Haaaaiiii...
kali ini saya akan cerita tentang perjalanan kami meng-eksplor tempat-tempat
yang masih belum mainstream di Purwarta. Bisa dibilang ini trip dadakan. Karena
dini hari pas hari H, panitia trip ini masih di Cilegon-Benten, dan baru sampe
Karawang jam 7an. Padahal sebelumnya bilang mau kuy dari Karawang jam 8 -___-
Setelah
berngaret-ngaret ria, kami --saya, Wulan, Ita, dan Kang Maman (kami biasa
manggil dia Mamih karena satu dan lain hal, hahaha)-- baru start dari Karawang
jam 10 lewat. Tujuan pertama perjalanan kali ini adalah silaturrahim ke rumah
Kang Dani, salah satu anak Pintu Nusatara yang adalah temen dari Kang Maman,
tapi otomatis jadi temen kita karena kita juga temennya Kang Maman :D
Sekitar jam
12 kita sampe rumah Kang Dani. Setelah shalat dzuhur dan istirahat, Kang Dani
yang kata Mamih nggak bisa diem itu, ngajak (atau diajak?) kita ke Curug
Keramat. Pernah denger curug ini? Kalo saya sih baru pertama denger nama curug
ini di Purwakarta. Katanya sih emang belum bayak yang tau keberadaan curug ini.
FYI, jalan
ke curug ini tuh lumayan horor karena banyak tanjakan dan banyak juga jalan
yang rusak. Jangan bayangkan bisa masuk mobil, ketemu motor lawan arah aja,
salah satunya harus berhenti. Saran saya, bagi yang mau ke curug ini, harus
dengan kondisi kendaraan yang vit. Kami pakai 3 motor ke sana, Kang Dani yang
pake motor sport trail landjar djaya sampe duluan. Sisanya, kami berempat yang
pake motor matic dan motor batang gede, cukup keripuhan dengan medan jalan ini.
Sempet juga saya dan Ita harus turun dulu dari motor, karena motornya nggak
kuat nanjak :’)
Akhirnya
setelah ber-roller coaster, kami tiba di kaki curug sekitar jam setengah 3. Tidak
ada simaksi untuk masuk ke curug ini, semuanya gratis tis tis. Belum ada tiket
masuk ataupun parkir. Kan saya bilang di awal, kali ini kami akan explore
tempat-tempat anti mainstream, Uncovered Purwakarta. Paling hanya perlu izin ke
warga sekitar. Tidak ada kewajiban sih. Tapi dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung. Biasakan selalu jaga sopan santun yaa guys! Sapa juga warga sekitar
yang kalian temui. Mereka semua ramah dan senang ketika kita sapa. Oh iya,
kebanyakan rumah warga di sini adalah rumah panggung. Makin menambah suasana
pedesaan yang asri, apalagi ditambah cuacanya yang sejuk.
Setelah
menitipkan motor di halaman rumah warga, kami memulai tracking jalan kaki
menuju curug. “Track ke curugnya datar, kok!” kata tour guide kita kali ini,
Kang Dani. Oke, aman, pikir saya yang belum temenan sama track tanjakan. Seketemunya
dengan tanjakan, langsung deh saya teriak, “Datar yaaa tracknyaaaa!” memastikan
kang Dani yang mimpin rombongan di depan bisa denger. Yang dituju cuma cengengesan,
hehehehe.
Tapi mayoritas
tracknya emang tanah yang relatif datar, meski akan nemu beberapa tanjakan
juga. Kita akan disuguhkan bermacam view sebelum sampai ke curug Keramat; semak
terbuka, hutan bambu dan berbagainya, sawah dengan latar pegunungan kayak yang
kita gambar pas di SD, sampai sungai dimana air curug mengalir.
Sekitar 30
menit-an tracking, sampailah kami di tujuan. Ternyata selain kami ada juga satu
rombongan yang sudah sampai terlebih dulu di sana. Dan beberapa anak-anak warga
sekitar yang sedang mencari udang di balik batu.
