Curug Lalay, salah satu obyek wisata Kabupaten Karawang yang tepatnya
ada di Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan. Ini perjalanan ketiga saya ke
curug, setelah curug di Cimahi saat saya masih SMA awal dan curug di Taman
Safari Bogor saat saya masih tingkat awal kuliah, saya lupa kedua nama
curugnya. Yang saya ingat, perjalanan menuju kedua curug tersebut tidak memakan
waktu lama, sekitar 15-30 menit. Medan yang dilewati juga tidak berat, jalur sudah
bagus, tanjakan sudah berbentuk pijakan tangga.
Bayangan seperti itu juga yang saya pikirkan untuk trip ke Curug Lalay
kali ini. Not a big deal lah yaa..! toh cuma ke curug, bukan ke gunung, pikir
saya. Meski ini perjalanan pertama saya nanjak dengan teman-teman, karena
sebelumnya selalu dengan keluarga, kedua kakak laki-laki saya. Tapi malah bikin
saya lebih excited, bahkan mulai dari packing di malam sebelumnya. Karena
sebelumnya saya cuma bawa diri, semua-muanya udah di handle sama kakak saya.
Tapi kali ini saya harus menyiapkan semuanya sendiri.
Sesuai perjanjian, titik kumpul di lampu merah by-pass Karawanng jam
5.30. Setelah saling menunggu; yang belum datang, yang ingin sarapan terlebih
dulu, yang ke mini market untuk belanja logistik, akhirnya kita berangkat
sekitar jam 7. Total peserta yang ikut trip ini 34 orang, Sebagian besar akhwat
(9 orang) naik angkot sewaan untuk menuju ke lokasi curug. Here it is, geng
angkoters; Saya, Teh Lina, Teh Ika, Teh
Iis, Teh Lala, Teh Dede, Teh Bentang, Teh Mega, dan Teh Ulfah alias Pupu alias
Mawar (bukan buronan tapi). Sebenernya, di geng angkoters juga ada Kang Oni dan
Kang Deden yang bertugas jagain akhwat-akhwat kece supaya nggak diculik supir
angkot, haha. Sisanya, 23 orang konvoi naik motor. Perjalanan naik kendaraan
dari Karawang Kota ke Pangkalan ditempuh sekitar 1,5 jam. Lumayan lama karena 7
kali harus kena macet akibat ada yang besanan, somehow bikin Kang Oni baper,
eeaaaa..
Kita mulai nanjak sekitar jam 9. Dan, ternyata medannya... wow banget
sodarah-sodarah! Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke
samudera, bersama teman berpetualang, ingat OST Ninja Hatori ini? kayaknya pas
buat mendeskripsikan medannya. Beberapa kali harus mendaki dan beberapa kali
juga harus membelah sungai. Masalahnya adalah, bagi newbie seperti saya,
jalurnya bikin nyali ciut. Dari awal aja udah disuguhin jalur yang kira-kira
cuma 20 centi, cuma muat buat satu kaki. Salah napak, wassalam deh, samping
udah langsung jurang yang menuju sungai dengan dasar bebatuannya. Waktu nanjak,
nggak ada jalur tangga seperti yang saya perkirakan, jadi harus mikir, nih kaki
harus bertapak ke mana supaya nggak kepeleset. Beberapa kali harus lewati
sungai juga. Untungnya lagi musim kemarau, jadi air di sungai agak kering dan
arusnya juga cukup tenang. Tapi lagi-lagi, harus milih untuk napak dibatu mana,
supaya kaos kaki nggak basah. Sayangnya, saya berkali-kali jatuh kepeleset di
bebatuan sungai gegara licin atau emang kaki yang kecapekan udah lemes banget. Terkadang
saya ambil jalan aman untuk nyebur ke sungai, nggak dalem sih, cuma sekitar
satu jengkal.
Bukan cuma medan yang jadi tantangan, tapi juga cuaca. Waktu nanjak
itu, subhanallah, jam 9.30 aja udah panas banget. Setengah jam jalan aja udah
kerasa capek banget, nafas udah senin-kamis, padahal belum apa-apa. Langkah
kaki mulai berat. Tiap denger suara air, udah mulai berhalusinasi kalo air
terjunnya udah di depan mata. Paraaah..!!
Untungnya, saya dibersamai oleh teman-teman kece, especially Teh Lina,
Teh Ika, Uwi, Ka Mamet dan Mas Yuli. Tiap saya sudah mulai lelah dan melambat,
rombongan depan berhenti dulu, menunggu saya untuk berjalan bersama lagi.
Sementara rombongan di belakang, tetap sabar untuk tidak menyusul saya terlebih
dulu. Tiap saya mulai capek, semuanya ikut menunggu saya untuk istirahat.
With Teh Ika (kiri) dan Teh Lina (kanan)
Akhirnya, air terjun yang dituju terlihat di depan mata setelah 2,5
jam perjalanan. Dan hal yang pertama dilakukan setelah sampai adalah... nyebur?
Bukan, makan! Saya bukan tipe orang yang suka sarapan, begitupun pagi itu. Saya
cuma nyicip setengah potong omlet dan bolu caramel yang saya packing untuk makan
siang. Jadi, begitu sampe, langsung ngeriung untuk makan bersama. Nikmatnya
itu... nggak ada yang ngalahin kalo makan waktu laper banget apalagi
bareng-bareng.
