Pejalan
Anarki. Harus diakui bahwa novel ini sudah mencuri tempat pertama di deretan
novel favorit saya. Dan harus diakui pula bahwa saya sudah jatuh sejatuh
jatuhnya dengan si tokoh El di novel ini. Dengan idealisme dan prinsipnya.
Dengan pikir, kata, dan geraknya.
Pejalan
Anarki bercerita tentang El, mahasiswa idealis yang senang melawan
ketidakadilan di kampusnya dan dimanapun ia berada, ketua UKM teater yang juga
pecinta alam, kopi, dan buku. Hingga sebuah kejadian melibatkannya dengan Sekar
Indurasmi, cinta terpendamnya, mahasiswi populer dambaan lelaki di kampus; cantik,
pintar, dan ketua HMJ.
Pembaca akan
diajak bertualang mengikuti perjalanan kisah cinta mereka. Dari awal
bermusuhan, kebersamaan, hingga pelarian mereka. Terjal-terjal yang mereka
harus lalui untuk tetap menggenggam. Jurang-jurang yang memaksa mereka
menghentikan perjalanan berdua.
Jazuli Imam
sang penulis, berhasil sekali menghidupkan dua tokoh utama, El dan Sekar, dalam
novel ini. Mau tidak mau, kita akan diajak masuk menjadi sang tokoh, hingga
ikut tersenyum-senyum dengan candaan dan keromantisan yang tidak norak dari
pasangan ini.
“Nona jangan nangis, plis” kata El lagi.
“Nggak nagis kok” Sekar berusaha memperbaiki
nada bicaranya. “masa pacarnya jagoan nangis.”
“Nah, itu Nona tai” kata El.
“Aaah, El. tau!” Sekar tertawa.
“Maaf typo.”
“Semau kamu aja, kamu panitianya.” kata
Sekar manja.
“Siapa?” tanya El
“Kamu.” jawab Sekar
“Yang nanya” El bercanda
“Aaah, El. Kangen banget!”
-Pejalan Anarki halaman 245-
Aaaak. Nanti mau juga dipanggil nona sama suami, huhuhu. Eh tapi nanti
udah jadi nyonya dong yaaa -__-” Eh, kok malah curhat. Hihihihi.
Di novel ini juga ada banyak bonus puisi El yang bikin melting. Favorit
saya yang satu ini..
Kau sebuah piknik, konklusi diskusi kawan
terbaik.
Kau warga setempat, memastikan jarak aku sudah dekat.
Kau sepetak lahan di ranu kumbolo akhir pekan.
Kau api menyala, selepas hujan di muka tenda.
Kau titik cahaya, kala kusesat di hutan gelap.
Kau bunyi peluit, kala ku hilang dari barisan.
Kau adalah engkau, kala diriku menjadi aku.
Kau adalah engkau, kala diriku adalah aku.
Kau warga setempat, memastikan jarak aku sudah dekat.
Kau sepetak lahan di ranu kumbolo akhir pekan.
Kau api menyala, selepas hujan di muka tenda.
Kau titik cahaya, kala kusesat di hutan gelap.
Kau bunyi peluit, kala ku hilang dari barisan.
Kau adalah engkau, kala diriku menjadi aku.
Kau adalah engkau, kala diriku adalah aku.
-Pejalan Anarki halaman 219-
Tapi meski
begitu, ini bukan novel cinta biasa yang melulu membahas hanya soal cinta. Di
dalamnya kita diajak lagi mengeja makna hidup; tentang kemanusiaan, kecintaan
kepada alam dan bumi pertiwi,
persahabatan, bahkan ke-Tuhan-an.
“semakin sering naik turun gunung ia seorang
pendaki, seharusnya berbanding lurus dengan meningkatnya kedekatan ia kepada
Tuhannya. Tujuan seorang mendaki gunung memang bermacam-macam, tapi hakikat
manusia adalah sama. Di alam, tempat dimana tidak ada kekuatan harta, tahta,
dan tentara, Tuhan adalah ingatan pertama bagi manusia yang banyak dibuat lupa
oleh kota.” Kata El.
-Pejalan Anarki halaman 376-
Novel ini juga
sarat dengan kritik pedas tentang sistem ataupun kebiasaan yang sudah mendarah
daging di masyarakat kita. Tentang pendidikan, ekonomi, dan alam Indonesia, El
menampar kita telak dengan caranya bergerak, tidak menunggu dan berharap pada
sesiapa.
Kalau negara ga bisa ngasih buku anak-anak
pelosok, ayo kita yang kasih.
Kalau
negara ga bisa merawat alam dan lingkungan, ayo kita yang rawat.
Kalau negara ga bisa memelihara pedagang
kecil, ayo kita yang pelihara.
Kalau negara ga bisa ngelindungi hak
minoritas, ayo kita yang lindungi.
Ayo rame-rame lakukan yang tidak dilakukan
negara.
Ayo rame-rame ‘gantikan’ peran negara.
Jangan berharap pada negara.
-Pejalan Anarki halaman 60-
El bergerak,
memberikan pendidikan di pelosok Bantul dan Krakas. El bergerak, mengangkuti
sampah dari gunung, melepas binatang yang terpenjara dalam sangkar. El
bergerak, mendampingi pedagang-pedagang kecil dengan edukasi. El bergerak,
bersama segelintir mahasiswa menyuarakan ketidakadilan di negeri ini.
Bagi kamu
yang belum pernah mucuk (naik gunung) seperti saya, novel ini akan meracuni
kamu untuk memasukan dua gunung di Indonesia, Merbabu dan Rinjani, menjadi
destinasi yang wajib dikunjungi sebelum kamu berpindah alam. Di sini, detail
track dan pemandangan dua gunung itu disajikan secara apik sekali. Tidak hanya
itu, novel ini banyak juga berisi tips-tips tantang pendakian. Misalnya cara
packing, pakaian saat mendaki, dan perbekalan untuk mendaki.
Aaaah...
pokoknya buku ini ketjeh badai. Bahasa dan alurnya ringan, tapi berisi banget.
Saya selalu koar-koar ke temen-temen especially yang hobi mucuk, buat baca buku
seru ini. Hahahaha. Buat yang mau beli, buku ini nggak akan kalian temui di
toko-toko buku biasa, karena ini buku indie terbitan Djeladjah Pustaka
(Yogyakarta). Buku ini hanya bisa kalian dapatkan dengan order langsung ke
Djeladjah, via whatsapp ke 0857-4746-4463.
Salam
lestari!
Riana Yahya
#PejalanAnarki
#PejalanBergerak