Curug
Keramat ini memang tidak terlalu besar debit airnya. Dalamnya pun hanya sekitar
10 cm. Tapi kalian bisa tetep main air langsung dari air terjunnya yang dingin
dan segar. Kata Kang Dani sih, di atas ada lagi dua curug yang debit airnya
lebih besar. Tapi lumayan, harus tracking lagi sekitar 1-2 jam, dan tracknya
curam edan plus belum ada segala macam bala bantuan, seperti webing. Kalau mau
ya harus bongkar pasang webing sendiri. Yaaa.. namanya juga uncovered :P
Kami
memutuskan untuk stay aja di curug pertama ini. Kang Deni langsung buka day
packnya yang apa aja ada. Keluarlah kompor, nesting, gelas, dan segala
perlengkapan ngopi. Yeeeey, ngopi kitaaaa! Sementara Kang Dani sibuk menyiapkan
kopi, ciwi-ciwi sibuk berfoto ria, dan Kang Maman sibuk fotoin kita, hahaha.
Puas main-main
air dan kedinginan, perut mulai konser. Sudah lewat jam makan siang dan perut
saya hanya diisi sekotak kopi instan tadi pagi. Laper beraaaaat! Kami langsung buka
bekal yang sudah kami siapkan dari rumah; saya bawa goreng teri dan sayur
buncis, mbaul bawa tempe ulek, dan de ita bawa (beli sih lebih tepatnya) ikan
tongkol, acar, dan sambel. Gelar kertas nasi dan campurkan semua menu jadi
satu. Serbuuuuu...!!!
Selesai makan
kita langsung turun dari curug. Selain tubuh yang udah kedinginan minta diganti
baju cepet-cepet, kita juga ngejar shalat ashar dibawah, dan rencananya kita
akan langsung cus ke destinasi kedua; Bukit Cupu. Sekitar jam 4 kami turun dari
curug. Tidak seperti saat pergi tadi, perjalanan pulang dari curug terasa lebih
ringan dan cepat, meski dengan baju kami yang basah.
Kami
berhenti dulu di masjid yang berdekatan dengan Villa milik Pak Dedi Mulyadi,
Bupati Purwakarta, sekaligus berdekatan dengan rumah teman Kang Dani dan Kang
Maman. Setelah saya salin baju (yang lain memutuskan untuk tidak salin karena
tidak terlalu basah) dan shalat di masjid, juga istirahat sebentar, kami melanjutkan
perjalanan ke Bukit Cupu.
“Deket kok
dari sini!” kata tour guide kita itu tuh. Padahaaaaal... sejam kemudian kita
baru sampe di Bukit Cupu. Hahahaha. Type-type tour guide profesional banget
emang Kang Dani ini. Kalo lagi di track nanjak, bilang sebentar lagi juga tracknya
datar. Kalo ditanya pucuk, bilang sebentar lagi sampe. Tapi nggak datar-datar,
tapi nggak nyampe-nyempe :P
Tapi asli,
selama di perjalan menuju Bukit Cupu itu, bayak view keren di sana-sini. Jadi
lumayan nggak berasa. Dinikmatin aja prosesnya. Termasuk pas kena macet gegara peralihan
jalan tol, jadi mobil dan bus gede semuanya lewat jalur situ.
Sekitar jam
6 petang kami sampai di kaki bukit. Sama seperti curug Keramat tadi, tidak ada
simaksi untuk mendaki Bukit Cupu ini. Hanya, kami memutuskan untuk memarkir
motor kami di batas maksimal motor bisa nanjak, dan tidak ada rumah penduduk
apalagi lahan parkir di situ. Kalian harus tawakal menitipkan motor kalian di
situ, tentu setelah usaha dengan mengunci stang motor atau pakai kunci ganda. Kalau
takut hilang, sebenarnya ada rumah penduduk di bawah, tapi konsekuensinya kalian
harus jalan lumayan lagi untuk menuju Bukit Cupu.