Setelah sapu bersih, kami segera mencari tempat shalat karena sudah
masuk waktu dzuhur. Di atas belum tersedia mushalla, mungkin karena pengunjung
pun belum begitu banyak. Jadi kami mencari tempat yang bebatuannya lumayan
datar. At least, waktu sujud nggak nyusruk ke bawah. Sepertinya ini jadi pengalaman
pertama saya, shalat di atas bebatuan dengan diiringi suara aliran air terjun. Masyaallah...
kerasa banget betapa kecilnya kita di tengah agungnya ciptaan-Nya.
Next schedule adalah agenda yang paling ditunggu. Yup, main air! Padahal
tadinya nggak niat untuk nyemplung, bahkan saya nggak bawa salinan selain kaos
kaki dan rok. Tapi apa mau dikata, iman saya tidak cukup kuat untuk menolak
godaan dari air terjun yang seger banget. Forget all about the worries, just
jump into water! Buat apa 2,5 jam proses perjalanan susah-payah ke sini kalo
hasilnya nggak dinikmatin. So, play as crazy as possible! Bahkan saya
memberanikan diri untuk terjun dari tebing. Meski nggak terlalu tinggi, cuma
sekitar 3 meter, tapi cukup seru untuk menantang adrenalin. Worth it!
Dan waktu selalu cepat berlalu sewaktu kita amat menikmatinya. Sudah
masuk waktu ashar. Satu per satu bergantian untuk shalat. The last, ditutup
dengan acara tuker kado. Meski berat, kami harus mulai perjalanan turun, agar
sudah sampai di bawah saat hari belum terlalu gelap. Pun, untuk mengejar shalat
maghrib di bawah.
Dengan sisa kekuatan yang ada, saya mulai perjalanan turun. Cuaca
sudah jauh lebih mendukung dari pada perjalanan naik tadi siang. Tapi kondisi
baju yang basah dan dingin, plus rok jins saya yang terasa lebih berat 5kg
ketika basah, membuat saya kepayahan juga. Tapi saya harus segera, paling tidak
sampai ke pos 1 untuk menemukan toilet, karena kebelet buang air kecil, efek
dari kopi dan kedinginan saya kira. Unfortunately, di pos 1 pun belum ada
toilet. Apa boleh buat, harus ditahan sampai di bawah nanti. Kata Ka Mamet, itu
dijadiin motivasi aja supaya bisa sampe bawah as soon as possible. Bisa sih,
bisa!
Meski kaki sudah sakit-sakit, tapi nggak ada banyak waktu untuk
istirahat karena udah mulai gelap. Have to force it! Sampai batas titik nadir,
Riana! You can do it! Sakitnya nggak usah dirasain, liat aja ke depan, fokus,
dan terus melangkah. And finally... sampai ke bawah pas waktu maghrib. Toilet
mana wooy, toileeet!! :D
Perjalanan yang sangat menyenagkan. Dan, dari trip ini saya benar-benar
belajar banyak hal... Bahwa, saya mungkin tidak akan pernah tahu sebesar apa
kemampuan saya, jika saya tidak mecobanya hingga ke titik nadir saya. Dan saya,
sayangnya, terlalu takut, atau manja? untuk mencoba hingga ke titik nadir saya.
Oleh karena itu, siapa yang membersamai
saya adalah satu hal yang terpenting. Hingga saat saya tertinggal di
belakang, ada seseorang yang setia menunggu saya, meski ia harus menghentikan
sebentar langkahnnya. Berbalik ke belakang, sambil tersenyum mengulurkan
tangannya untuk saya ketika tanjakan di depan cukup curam. Teh Lina dan Uwi,
terima kasih banyak untuk uluran tangannya! Pun, Teh Ika dan Mas Yuli, yang sengaja
melambatkan langkah agar saya tidak menjadi yang paling belakang. Terima kasih
banyak sudah menjaga saya dari belakang! And last but not least, Ka Mamet, sang penunjuk arah yang meskipun
kadang kurang meyakinkan, haha. Terima kasih untuk candaan yang membuat
perjalanan ini semakin menyenangkan, pun telah meringankan beban saya dengan
menenteng tas saya sejalan pulang, Thanks bro!!
Dan untuk teman-teman Backpacker Karawang, akhwat-akhwatnya yang kece
badai, no problem kan ya meski mandaki gunung lewati lembah pake rok bahkan
gamis?! Four thumbs up!! Pun, untuk akang-akang, yang meski nggak semua anak
pengajian, tapi sangat respect kepada akhwat-akhwat. Menjaga dari kejauhan. Kalian
luar biasaaa!! Wait for the next trip yaa..!
PS (Sekilas Dialog)
-Selagi kecapekan di perjalanan turun..
Ka Mamet: Riana sepertinya perlu pembimbing.
Saya: Iya nih, kang, sepertinya saya perlu imam. Hahaha.
Teh Lina: Haha. Emang bungsu mau shalat?!
Dalam hati: Imam untuk hidup saya, teh XD
-Selagi kecapekan di perjalanan naik..
Teh Lina: Jadi, mau nanjak gunung, nong?
Saya: Ha.ha.ha. (Ketawa ngos-ngosan) Nanti deh teh, kalo udah ada yang
bisa gandeng saya.
Teh Lina: Gimana caranya? (Sambil senyum penuh arti)
Dalam hati: You know me so well, lah teh :))
Honestly, naik gunung adalah salah satu hal di list to do saya.
Sebelum saya meninggal, saya ingin sekali saja, setidaknya, nanjak gunung. Tapi,
setelah ngerasain nanjak curug kemarin, dan katanya itu hanya sepersekiannya
dari nanjak gunung, sepertinya harus saya pending dulu sampai waktu yang belum
ditentukan. Hahaha. Someday, kalo udah ada imam yang bisa gandeng tangan saya,
eeaaaa.. XD
Sincerely,
Riana
12-10-2015