Aku kira aku tak kan bisa menjadi
wanita setegar dirimu, “aku rasa akan lebih nyaman jika kita tidak saling
membenci dan menghindari, agar tali
silaturrahim tetap terjaga”. Ah, begitu tegar terdengarnya, tapi bisakah aku
menguping sedikit saja suara hatimu terdalam? Seirama juga kah?
Berwaktu-waktu manarik-ulur
harapan, meskipun tak ada kepastian, namun tetap saja. Wanita. Bisakah tak
ambil peduli? Tidak. Apalagi jika sang hati tak dapat diajak kompromi. Dalam diam,
ya, hanya dalam diam. Kadang sedikit terpancing, jika emosi yang memegang
kendali. Namun lugas kami tak sejujur mereka. Kami memiliki batas.
Tapi, mengapa kalian? Datang,
pergi. Pergi kemudian datang lagi. Lalu pergi lagi, lama. Sedangkan kami tak
punya alasan untuk sekedar berpesan singkat, untuk sekedar mejawab khawatir
kami. Bagaimana kabarmu di sana? Baikkah? Sedang sibuk apa sekarang? Lancarkah?
Lagi, kami memiliki batas.
Tetiba… “Dia menikah,” kau
mengakhiri pesan itu dengan emoticon titikdua buka kurung. Tapi, aku menangkapnya
bagai titik dua tutup kurung. Dengan tanda petik diantaranya, bahkan. Bermenit
aku belum mampu membalas pesan darimu. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Hati sendiri saja tak karuan rasanya, menahan sesak. Berkali menarik nafas
panjang, lalu mendesah. Padahal hanya aku, lalu bagaimana denganmu?
Tak sama dengan dugaanku, kau sama sekali tak menunjukkan risau itu. Berkali bertemu, kau tak nampak kacau. Meskipun aku tak berani menatap dalam dasar matamu yang memiliki berbagai arti.
Kau masih ingat, isak tangis kita
yang meleleh di dalam masjid ba’da aksi kita mengumpulkan amal untuk Negara
yang penuh dengan harum darah mujahid itu? Tangis kita untuk satu alasan yang hampir
sama, kurasa. Kita sama-sama merasakan. Kita sama-sama mengerti. Tanpa banyak
kata terucap, hanya saja frekuensi batin kita saling menghubung. Ah… wanita.
Tapi kali ini aku benar tak dapat
mengikuti jalan pikirmu. Tidak, aku dapat mengerti jalan pikirmu. Tapi aku tidak
habis pikir jika ada wanita yang berani melakukannya. Apakah tidak hanya akan
saling menyakiti? Hatimu dan hatinya. Meskipun aku tak tahu pasti apa yang ada
di dalam sana.
Biasanya kamu akan bertanya, apa
yang aku lakukan jika aku menjadi dirimu? Sayangnya kali ini tidak. Tampaknya
kau bergitu kokoh dengan keinginanmu menghadiri resepsi pernikahannya. Padahal
aku ingin menjawab: Jika aku menjadi dirimu, akan kudo’akan dia dalam sujud
malamku saja; agar dia hidup barakah dan agar aku bisa ikhlas melepaskannya.
Melepas? Hah, bahkan kita tak pernah terikat kan? Ironi. Tapi mungkin aku tidak
akan sampai hati mengucapkan “Barakallah,” sambil bertatap muka, khawatir tidak
dapat menguasai hatiku dan air mataku. Kamu, bisakah?
Aku tahu, kau jaaauuh lebih tegar
dariku, lebih tenang dan dewasa dalam menghadapi persoalan. Tentu keputusan itu
kau ambil setelah menimbang berbagai. Lakukanlah, hingga jangan sesali.
Akhir Desember 2013
Sincerely,
Riana.
NB: Kau, maukah… jika suatu hari
nanti, aku… harus menghadapi hal yang sama seperti dirimu, maukah kau berbagi
bagaimana cara menghadapinya? Aku…. Bahkan hanya membayangkannya saja, tak
mampu. Aku tak ingin… namun jika takdir nanti bertetapan demikian, aku harap
bisa setegar dirmu.