penggorengan. Sumvah itu jadi bala-bala terenak yang pernah saya makan, ampe
abis 3, bodo amat sama kolestrol!
Tapi finally sekitar jam 8 malem kita sampe juga di basecamp
Bu Tati (lagi), setelah perjalanan selama 4 jam. Yang cowok langsung pada pesen
nasi goreng, sementara saya udah nggak nafsu makan. Setelah mandi dan shalat
isya, saya langsung masuk sleeping bag. Alhamdulillah kita diizinin buat tidur
di dalem ruangan posyandu yang waktu itu lagi nggak dipake. Lumayan lah ya
indoor, daripada harus tidur di saung outdoor. Dinginnya sih nggak masalah,
tapi banyak pendaki yang lalu-lalang, ada yang baru datang tengah malem, ada
juga yang baru mau berangkat dini hari, kebayang kan ya berisiknya.
Malam itu tidur pules les les, besoknya pas bangun baru
kerasa kaki dari tumit sampe pangkal paha sakit semua. Efek nanjak tanpa
persiapan olah raga yang cukup nih, jangan ditiru ya temans! Jam 8an, setelah
sarapan dan packing, kita menuju terminal Garut dengan menumpang mobil bak
terbuka dari basecamp Bu Tati, sekalian tetehnya mau ke pasar katanya. Kita cuma bayar 25ribu/orang,
biasanya 40-50ribu. Dari terminal naik bus primajasa lagi, jurusan Bekasi
(turun di km 57 tol karawang, karena bus AC nggak ada yang langsung ke terminal
Karawang). Busnya lebih mahal, karena kita dapet yang kelas bisnis, harga
liburan 73ribu/orang.
Karena berbarengan dengan arus balik, jalanan macet.
Garut-Karawang yang biasa ditempuh 4 jam, kemarin ngaret sampe 5 setengah jam. Baru
sampe Karawang sore dan mendarat mulus di kasur menjelang maghrib. Dan seperti
biasa, disambut dengan omelan mamah tiap pulang turun gunung, liat muka gosong,
jalan nggak karuan, dan oleh-oleh cucian kotor, hahaha. Tapi nanti juga kalo izin mau
naik (lagi) tetep diizinin (lagi), mamah emang terbaiq!
Regards,
@riana_yah