“Dan kau pergi diam-diam mengepaki cinta, dengan cara terpetualang yang pernah ada.”
Sesiapa yang
membaca Pejalan Anarki (saya pernah me-reviewnya juga di sini), buku
pertama dari dwilogi Sepasang yang Melawan ini, pasti sudah menanti kelanjutan
dari kisah perjalanan El dan Sekar. Di akhiri dengan kepergian El di buku
pertama, tentu membuat para pembaca penasaran, apa yang akan terjadi
selanjutnya pada kisah sepasang pendaki ini. Apakah Sekar akan menerima Rama, pria
pilihan ayahnya, penolong keluarganya, dan pada Rama pun akhirnya El menitipkan
Sekar sebelum ia pergi. Ataukah Sekar akan berontak dan pergi mencari El yang
menghilang?
Di awal buku
ini, akan kita rasakan, bagaimana nelangsanya Sekar yang ditinggal kekasihnya, El.
Sang penulis, Jazuli Imam, banyak membawa ingatan Sekar pada masa dimana ia
masih dibersamai El. Saat mereka mendaki Rinjani misalnya, di hadapan sebermula
bersatunya mereka berdua; Sagara Anak, El berucap, “Salah satu cara Tuhan untuk
pamer adalah ya Dia menciptakan Sagara Anak, Ranu Kumbolo, Jogja, Bandung, dan
Kamu.”
Tapi Sekar
pun tersadar, ia tak bisa terus-menerus begini. Ia yang anak pertama, harapan
keluarga, dipaksa bangkit setelah melihat sosok bapak, ibu, dan adik-adiknya.
“Merawat kesia-siaan adalah dosa, Non” pesan El dalam surat terakhirnya untuk
Sekar. Surat perpisahan yang lebih romantis dari puisi percintaan. Angkat topi
sekali lagi buat Mas Jazuli Imam!
Sekar Indurasmi. Atas perpisahan kita, aku tahu kamu akan merasa sebagaimana yang aku rasa, kita tidak sedang baik-baik saja.
Hanya, percayalah pada apa yang telah kita sepakati tentang kehidupan ini, sayang, bahwa segalanya hanya sementara, bahwa tak ada yang pasti selain mati. Satu detik atau seribu tahun, tak ada yang abadi tetaplah tak ada yang abadi. Juga kegelisahan ini, pasti mati, nanti.
Kembalikan kendalimu. Kendalikan dirimu. Segala bentuk ketergantungan adalah penjajahan. Dan sebagaimana sumpah kita pada yang merdeka, Nona. Aku, kamu, menolak tunduk pada apa-apa selain Allah. Tidak pada sekolah, tidak pada harta, tidak pada tahta, tidak pada tentara, tidak pada negara, juga satu sayangku.. tidak pada kita.
Tak pernah aku sesali bertemu denganmu. Mencintaimu, Sekar, aku sepertinya tahu bagaimana rasanya menjadi Sampek dan Engtai, V dan Elly, pohon dan air, bulan dan bintang, atau bahkan palu dan arit, tembakau dan petaninya, burung dan langit, bunyi peluit dan seorang yang hilang, juga matahari pagi dan pendaki di gunung yang dingin, serta bagaimana rasanya Hatta mencintai sederhana. Mencintaimu, aku merasa tahu, Nona.
Tapi, Sampek hanya nama, V hanya topeng, pohon akan tua, bulan akan padam, palu arit mati, tembakau jadi asap, burung jadi tulang, bunyi hening lagi, matahari akan terpenggal, dan Hatta tak lagi ada. Apalagi aku.
Haya, percaya, dalam setiap perbuatan cintamu kepada kehidupan, aku –dan apa-apa yang baru saja kusebutkan– ada di sana.
Tapi sebelum
memulai lagi kehidupan barunya, Sekar ingin terlebih dahulu melakukan
perjalanan yang disebutnya ‘titik balik’, memunguti lagi sisa-sisa dirinya yang
masih tercecer di tempat-tampat yang dulu ia habiskan bersama El.
“El, aku dalam perjalanan pulang. Aku akan sampai di titik itu. Seperti katamu; semua perjalanan akan sampai.”