Tidak begitu
lama jalan di lahan terbuka, kemudian pendakian di mulai. Wuiiih.. tracknya
cukup curam, di beberapa titik bisa sampai 70 derajat, tanpa ada webing, pun
pepohonan yang bisa kita jadikan pegangan. Eh, sebenarnya banyak pepohonan di
sekitar, malah kita kayak ada di terowongan yang terbentuk dari pepohonan gitu.
Tapiiii... tidak ada batang kuat yang bisa dijadikan pegangan di
pinggir-pinggir track kita. Eh, sebenernya juga ada sih batang pepohonan, tapi
kalian harus hati-hati karena banyak batang yang berduri di terowongan itu. Tidak
direkomendasikan berpegangan ke batang-batang pohon disamping atau atas
terowongan itu, sih. Mending ke temen seperjalanan kalian aja.
Track Bukit
ini dominan tanah dan batu-batu besar. Hampir berasa kayak climbing sih
jatohnya (kayak yang pernah aja, hahaha), kita perlu nyari pijakan dan pegangan
di bebatuan atau akar. Banyak juga batu-batu kecil yang kalau kita injak akan
jatuh “maruluk” ke bawah. So, hati-hati ya. Harus tetep waspada. Takutnya bebatuan
itu kena teman di belakang kalian, atau malah kalian yang kena dari teman di
depan.
Sekitar 15
menitan, kami sampai di dataran terbuka yang lumayan luas. Sebernernya dari
sini juga udah terlihat city view purwakarta, tapi nggak 360 derajat kayak di
pucuk lah. Sayang, cuaca tidak mengizinkan kami untuk melanjutkan perjalanan.
“Sampe sini
aja deh, kita” (ini bukan adegan mutusin pacar loh yaa)
“Awannya ke
arah sini, bentar lagi juga ujan. Apa mau lanjut? Pada bawa jas ujan, kan?
flysheet tadi mana?” lanjut Kang Dani
“Di motor
semua, Kang” jawab kita, dengan mutados.
“Siap
ujan-ujanan?” tanya Kang Dani
“Siaaaap!”
Kang Maman doang yang jawab sendiri, hahaha.
Tadinya kita
mau melanjutkan perjalanan sehabis adzan maghrib, tapi cuacanya makin ekstrim,
banyak kilat meski belum turun hujan. Maka dengan pertimbangkan keselamatan
kami, akhirnya kami memutuskan untuk turun. Gagal lagi mucuk untuk kedua kaliya
setelah Parang, gegara alasan yang kurang lebih sama. Huhuhu. Tapi yang
terpenting bukan puncaknya sih, tapi prosesnya. Sekali lagi, silahkan dinikmati
:)
Kami turun
hanya berbekal dua lampu flash dari hp, karena benar-benar tidak ada plan
sebelumnya mau nanjak, apalagi sampe gelap. Baru beberapa menit jalan, hujan
sudah mengguyur, langsung deras, dan anginnya lumayan kenceng. Track yang tadi
lumayan susah untuk ditanjak, makin susah lagi diturunin pas cuaca kayak gini.
Edaaaaaan...
Buat Kang
Maman yang belum lama ini udah naklukin badai Rinjani sih ini bukan apa-apa.
Pun buat Kang Dani yang kemampuan survivalnya sudah tak diragukan lagi. Wulan
juga udah beberapa kali naik, merbabu dan gede, yang pasti ada tracking
malemnya. Nah saya? Ini baru pertama kalinya ada di perjalan, gelap, dan badai,
duh Gustiiii. Asik bener!
Tapi justru
momen di sini yang paling berbekas seperjalanan ini. “Ini baru namanya sekolah
alam! Belajar ngejagain temen, ngebantu temen,” kata Kang Dani. “Ih, asik yaaa!”
kata Kang Maman. Ah kaliaaan, bahkan seburuk-buruk keadaan pun masih selalu ada
celah untuk menikmati dan mensyukuri. Good vibes dari kalian benar dapat
memudarkan khawatir dan takut kami.