Akankah
Sekar menemukan lagi El di perjalanan pulangnya? Hhmmm... wajib baca bukunya
lah kalo mau tau kelanjutannya. Review beda sama rangkuman yaaa, jadi keinget
tugas bahasa Indonesia pas jaman SD, ngerangkum novel -,-“
Back to
topic. Berbeda dari buku sebelumnya, yang menceritakan pendakian El dan Sekar
di Merbabu dan Rinjani, kini Mas Juju (panggilan akrab Jazuli Imam) memilih
untuk mengangkat cerita pendakian di Gunung Pangrango yang memiliki trek basah dan
Merapi dengan nuansa mistisnya. Tidak lupa, Mas Juju selalu menyelipkan wawasan
tentang pendakian. Misalnya, dalam buku ini dikisahkan El dan Sekar yang
membantu teman di samping tendanya yang terserang hypotermia.
Selain dua
gunung tersebut, ada juga setting
baru yang dimunculkan di buku kedua ini, yakni distrik Noari di selatan Papua. Sebagian
besar konflik terjadi di tanah Papua ini. Juga ada dua nama tokoh baru di sini,
yakni Lana dan Eliza, yang mengisi kisah petualang di Nusantara terpencil itu.
Bukan Mas
Juju rasanya kalau tanpa kritik sosial, pun di buku ini. Dengan apik Mas Juju mendelivernya
kepada pembaca. Misalnya dalam argumentasi Eliza menyoal pembukaan lahan untuk
padi di Papua; “Memaksa Papua mengganti sagu dengan nasi adalah manifestasi
kebodohan negara. Papua tidak butuh nasi. Mereka makannya sagu, umbi, petatas,
dll. Jika kamu bertanya tentang sikap, maka sikap saya menolak pembukaan lahan
untuk padi. Anda perlu tahu bahwa saya terlibat dan mendukung kawan-kawan lokal
di Muting melawan sawah, sawit, karet, yang menggusur pohon-pohon sagu,
menguras air, merubah budaya lokal dan segala jenis degradasi lain, atas nama
uang, pembangunan, atau apapun argumentasi di balik kerakusan orang kota.”
Atau pada
saat Eliza memprotes bantuan dari salah satu yayasan ke murid-muridnya;
“Anak-anak sini nih gak butuh sepatu, gak butuh tas, gak butuh seragam.” Eliza
lebih berpikir jauh ke depan. Bagaimana nanti jika sepatu anak-anak rusak?
Mereka akan meminta orang tuanya untuk membelikan sepatu. Dan bagaimana jika
orang tua mereka tidak punya uang untuk itu? Anak-anak akan malu berangkat ke
sekolah sebab ia tak punya sepatu. “Kalau tujuannya adalah belajar, kenapa kita
tidak memberi mereka buku-buku bacaan saja? Perpustakaan? Laboratorium dan yang
sejenisnya. Mari kita buat anak-anak itu tidak tergantung pada barang, barang,
dan barang, melainkan pada bacaan, pengetahuan, dan alam.”
Dan masih
banyak lagi lainnya; tentang bagaimana pendidikan yang dibutuhkan oleh
anak-anak Papua, konflik di daerah perbatasan negeri, hingga pemberitaan media mainstream yang condong kepada pemangku kepentingan dari pada
kenyataan yang ada.
Dibanding
buku sebelumnya, buku ini memang lebih syarat akan kritik sosialnya dibanding
baper-baperannya. Kalo ngomongin chemistry
antara Sekar dan El, di buku pertama Pejalan Anarki lebih dapet kalo menurut
saya. Kalo ngomongin sisi pendakian juga di buku pertama lebih dapet, karena
settingnya banyak di gunung. Tapi, kalo ngomongin kritik ke pemerintah, kaum
kapitalis, dan diri kita sendiri (somehow),
buku kedua ini lebih berisi, in my
opinion loh yaaa.
Overall, bukunya keren. Recommended. Dwilogi ‘sepasang yang
melawan’; Pejalan Anarki dan Jalan Pulang tetep ada di top list buku favorit saya. Semoga sehat selalu, Mas Juju. Biar
bisa dolan terus, ngopi terus, nulis terus. Indonesia butuh banyak lagi
kloningan macam Jazuli Imam, supaya banyak novel-novel berisi, macam dwilogi
buatanmu ini. Salam lestari, hormat, lan Rahayu.
Sincerely,
Riana Yahya