Beberapa
kali saya bilang dalam tulisan saya, bagi saya, salah satu yang terpenting
dalam perjalanan itu adalah sesiapa yang membersamai saya. Karena dalam
perjalanan, hampir selalu hadir hal-hal yang tak terduga.
Amannya,
bersamai perjalanan kalian dengan orang-orang yang bisa menjaga kalian, mengerti
alam dan cukup berpengalaman, asik dan nggak baperan, eh kok ke sini ya, nanti
ujung-ujungnya jadi type suami idaman lagi, hahaha. Sudah, sudah.
Balik lagi
ke drama turunnya kita. Kang Maman mimpin jalan turun di depan berbekal flash
hp, di susul saya, de ita, mbaul, dan Kang Dani yang jaga di paling belakang. Di
track-track yang curam banget, ciwi-ciwi milih untuk jalan jongkok bahkan
seserodotan. Gak usah takut kotor, nak! Udah terlanjur.
Waktu turun
kita sepertiya jadi berkali lipat dari waktu naik. Udah nggak sadar waktu sih,
yang jelas udah gelap. Hujan masih awet, sampe kita sampe tempat naro motor
tadi, bahkan sampe kita sampe rumah Kang Dani lagi!
Sampai rumah
Kang Dani kita langsung bersih-bersih. Pinjem salin sana-sini, hahaha. Saya
Cuma bawa salin satu baju dan udah dipake pas tadi ganti di masjid. Sementara
mbaul baju salinnya kebasahan. Cuma de Ita yang aman karena bajunya di
plastikin.
Dan kalian
tau kami salin pake apa? Jas ujan! Eh saya mah nggak, deng. Untungnya Kang
Maman bawa baju panjang dan Kang Dani punya celana training panjang juga.
Sementara temen saya yang satu lagi itu tuh, kalian tau kan siapa, iya dia, dapet
baju salinnya cuma baju dan celana pendek, dan akhirnya harus di double pake
jas ujan. Masak pake jas ujan, makan pake jas ujan, sampe nyuci piring pake jas
ujan. Udah kayak ada di planet lain aja deh pokoknya kita, hahahaha.
Setelah
perut kenyang, kita pamit ke Kang Dani. Walaupun nggak rela ngelepasin kita,
kita harus pulang, Kang. Nanti bisa-bisa dikeluarin dari Kartu Keluarga kalo
nggak pulang. Meskipun kita juga berat untuk melangkah pulang. Racun banget sih
merekaaaa!
“Yuk ke
lembu. Tenda ada, flysheet, hammock, kompor. Pulangnya besok pagi aja. Kita
ngeliwet di atas.”
“Iya, kita
nanjak malem. City viewnya keren kalo malem. Terus liat matahari terbit
paginya.”
Tapi akhirnya
jam 10 lewat kita benar-benar angkat kaki dari rumah Kang Dani. Dengan berbagai
perjanjian sebelumnya, hahaha.
“Pokoknya
kalian punya utang ngecamp ya”
“Kalian
masih punya utang ke puncak Cupu ya”
Aaaaak...
dengan senang hati! Mari agendakan! :D
Hujan masih
gerimis, kadang lebat lagi. Alhamdulillah perjalanan pulang lancar, dengan
kecepatan tidak lebih dari 40 km/jam ciwi-ciwi bisa sampe rumah jam setengah 12an.
Sementara kakak panitia, peje, cepe, yang tadinya bilang mau tidur di basecamp
atau kostan, malah pulang ke Subang dan baru ngabarin sampe rumah jam setengah
2an. Ga ada matinya emang nih orang! Hahaha. Apapun, terima kasih!
*PS: Maaf
kami tidak berhasil mendokumentasikan view Bukit Cupu. Tadinya mau foto-foto di
puncak, eh nggak sampe puncak, nggak kesampean deh fotonya. Hutang yaaa.. Nanti
nyusul kalo kita udah mucuk B-)
Seincerely,
Riana